Sembari meludah ke samping kanan, Erlan mengembalikan matanya ke posisi semula. Kali ini ia tidak akan membiarkan gadis itu menang melawannya.
"Pergilah, cepat pergi!" perintah Erlan kepada Viola.
Mendengar perintah tuannya, pelayan itu segera pergi. Sekaligus merasa tidak aman jika ia harus menjadi saksi pertengkaran mereka.
"Apa yang ingin Tuan lakukan padaku setelah ini? Cepat katakan sekarang, apa tujuan kamu menikahiku sebenarnya?"
Dengan tersenyum pahit, Erlan masih menatap wajah Clara dengan mata melotot. Tanpa disadari kedua mata Clara terlihat begitu cantik, bahkan endapan air mata yang sedari tadi ingin menetes keluar, sama sekali tidak merubah keindahan kedua bola matanya.
"Hari ini saya mau kamu membawakan makanan untukku ke kantor. Tepat jam 12 siang nanti, aku harus sudah makan. Jadi pastikan kamu sudah berada di sana sebelum jam 12 siang."
"Bukan itu jawaban yang seharusnya Tuan katakan. Sebelum Tuan mengatakan yang sebenarnya, saya tidak akan patuh terhadap semua perintahmu."
Erlan melangkahkan kakinya ke depan, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Clara. Dengan tatapan tajam, ia meraih rahang istrinya dengan tangan kanannya.
"Apa masih belum jelas? Saya menikahimu hanya untuk memperoleh keturunan," ucap Erlan dengan tegas. Sekaligus agar Clara mempercayai ucapannya.
Clara tidak percaya dengan alasan klasik suaminya. 'Jika hanya untuk memperoleh keturunan, kenapa mereka berdua seolah juga ingin menyiksaku? Memperlakukanku seperti seorang pembantu! Tidak, pria ini pasti sedang membohongiku,' batin Clara dalam hati. Sembari menahan rasa sakit karena tangan Erlan sedang mengunci rahangnya dengan sangat erat.
"Anda bohong, saya yakin Tuan sedang berbohong. Tolong, jangan menyiksaku seperti ini." Dengan sisa tenaga yang ia punya, Clara mencoba untuk mengeluarkan suaranya. Sedangkan rahangnya masih dikendalikan oleh laki-laki di depannya.
Buliran bening seketika jatuh tepat di pipi Clara, ia tidak mampu membendung air mata yang sedari tadi tertahan agar tidak jatuh.
"Kamu pikir dengan air matamu ini, aku akan simpati terhadapmu? Tidak. Justru aku semakin sangat ingin melihatmu menangis seperti ini." Erlan menyunggingkan bibirnya, seakan merasa puas dengan pemandangan yang sedang ia lihat. Kemudian melepas kasar cengkraman tangannya. Hingga meninggalkan sedikit kemerahan bekas jemarinya.
"Jangan pernah berpikir kamu akan menang melawanku, apalagi membangkang perintahku, turuti saja perintahku jika kamu masih ingin selamat dari kejaran maut."
Sambil tersenyum puas, laki-laki itu masih menikmati pemandangan menyedihkan di hadapannya.
"Jika Tuan tidak bisa menghargai saya sebagai seorang istri, maka saya juga tidak akan menghormati Tuan sebagai seorang suami. Jika saya hanya dianggap sebagai pelayan di rumah ini, itu artinya saya juga berhak menerima gaji seperti pelayan lainnya."
Status pelayan jauh lebih baik daripada menjadi istrinya sekarang. Daripada menyandang gelar Nyonya Erlan, tapi kenyataannya justru ia diperlakukan seperti seorang pembantu.
"Bahkan pelayan pun masih terlalu baik untukmu saat ini," tutur Erlan, seraya pergi meninggalkan Clara.
***
Viola memberitahu Clara bahwa selama ini Erlan terbiasa makan siang bersama rekan kerjanya di luar, namun hari ini justru pria itu memerintahkan Clara untuk membawakan makanan untuknya. Bahkan sebelum laki-laki itu berangkat ke kantor, ia tidak memberitahu Clara terlebih dahulu tentang makanan apa yang inginkan untuk nanti siang.
"Beritahu aku apa makanan kesukaan suamiku …." Clara terhenti. Seakan tidak sadar dengan perkataannya. Suami? Rasanya sangat aneh ketika ucapan itu terlontar dari mulutnya. Andai saja itu tidak hanya sebuah status untuknya, karena sejujurnya jauh di lubuk hati Clara yang paling dalam, ia sangat ingin hidup sebagai pasangan suami istri seperti yang lainnya.
"Iya, Nona. Ada lagi yang mau ingin Nona tanyakan?"
"Tidak ada, hanya itu."
