Mang Ujang terus memantau keadaan Clara dari spion tengah, tanpa disadari hatinya sedikit merasa iba. Bersamaan dengan buliran bening yang jatuh perlahan dari kedua sudut mata gadis itu.
"Nona, kenapa sampai menangis?" tanya laki-laki itu kepada Clara.
"Tidak, saya tidak menangis," bantah Clara sambil mengusap air matanya.
"Lima menit lagi kita sudah sampai, Nona yakin tidak ingin bercerita? Kadangkala perasaan menjadi lega ketika kita bisa berbagi cerita dengan orang lain."
Bagaimana pun juga Mang Ujang adalah seorang ayah, ia memiliki seorang putri di rumahnya. Tentu jika putrinya sendiri yang menangis di hadapannya, ia tidak akan membiarkannya sendirian.
Mendengar ucapan pria itu, Clara terdiam. Tidak biasanya sopir pribadi Tuan Erlan sangat mempedulikannya.
Mungkin memang benar, saat ini Clara hanya butuh didengar. Ketika ia sudah sampai di rumah, tentu tambah tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sa-saya, hanya ingin tau alasan sebenarnya kenapa Tuan Erlan menikahiku."
"Nona, apa Nona sudah lupa? Bukankah Nona sendiri yang menyetujui pernikahan itu demi menyelamatkan nyawa ibu Nona?"
"Tentu tidak hanya itu, saya yakin ada alasan lain, kau pasti tau kan apa yang saya maksud? Tolong katakan yang sebenarnya kenapa Tuan Erlan seolah-olah berniat menyiksaku."
Sebagai sopir pribadi Tuan Erlan, sedikit banyak tentu ia tahu tentang apa saja yang bersangkutan dengannya. Clara pikir Mang Ujang adalah salah satu orang yang bisa memberinya informasi tentang kegundahan yang telah membebani pikirannya.
"Mustahil saya tau sedetail itu, Nona. Saya hanya sopir biasa, berbicara jika ditanya, diam jika sudah tidak dibutuhkan. Lancang sekali jika saya harus mencari tahu soal niat yang ada di dalam hati tuan Erlan," jawab Mang Ujang dengan hati-hati. Tentu dia tidak ingin menanggung risiko jika sampai salah menjawab.
Clara menghela napas panjang, ia tau orang-orang di sekitarnya serba bermuka dua. Di satu sisi mereka baik, di sisi lain mereka sangat setia dengan majikannya. Bahkan Viola pun, Clara sangat yakin ia juga tahu sesuatu yang belum bisa ia ceritakan kepadanya.
"Kau memiliki seorang putri bukan? Bagaimana jika pernikahn putrimu justru dibuat main-main dengan suaminya? Tidak apa jika memang Tuan Erlan tidak mencintaiku dan menikahiku karena ia ingin memiliki keturunan. Tapi kenapa dia harus memperlihatkan kemesraannya dengan wanita lain di hadapanku? Pasti dia sengaja," ucap Clara secara tidak sadar mengeluarkan seluruh emosinya. Bahkan desahan yang saling bersahutan yang ia dengar tadi masih terekam jelas di pikirannya.
"Apa Nona cemburu?"
"Tidak, mana mungkin saya cemburu."
"Jika Nona tidak cemburu, seharusnya tidak perlu marah apalagi sampai menangis."
Terlintas di pikiran Clara tentang kata cemburu, ia sangat yakin sebenarnya bukan soal cemburu yang dirinya rasakan. Melainkan soal perasaan tidak terima karena dirinya terus-menerus diperlakukan secara tidak baik.
"Saya harap Nona tidak jatuh hati kepada Tuan Erlan, sekalipun ia adalah suami Nona," ucap Mang Ujang. Meskipun tidak menjelaskan alasannya secara detail, namun cukup menjadi kalimat peringatan bagi Clara.
"Tentu, saya tidak mungkin dan tidak akan pernah jatuh cinta pada laki-laki laknat seperti dia," jawab Clara menanggapi ucapan Mang Ujang.
"Tunggu dulu, kenapa saya tidak boleh mencintainya?" tanya Clara merasa curiga.
"Kenapa Nona harus mencintai Tuan Erlan?"
Sial. Clara tidak berkutik. Memang tidak ada alasan kenapa Clara harus mencintai suaminya.
"Sudahlah, Mang Ujang sama saja dengan manusia beku itu," tutur Clara dengan nada merajuk.
