"Tuan, kenapa Anda menjadi sangat muram seperti ini?" tanya Jordi, asisten pribadi Erlan, sambil menarik koper yang berisi full barang pribadi Nichol.
"Ke mana kakakku? Bukannya dia sudah berjanji akan menjemputku langsung di bandara, ke mana dia?" tanya Nichol dengan wajah suram.
"Tuan Erlan saat ini sedang ada meeting penting di perusahaannya, jadi dia menugaskan saya untuk menjemput Tuan Muda."
"Memang dia sebenarnya juga tidak berniat menjemputku, kan? Dari dulu tidak pernah berubah, uang lebih penting daripada adiknya sendiri."
Dengan mulut manyun, pria itu masih mengomel. Nichol Wesly, sudah sangat lama ia tidak menginjakkan kakinya di Indonesia. Nichol, tidak seperti namanya yang kedengarannya memiliki kepribadian yang tegas, justru ia berbanding terbalik dengan kakaknya. Nichol yang saat ini masih berusia 24 tahun, justru masih tidak bisa bersikap tegas dan dewasa. Rasa manjanya terbawa karena semenjak ia kecil, ayahnya selalu memanjakannya. Tidak heran, jika sebenarnya ia lebih dekat dengan almarhum ayahnya daripada dengan Carlis.
Semenjak ia kabur dan nekat pergi ke Australia karena keinginannya untuk mengenyam pendidikan di sana, ia sama sekali tidak berani pulang. Itu berarti sudah tujuh tahun ia tidak bertemu dengan keluarganya.
"Tuan jangan berbicara seperti itu, Tuan Erlan seperti itu juga demi keluarga."
Nichol terdiam, seakan membenarkan perkataan asisten pribadi kakaknya. Jika tidak karena kerja keras kakaknya, tidak mungkin keluarganya menjadi keluarga terpandang, juga tidak mungkin Nichol bisa hidup serba berkecukupan di Australia.
"Satu lagi, dia juga memerintahkan saya untuk memberikan ini."
Jordi menjulurkan kartu debit berwarna hitam kepada Nichol.
"Apa ini? Jadi dia berniat untuk menyogokku dengan kartu ini? Baiklah, aku akan memaafkannya."
Nichol menarik kartu itu dengan menyeringai, kartu yang berisi uang ratusan juta, mana mungkin ia bisa menolaknya.
Nichol segera masuk ke dalam mobil, lalu mobil itu melaju dengan cepat membawa tuannya ke tempat tujuannya. Pria itu memandangi satu per satu setiap sudut kota, banyak yang berubah. Termasuk juga taman bermainnya sewaktu kecil juga sudah berubah menjadi pusat pembelanjaan.
"Wah, ini beneran rumahku yang dulu?"
Tanya Nichol setengah tidak percaya. Seingatnya rumah yang ia tempati dulu tidak sebesar ini, bahkan ia juga melihat sepetak taman yang ditumbuhi beberapa jenis bunga hias. Impiannya sejak ia masih kecil, mempunyai taman yang sangat indah. Meskipun dia seorang pria, Nichol tumbuh menjadi seorang pria yang memiliki jiwa perempuan. Tentu karena ia sangat dimanjakan sedari kecil.
Selama ini pria itu tidak pernah menghadirkan sosok perempuan dalam hidupnya, meskipun demikian ia masih normal seperti laki-laki pada umumnya. Hanya saja tidak ada satu pun perempuan yang bisa menarik hatinya.
"Benar, Tuan. Mari silahkan masuk."
Seperti biasa, ada beberapa pelayan yang menyambutnya di depan pintu. Lalu membawakan koper milik Nichol masuk ke dalam rumah.
Nichol masih mengamati sekeliling rumah, benar-benar berbeda. Namun perhatiannya beralih ketika aroma masakan begitu menyengat masuk ke dalam rongga hidungnya. Seketika perutnya juga memberikan sinyal untuk segera mengisi ulang energinya.
'Aromanya dari arah sana,' batin Nichol dalam hati. Kemudian pergi menuju aroma masakan yang sedari tadi telah menggodanya.
"Makanan apa ini?"
Nichol terkejut ketika mendapati makanan aneh yang berbau sangat harum di atas dalam mangkuk bening. Karena rasa penasarannya, ia mencoba mencicipi makanan itu dengan sendok di sampingnya.
