"Rasa masakanmu ini benar-benar mirip dengan masakan mendiang almarhumah istri Tuan Erlan, Nona. Bahkan sangat mirip, tidak ada perbedaan sama sekali," ucap Viola dengan tatapan mata terkesan. Tentu dirinya tidak mungkin lupa dengan setiap detail masakan seseorang yang pernah dekat dengannya.
"Benarkah? Itu artinya kemungkinan Tuan Erlan juga menyukai masakanku?" tanya Clara.
"He'em. Bahkan Nyonya Carlis kelihatannya juga menyukai masakan Nona, ibu dan anak itu seleranya hampir sama, jika Nyonya Carlis suka, pasti Tuan Erlan juga demikian."
Untuk beberapa saat Clara terdiam, ekspresi di wajahnya cukup mendeskripsikan perasaannya saat ini. Untuk saat ini dirinya sendiri tidak yakin kalau Erlan sudah mencicipi makanannya. Terlepas dari kejadian di kantornya tadi, Clara masih berharap kalau makanan itu ditakdirkan untuk masuk ke dalam mulutnya.
"Aku khawatir kalau laki-laki itu justru memakiku karena rasa masakan ini."
"Apa yang harus dikhawatirkan, Nona. Barangkali dia bisa lebih bersikap baik denganmu. Nona, kamu dan orang yang dicintainya benar-benar memiliki kesamaan."
Tidak semudah itu Erlan menyukai Clara hanya karena sebuah masakan. Setelah gadis itu mendengar sendiri apa yang suaminya lakukan di kantor, tidak ada rencana sedikit pun untuk memberinya hati dan perasaannya. Clara tau yang suaminya inginkan darinya lebih dari sebatas keturunan.
"Semua akan baik-baik saja, Nona." Viola menggenggam erat telapak tangan Clara sambil terus menyakinkan.
"Aku harap juga begitu," tutur Clara sambil mengangguk.
***
Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, ditambah aroma makanan di depannya yang terus menggoda untuk segera dilahap, pria berjas hitam itu pun akhirnya memutuskan untuk mencicipinya terlebih dahulu.
"Tidak mungkin, bagaimana bisa dia…."
Setelah memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya, Erlan tertegun. Sebelumnya ia pikir gadis seperti Clara tidak akan mungkin bisa memasak makanan yang enak. Namun kenyataannya, justru masakan yang ia buat rasanya persis dengan masakan almarhumah istrinya.
"Pasti ada yang membantunya, apa mungkin pelayan itu? Ah, tidak mungkin. Meskipun selama ini cuma dia yang sering menemani istriku memasak, tapi tidak mungkin juga tangan yang berbeda bisa menghasilkan cita rasa yang sama," ucap Erlan berkata dengan dirinya sendiri.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
"Tuan di luar ada Nona Reni. Ia memaksa untuk menemuimu, bolehkah dia masuk?"
"Apa-apaan kamu ini, hal seperti ini saja masih tanya. Cepat bilang kalau saya masih sibuk!"
"Ba-baik Tuan." Sekretaris Erlan menundukkan kepala seraya pergi menemui seorang wanita yang sedari tadi memaksa untuk bertemu dengan bosnya.
Baru saja melangkahkan kaki beberapa langkah, tiba-tiba ada seorang wanita yang menerobos masuk ke dalam.
"Hallo sayang, sekretarismu itu sangat kurang ajar. Dia berniat membohongiku dengan mengatakan kalau kamu lagi sibuk."
Erlan langsung menajamkan pandangannya ke sumber suara, seketika tidak berselera menelan makanan lagi.
"Saya yang menyuruhnya," tegas Erlan dengan wajah acuh.
"Why baby?"
"Sudah berapa kali saya bilang, menyingkirlah dari kehidupanku. Saya tidak punya waktu untuk bermain-main dengan perempuan jalang sepertimu."
"Ayolah, kamu tidak perlu sungkan seperti itu, Tuan Erlan." Reni semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Erlan. Kemudian berbisik tepat di belakang telinga laki-laki itu. "Jika kamu mau, kita bisa lakukan sekarang. Gratis, kamu tidak perlu membayar apa pun untuk menikmati tubuhku."
"Kurang ajar, pelacur! Apa kurang jelas dengan bahasaku yang menolakmu secara terang-terangan? Gratis pun aku tidak sudi tidur denganmu!"