Mendengar ucapan Clara, Mang Ujang sedikit menarik sudut bibirnya. Nada merajuknya sepintas mengingatkan dengan putri kesayangannya. Tidak heran jika di hati Mang Ujang masih tersimpan belas kasih kepada Clara, ya, meskipun sebenarnya ia dilarang bersikap lembut kepada gadis itu.
Ketika mobil hampir sampai di tempat tujuan, terlihat seorang wanita yang sedang mondar-mandir dari kejauhan. Hingga pada akhirnya mobil itu berhenti tepat di hadapannya.
"Viola, apa yang kamu lakukan?"
Tanya Clara ketika ia baru keluar dari dalam mobil.
"Gawat, Nona. Nyonya Carlis dari tadi mencarimu, sepertinya Nona sedang berada masalah besar."
"Kenapa dia mencariku, lagipula aku tidak merasa berbuat salah apa pun kepadanya," tanya Clara heran.
"Rantang makanan yang Nona bawa tadi, apa masih ada?"
"Seharusnya masih ada jika manusia beku itu tidak membuangnya," jawab Clara dengan santai.
Viola menggeleng ketika mendengar jawaban Clara.
"Nona harus menemui Nyonya Carlis sekarang."
"Ada yang salah? Apa aku berbuat salah?"
"Pa...njang kalau harus dijelaskan sekarang. Rantang itu kesayangan Nyonya Carlis, cepat Nona minta maaf sekarang."
"Aduh!" Sambil menepuk jidat dengan tangan kanannya.
"Kenapa kamu tidak bilang!"
"Saya juga lupa memberitahumu, sekarang sebaiknya Nona menemui Nyonya Carlis dan segera meminta maaf."
Mendengar saran dari Viola, Clara menganggukkan kepala isyarat mengiyakan. Meskipun ia sendiri tau bahwa wanita tua itu tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Terlepas dari kesalahannya yang memakai barang tanpa ijin, Clara sudah tau bahwa wanita itu pasti akan mengambil kesempatan ini untuk menyulitkannya.
"Apa yang sudah kamu lakukan, lancang sekali memakai barangku tanpa izin!"
Baru saja Clara berdiri di belakangnya tanpa suara, Carlis sudah mengatakan sesuatu. Seolah sudah hafal dengan langkah kaki seseorang di belakangnya tanpa melihat terlebih dahulu.
"Ma-maaf, Ma. Clara tidak bermaksud…."
"Sudah, apa gunanya meminta maaf? Sebagai hukumannya setiap hari kamu harus memasak makanan untukku," kata Carlis lalu pergi meninggalkan Clara begitu saja.
Clara melongo, padahal ia pikir kali ini wanita tua itu akan mengatakan banyak kalimat pedas untuknya. Namun ternyata justru ia terlihat tidak normal, tidak seperti biasanya.
"Kenapa ia sungguh berbeda?"
"Sebelum Nyonya sadar akan rantang kesayangannya yang tidak ada di tempat biasanya, Nyonya Carlis sempat mencicipi masakan Nona, lalu ia terlihat termenung dan tidak tahu apa yang ia pikirkan setelahnya."
"Atau jangan-jangan nyonya menyukai masakan Nona," kata Viola pada Clara.
"Hem, aku masih ragu. Selera mama begitu tinggi, tidak mungkin ia menyukai masakan sederhana seperti yang aku masak ini."
Jika Erlan menyukai masakan kampung karena istrinya, maka tidak mungkin juga Carlis ikut-ikutan menyukai karena alasan yang sama.
Mendengar jawaban Clara, Viola pun terdiam. Ia pikir ucapan nona mudanya itu ada benarnya juga. Selama ini Carlis selalu menyukai makanan yang berbau daging, bahkan ia juga sangat jarang memakan sayuran. Tidak mungkin kalau Carlis menyukai gulai daun singkong yang Clara buat.
"Sudahlah, tidak penting juga kita tau alasannya. Kamu belum mencicipi masakanku, bukan?" tanya Clara membuyarkan lamunan Viola.
"He'em," jawab Viola sambil mengangguk.
Kemudian Clara membawakan sesendok kuah gulai yang ia masak.
"Coba kamu rasakan bagaimana rasanya." Sambil menyodorkan sendok kecil ke mulut Viola.
"Biar saya sendiri Nona."
"Tidak perlu sungkan."
Viola membuka mulutnya perlahan, kemudian—