"Lezat sekali kuah ini," gumam Nichol sambil menghirup aroma gulai daun singkong yang ia makan.
Karena perutnya juga terasa sangat lapar, laki-laki itu dengan cepat mengambil piring dan mengisinya dengan dua centong nasi hangat yang masih berada di dalam penanak nasi berbahan stainles.
Tidak lupa juga ia menumpahkan kuah beserta isi dari gulai daun singkong, seketika kedua bola matanya tertuju pada teri tumis cabai bawang yang telah tersaji di atas piring. Tanpa berpikir panjang, Nichol juga mengambil dua sendok teri, lalu melahapnya dengan nasi dan kuah gulai.
"Ah, lezat sekali makanan ini,'' gumam Nichol sambil terus mengunyah. Hingga tidak ada ruang kosong yang tersisa di mulutnya.
Ritual makan diakhiri dengan meneguk segelas air putih. "Kenyang, lega…." Nichol mengelus-elus perut yang volumenya bertambah besar.
"Siapa kamu?"
Teriak Clara terkejut melihat keberadaan Nichol. Baru beberapa menit ia meninggalkan dapur, wanita itu sudah dikejutkan dengan keberadaan laki-laki yang melahap habis masakannya. Untung saja ia sudah menyisihkan bagian untuk suaminya nanti.
"Kamu yang siapa?!"
"Kamu maling ya, dan masakanku, kamu yang telah menghabiskan semua masakanku!"
"Maling di rumah sendiri? Enak saja, kenalin aku Nichol. Tuan muda di rumah ini." Dengan gaya yang terkesan norak sambil merapikan kerah bajunya, Nichol berusaha memperkenalkan dirinya.
"Tidak mungkin. Suamiku, Erlan adalah putra satu-satunya nyonya Carlis," bantah Clara merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Suami kakak? Berarti kamu kakak iparku dong. Huhu, orang itu ternyata sudah menikah. Ada juga ternyata yang menyukai orang galak seperti kakak, tampan sih, tapi agak songong ha ha…."
Clara tertegun, sambil menatap lekat seseorang di hadapannya itu. Memang sedikit ada kemiripan antara wajahnya dengan wajah suaminya. Namun semua masih terasa aneh, bagaimana mungkin suaminya memiliki saudara kandung? Pikir Clara dalam hati.
"Adik? Benarkah kamu adik iparku?"
"He.eh. Aku adik iparmu dan kamu kakak iparku. Ohya kak, masakanmu enak. Sering-sering ya masak buat aku."
Seketika raut bahagia nampak di wajah Clara. Tadinya ia takut masakannya tidak enak, tapi ketika Nichol memuji masakannya, ia langsung bisa bernapas lega. Dengan kata lain, selera kakak dan adik seharusnya tidak jauh berbeda.
"Benarkah?" tanya Clara masih tidak percaya.
"Hu.uh. Bentar, kamu beneran kakak iparku atau hanya mengaku-ngaku? Kelihatannya juga kamu masih sangat muda."
Nichol terus memperhatikan wajah dan tubuh Clara, memang benar, dibandingkan dengan dirinya, Clara terlihat jauh lebih muda darinya.
"Aku memang benar kakak iparmu. Usiaku masih 19 tahun."
"Astaga, aku tidak menyangka selera kakak ternyata yang muda-muda. Bahkan masih bocil."
Ucap Nichol terkesan mengejek.
"Aku jadi bingung harus manggil kamu dek apa kak, ha ha ha," Nichol menambahi. Sekaligus tertawa lepas.
Merasa tidak terima, Clara pun langsung menyela di tengah-tengah tawanya.
"Memangnya umur kamu berapa? Berani sekali berbicara lancang sama kakak iparmu ini," kata Clara bersikap tegas.
"Dua puluh empat tahun. Gimana? Siapa yang seharusnya lebih hormat?"
"Apa?"
'Astaga! Bahkan dengan adiknya pun aku masih jauh lebih muda,' pikir Clara dalam hati.
"Tetap saja aku adalah kakak iparmu," tutur Clara tidak mau kalah sambil tersenyum miring.
Melihat sosok Nichol yang sangat berbeda dengan suami dan mertuanya, Clara pun tidak takut berbicara apa pun dengannya. Bahkan di kedua mata Nichol, sama sekali tidak ada kebencian di dalamnya.