Ditambah lagi dengan cara bicara Nichol yang tidak sedingin kakaknya, tentu sudah bisa dilihat kalau sifat mereka berdua pasti berbeda.
"Sudahlah terserah apa katamu, Mommy-ku di mana?" tanya Nichol pada Clara. Yang seketika merusak lamunan gadis itu.
"Di … dia di …."
"Hay, sayang!"
"Lah itu Mommy, lama amat jawabnya,"
Belum sempat Clara menjawab pertanyaan Nichol, Carlis sudah berdiri di belakang Nichol dan memanggil putranya.
"Terima kasih kakak ipar makanannya."
Ucap Nichol seraya pergi menghampiri Carlis. Mendengar ucapan terima kasih itu, Clara tidak menjawab. Gadis itu sudah terpaku dengan kehadiran Carlis.
"Mommy kangen banget sama kamu, Nak."
Carlis memeluk putranya erat. Sudah bertahun-tahun wanita itu tidak bertemu putranya, tentu saja hal itu membuat perasaan haru sekaligus rindu yang amat dalam pada hati Carlis. Hingga tidak terasa butiran bening perlahan menetes dari kedua sudut matanya.
"Nichol juga, Mom," ucap Nichol dengan wajah datar. Bisa dibilang ia tidak benar-benar berniat mengucapkan kalimat itu. Karena sejatinya ia lebih bahagia ketika hidup jauh dari orang tuanya.
Nichol melepas pelukan Carlis, kemudian mengusap butiran air mata yang sudah terurai di kedua pipi ibunya.
"Jangan menangis, Mom. Nichol sudah berada di sisi Mommy sekarang."
Mendengar ucapan putranya, Carlis hanya mengangguk.
"Kamu banyak berubah ya, tambah tampan dan kayaknya kamu kurusan ya, sayang apa uang yang selama ini kakakmu kirim masih kurang? Bagaimana dengan makananmu di sana? Kamu nggak sampai kelaparan kan di sana?" tanya Carlis sambil memegang wajah anaknya.
"Tidak, Mom. Nichol memang sedang diet biar bisa tampan seperti kakak, kan Mommy sendiri pernah bilang kalau dibanding kakak, Nichol masih kalah jauh."
Ucap pria itu pada Mommy.
Carlis menghela napas panjang, ia tidak menyangka ucapannya selama tujuh tahun yang lalu masih diingat jelas oleh putranya. Meskipun ia sebenarnya tidak bersungguh-sungguh mengucapkan perkataan itu, nyatanya Nichol menganggapnya serius.
Meskipun kepulangannya ke Indonesia disambut dengan hangat oleh Carlis, tetap saja, Nichol tidak akan pernah lupa kejadian 7 tahun yang lalu. Carlis yang selalu membeda-bedakan antara dirinya dengan Erlan, kakaknya.
"Sayang, Mommy waktu itu lagi bercanda. Jangan dimasukkan hati kayak gitu."
"Sudahlah Mom, Nichol tau kok semua ucapan Mommy itu memang benar."
Nichol sendiri menyadari bahwa kakaknya, Erlan, memang lebih sempurna darinya. Entah karena pengaruh didikan mereka berdua yang berbeda, atau mungkin karena kakaknya mewarisi sifat genetik dari ayahnya. Meskipun dulunya Nichol lebih akrab dengan ayahnya, namun sebenarnya karakter ayahnya cenderung sama dengan kakaknya. Bahkan kemampuan dalam mengolah bisnis, Erlan jauh lebih kompeten dibandingkan dirinya.
"Kamu pasti lapar kan, Nak. Kamu mau makan apa hari ini, nanti Mommy akan suruh pelayan membuatkan masakan spesial untuk kamu."
Tawar Carlis mencoba membelokkan pembicaraan.
"No, Mom. Nichol sudah makan barusan, masakan kakak ipar sangatlah lezat," jawab Nichol seraya menunjuk Clara melalui tatapan mata.
Secara otomatis, Carlis langsung melempar tatapan matanya kepada Clara yang tengah sibuk merapikan rantang makanan.
"Kakak ipar? Perempuan itu? Kamu tidak wajib menghormatinya. Lagian usianya juga jauh lebih muda dari kamu."
"Why Mommy?"
"Tidak apa-apa. Mommy hanya tidak suka kamu terlalu akrab dengannya."
"Baik, Mom,'' jawab Nichol singkat. Dia tidak ingin memperpanjang pertanyaannya lagi.