Ini bukan pertama kalinya Reni datang untuk menawarkan jasanya kepada Erlan. Jika ditanya kenapa orang seperti Reni bisa keluar masuk kantor sesuka hati, itu karena seperempat saham perusahaan Erlan adalah milik ayahnya.
Reni sebenarnya bukan seorang pelacur atau wanita bayaran, namun karena obsesinya untuk memiliki Erlan tidak bisa terwujud, maka dia tetap berusaha keras untuk menggoda laki-laki itu. Ia pikir Erlan menyukai wanita bilal, nyatanya ia justru dianggap wanita murahan oleh laki-laki itu.
"Kenapa kamu terus menolakku? Apa tubuhku kurang seksi? Lihatlah kemolekan tubuhku ini, apa kamu benar-benar tidak menginginkannya?" ucap Reni sambil bergeliat mengelilingi Erlan. Wanita itu terus berusaha membangunkan gairah pria di hadapannya.
"Cukup. Hentikan omong kosongmu itu, bitch!" teriak Erlan dengan keras.
"Tidak akan, kenapa kamu terus menolakku. Jika aku tidak layak untuk menjadi seorang istri, maka jadikan aku sebagai wanita simpanan. Aku sungguh mencintaimu, bahkan sebelum kamu menikah dengan perempuan itu, aku terlebih dahulu hadir di kehidupanmu." Ini bukan pertama kalinya Reni mengutarakan niatnya yang sebenarnya, itu artinya ia juga berulang kali mengalami penolakan.
"Katakan padaku kenapa aku tidak layak menjadi istrimu? Dan apa istimewanya perempuan itu?" timpal Reni menambahi.
"Perempuan itu punya nama. Dengar baik-baik, sampai kapan pun saya tidak akan pernah menjadikanmu istri atau bahkan menjadikanmu sebagai wanita simpanan. Pergilah, wanita murahan!"
Sudah cukup jelas, sebenarnya tidak ada yang bisa menggantikan posisi Sena di hatinya sampai saat ini, bahkan pernikahannya saat ini, itu pun karena ada maksud lain.
"Wanita murahan? Bahkan Sena lebih murahan dariku. Tidur dengan laki-laki lain seusai menerima bayaran, keluar masuk diskotik, apa itu namanya kalau bukan—"
"Cukup, hentikan omong kosongmu itu. Sena bukan orang sepertimu," bantah Erlan dengan cepat. Sampai kapan pun, ia tidak akan percaya isu mengenai istrinya. Jangankan Reni, bibinya pun ia lawan karena sering mengatakan kalau Sena memang perempuan tidak baik.
"Baiklah, sekarang aku tidak punya buktinya. Suatu saat kamu akan menyesal karena telah salah mengenali mantan istrimu itu. Dan saat itu juga, kamu juga menyesal telah menikahi orang lain demi asumsimu yang berlebihan terhadap kematian Sena."
Erlan terdiam. Laki-laki itu seperti sedang terhipnotis dengan perkataan wanita di hadapannya.
"Kenapa kamu diam? Merasa terkejut karena aku tau semua tentang niat burukmu terhadap gadis yang bernama Clara? Kalau saja dia tahu tentang alasanmu yang sebenarnya, sudah dapat dipastikan dia tidak mungkin mau dipaksa menikah denganmu. Atau perlu aku yang memberi tahunya?"
"Oh, jadi kamu mengancam saya?" tanya Erlan sesaat ketika mendengar ucapan Reni.
"Tidak hanya sekedar ancaman, melainkan peringatan. Aku harap Tuan Erlan bisa memikirkannya baik-baik." Dengan nada percaya diri, Reni sangat yakin tinggal selangkah lagi, laki-laki di hadapannya itu akan menuruti semua yang ia inginkan.
"Apa maumu?"
"Sederhana, jadikan aku istri keduamu."
Erlan mengangkat tangan kanannya, kemudian mencengkeram erat rahang Reni sekuat tenaga. Tidak biasanya Erlan berani menyentuh perempuan dengan tangannya, namun apa yang dikatakan Reni sungguh membuatnya merasa geram.
Bahkan jika yang ada di hadapannya saat ini adalah seorang pria, sudah dapat dipastikan kalau ia akan menghajarnya habis-habisan.
"Wanita gila! Wanita tidak waras! Sampai kapan pun kamu tidak mungkin bisa memperbudak saya. Jika nyawamu cukup berharga, maka bersikaplah segan terhadapku." Sambil terus mengeratkan cengkramannya.
Kali ini Erlan tidak sedang bermain-main dengan ucapannya.