"Tuan Erlan sebenarnya sangat menyukai masakan lokal, seperti semur daging, abon ayam, ayam bumbu pedas, dan beberapa makanan pedas lainnya. Namun ada satu makanan yang paling ia sukai."
"Makanan apa itu?" tanya Clara merasa penasaran.
"Ia sangat menyukai makanan pedesaan, seperti teri tumis cabai bawang, sayur lodeh nangka, gulai daun singkong dan sambal bajak."
"Apa? Kamu tidak sedang membohongiku kan?" tanya Clara, sekaligus tidak menyangka bahwa orang sepertinya juga menyukai makanan lokal yang berbau dengan pedasaan.
"Tidak, Nona. Saya tidak berani berbohong denganmu."
Jawab Viola, meyakinkan Clara akan kebenaran ucapannya.
"Hanya saja sejauh ini tidak ada yang mampu memasak makanan itu dengan cita rasa yang sama seperti mantan istrinya dulu," Viola meneruskan perkatannya.
"Tunggu, jadi ia menyukai semua makanan itu karena mantan istrinya dulu? Sepertinya pria itu begitu mencintai mantan istrinya, iya?"
Ucap Clara kepada Viola. Jika makanan saja Erlan masih setia dengan cita rasa yang mantan istrinya masak, bahkan tidak ada orang lain yang menurutnya mampu menandingi masakan mantan istrinya itu, apalagi dengan hatinya. Pasti sangat sulit bagi Clara untuk mendapatkan hatinya, jangankan semua hal tentang perasaannya, secuil pun rasanya sangat sulit.
"Iya, Nona." Viola tidak ingin berkata banyak. Ia takut Clara tersinggung dengan perkataannya.
"Hem, baiklah. Aku akan mencoba memasak salah satu makanan itu."
"Apa Nona yakin? Nona bisa masak? Jika masakan Nona tidak sesuai dengan lidah Tuan Erlan, takutnya ia akan semakin marah terhadap Nona."
Viola sangat mengerti dengan sifat majikannya itu, ditambah dengan kebenciannya kepada Clara, sudah dapat dipastikan hal itu akan menjadi bahan empuk untuknya.
"Tenanglah, aku pasti bisa. Meskipun masakanku tidak seenak masakan ibuku, tapi aku yakin soal rasa bisa menyaingi masakan mantan istrinya," ucap Clara sambil tersenyum manis.
"Baik, Nona. Tapi jika Nona berubah pikiran, lebih baik menyuruh pelayan dapur saja yang memasak untuk Tuan Erlan." Viola masih tidak percaya, dan berharap Clara berubah pikiran.
"Percayalah padaku. Aku yakin dengan kemampuanku."
"Baik, Nona. Jika Anda yakin, maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mempercayaimu."
Viola melempar senyum manisnya kepada Clara. Meskipun mereka baru mengenal dalam beberapa hari, namun keduanya terlihat sangat cocok.
"Eih, satu lagi. Kamu pernah mencicipi masakan wanita itu sebelumnya kan?" tanya Clara.
Mendengar pertanyaan itu, Viola seakan mengingat kejadian di masa lalu.
"Pernah Nona."
"Baiklah, setelah masakanku nanti sudah jadi, sepertinya kamu harus mencicipinya. Sekaligus membandingkan bagaimana rasa masakanku dengan masakan mantan istri suamiku. Kamu masih ingat bukan? Dengan rasa masakan almarhumah?"
"Tentu Nona. Selain Tuan Erlan, saya salah satu penggemar masakan beliau."
Tidak hanya sekedar ingat, justru sampai sekarang rasanya masih melekat di lidah Viola. Makanan yang dulu setiap harinya ia makan, mana mungkin bisa lupa.
"Bagus kalau gitu, kamu bisa meninggalkanku sendiri."
"Ijinkan saya membantumu, Nona. Lagi pula Nona belum hafal dengan tempat bahan-bahan sekaligus bumbu masakan di dapur ini."
"Hemm, baiklah."
Clara berdehem, ia pikir ada benarnya juga perkataan Viola. Pasti akan sangat melelahkan baginya jika harus menyiapkan bahan-bahan itu sendirian.
Sambil menyiapkan beberapa bahan dan bumbu dapur, Clara berusaha membuka obrolan dengan pelayan muda itu. Tidak hanya untuk mencairkan suasana, ia juga ingin mencari tau tentang sosok mantan istri suaminya.
"Kalau boleh tau, sedekat apa kamu dengan beliau? Kelihatannya kamu begitu dekat."
Deg! Seketika Viola tertegun.
"Tidak terlalu dekat, Nona," ucap Viola tanpa berbasa-basi. Mendengar jawaban itu, Clara juga tidak meneruskan pertanyaannya. Untuk membuat gadis itu mengatakan yang sebenarnya, mungkin diperlukan waktu yang cukup lama.