***
"Maaf Nona, Anda tidak boleh menggunakan fasilitas Tuan Erlan untuk kepentingan pribadi. Termasuk juga menyuruh saya untuk mengantarmu," ucap Sopir kepada Clara.
"Kepentingan pribadi? Justru suami saya sendiri yang menyuruhku untuk mengantarkan makanan ke kantornya."
Sesampai di kantor, ingin rasanya ia menyumpal mulut pedasnya dengan bekas tisu makan. Bagaimana bisa pria itu sampai melarang sopir untuk tidak mengantarkannya pergi.
"Tetap tidak bisa, Nona. Tadi pagi Tuan Erlan hanya bilang bahwa dia melarangku untuk tidak mengantar Nona kemanapun Anda pergi."
Sial! Umpat Clara dalam hati. Ingin rasanya ia segera bertemu dengan laki-laki itu dan bertanya langsung apa yang ia mau darinya.
"Mungkin dia lupa memberitahumu, lihatlah ini, makanan ini adalah makanan kesukaan tuanmu, dan jika nanti aku sampai terlambat mengantarkan makanan ini untuknya, tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada sopir pribadinya ini …," Dengan memasang wajah meyakinkan sambil menunjukkan rantang makanan yang ia pegang.
Mang Ujang, sopir pribadi Tuan Erlan itu terlihat bingung dengan keadaan yang dihadapi saat ini.
Merasa Clara tidak berbohong, pria paruh baya itu langsung mempersilahkan Clara untuk masuk ke dalam mobil.
Sesampai di tempat tujuan, Mang Ujang mempersilahkan Clara untuk segera turun dari dalam mobil. Dengan rasa sedikit hormat, pria paruh baya itu pun membukakan pintu untuk Clara.
"Silahkan, Nona."
"Terimakasih," jawab Clara sambil menapakkan ujung kakinya ke ubin.
Gadis itu disambut dengan pemandangan banyak pasang bola mata yang menatapnya aneh, dengan penampilannya yang sangat sederhana, tentu menjadi sorotan sekaligus bahan perbincangan utama di tengah orang-orang yang memiliki penampilan fashionable. Tidak hanya itu, masing-masing dari mereka saling bertatap mata, seakan bertanya siapa gadis kampung yang sudah menerobos masuk ke dalam perusahaan elit.
"Maaf, Nona. Tuan Erlan sedang sibuk sekarang, lagi pula jika ingin menemuinya harus membuat janji terlebih dahulu."
Jawab resepsionis dengan nada angkuh.
"Saya istrinya, apa harus membuat janji terlebih dahulu? Biarkan saya masuk."
Sontak semua orang yang mendengar ucapan Clara tertawa tergelitik. Rasanya sangat tidak mungkin bosnya menikah dengan perempuan biasa sepertinya. Bahkan tidak ada satu perhiasan yang menempel di badannya. Jika memang dia adalah istri Tuan Erlan, seharusnya ia sudah menjadi wanita paling beruntung yang memakai barang-barang branded di badannya.
"Nona jangan bercanda, kami semua tau bahwa istri Tuan Erlan sudah meninggal. Jangan mengaku-ngaku menjadi istrinya, lebih baik kau segera pergi meninggalkan kantor ini, kalau tidak, satpam akan mengusirmu dengan paksa."
Keterlaluan, bagaimana mungkin dia tidak mengenali istri bosnya sendiri? Jika tidak ada satu pun orang di kantor ini yang mengenali Clara, itu artinya mereka tidak hadir di acara pernikahannya. Lalu siapa orang-orang yang Erlan undang waktu itu?
"Tidak, sungguh saya tidak berbohong. Saya punya buktinya."
Clara menunjukkan foto pernikahannya, foto itu didapat dari sahabatnya, Reva. Untung saja Reva sempat mengabadikan momen penting itu, meskipun sebelumnya Clara pikir apa gunanya menyimpan foto pernikahan yang tidak ada artinya sama sekali.
Setelah menunjukkan foto, sang resepsionis itu langsung melihat Clara dark ujung ke ujung. Seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Meskipun di foto itu Clara terlihat mengenakan make up, namun tetap saja tidak ada perbedaan yang mencolok.
"Lalu di mana ruangan suami saya?" tanya Clara memotong lamunan wanita di hadapannya.
"Mari saya antar," ucapnya dengan ragu.