Chereads / Terbelenggu Dendam Duda Kaya Raya / Chapter 17 - Bab 17 Suara Siapa Itu?

Chapter 17 - Bab 17 Suara Siapa Itu?

Sesampai di depan ruangan yang memiliki sekat kaca anti tembus pandang, karyawan itu berhenti. 

"Nona Tuan Erlan berada di dalam, tapi sepertinya beliau sedang ada tamunya." 

Ucap perempuan itu kepada Clara. 

"Tamu? Rekan kerja maksudnya? Baiklah saya akan menunggu sampai meetingnya selesai,"  jawab Clara mengira kalau tamu yang dimaksud adalah rekan kerjanya.

"Bukan Nona, dia adalah seorang wanita, dan—," 

"Tidak perlu dilanjutkan, saya sudah tau." 

Tanpa berpikir lama, Clara langsung menerobos masuk ke dalam ruangan. 

Deg! 

Sepi. Tidak ada satu pun orang yang ia temui di dalam ruangan itu. 

"Sa…ya….ng, cepatlah sedikit sebelum ada orang yang mendengarnya." 

Clara terhentak ketika mendengar suara rintihan di dalam kamar mandi. Kamar mandi yang memiliki bentuk persegi panjang itu, jelas suaranya berasal dari sana. 

Clara dengan pelan berusaha mendekati sumber suara, meski terdengar samar, namun suara itu sepertinya memang suara suaminya. 

Clara menempelkan telinganya ke gagang pintu kamar mandi. Kemudian mencoba melihat ke dalam melalui lubang-lubang kecil di gagang pintu. Namun sayangnya dia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan di dalam kamar mandi itu.

"Te...rus sayang, lakukan terus sampai selesai. Hari ini aku akan memuaskanmu," balas wanita yang saat ini bersamanya. 

"Tahann sayangg, akan aku pastikan kamu akan menjadi wanita paling bahagia detik ini juga." 

"Ahhh..., iya sayang," 

Desahan saling bersahutan di dalam ruangan itu, ditambah dengan suara merdu seorang wanita, menjadi sangat jelas apa yang sudah mereka lakukan. 

"Jadi ini yang dia lakukan di kantor? Oh, jadi seperti ini kebiasaannya," batin Clara dalam hati. Sekaligus tidak menyangka kalau seseorang yang terkenal sangat gagah, juga bisa melakukan perbuatan murahan. Bahkan di dalam kantornya sekaligus. 

Seketika suara desahan itu lenyap. Mungkin mereka berdua sudah sama-sama melepas birahinya masing-masing. 

"Terimakasih sayang, kamu benar-benar telah memuaskanku hari ini." 

"Kamu juga begitu hebat melakukan hal itu," balas wanita itu. 

Ingin marah, tapi tidak berhak. Kalau pernikahan mereka memang didasari atas cinta, mungkin cinta itu sudah hilang bersamaan dengan perlakuan suaminya. Seorang istri ketika mengetahui suaminya saling melepas hasrat dengan wanita lain, sudah bisa dipastikan dia akan masuk ke dalam, dan menghajar habis wanita sewaan itu. Entah wanita sewaan atau kekasih aslinya, yang jelas wanita itu tetap murahan karena sudah berhubungan badan dengan suami orang. Namun apa daya, Clara hanya istri di dalam buku nikah. Bukan istri di dalam hati Erlan. 

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaan yang ada. Mengenai makanan yang sudah ia bawa di kedua tangannya, tidak mungkin juga dibawa pulang begitu saja. 

"Kamu pasti kuat, Ra. Kamu tidak boleh menaruh perasaan kepada laki-laki laknat itu," ucap Clara dalam hati. 

Sebisa mungkin perempuan itu menahan agar air matanya tidak jatuh, meski ia sendiri tidak mencintai Erlan, namun tetap saja ada perasaan tidak terima di dalam hatinya. 

"Jika memang ia menyukai wanita itu, seharusnya dia tidak harus menikahiku. Apa salahku kepadanya? Untuk apa dia menikahiku jika hanya dijadikan pajangan dalam hidupnya. Tuhan, bebaskan aku dalam hubungan rumit ini," rintih Clara. 

Sebelum kedua orang itu keluar, Clara segera menaruh makanannya di atas meja kerja Erlan. Dia tidak ingin melihat wajah dua manusia hina yang sudah berbuat melampaui batas. Kemudian segera pergi meninggalkan ruangan itu. 

Mang Ujang yang masih stay menunggu di dalam mobil, melihat Clara yang berjalan cepat keluar dari dalam kantor. 

"Bugg" 

Suara hentakkan pintu mobil terdengar sangat keras. 

"Ayo kita pulang," ajak Clara dengan suara melemah. 

Mang Ujang segera mengiyakan, mengatur posisi duduk, dan menancap gas menjauh dari kantor itu. 

Sesekali melirik Clara yang duduk di kursi belakang melalui kaca spion tengah depan. Meskipun ia penasaran kenapa wajah Clara semuram itu, namun yang jelas ia sudah tahu jawabannya. Pasti tuannya itu yang menjadi penyebabnya. 

"Dia sudah pergi, mari kita keluar." 

Erlan menyuruh Monica untuk keluar. 

"Gila, ini pertama dan terakhir kalinya aku membantumu. Perbuatanmu ini, benar-benar tidak masuk akal," ucap Monica pada Erlan seraya berjalan keluar. 

"Kedepannya aku akan sering membutuhkan bantuanmu." 

"Dalam hal apa?" 

"Seperti tadi," tutur Erlan seraya memegang kotak makan yang berdiri di meja kerjanya. 

"Lan, aku ini sahabat kamu. Kalau memang kamu mau cari orang untuk mendukung aksi kamu, cari wanita lain. Jangan aku." 

"Mana mungkin aku bisa melakukan itu? Mending minta bantuan kamu daripada harus menyewa wanita sewaan hanya untuk berpura-pura bercinta denganku." 

"Kenapa? Apa uang kamu tidak cukup untuk menyewa mereka? Baiklah, jika kamu mau aku terus membantumu, maka aku akan memasang tarif  50 juta, untuk setiap bantuan yang aku berikan," tutur Monica dengan percaya diri. Ia yakin Erlan akan menolak permintaannya. 

Ucap Monica kepada Erlan. Lima puluh juta untuk pekerjaan yang hanya dilakukan mengandalkan suara dan berlangsung beberapa menit, jelas Erlan tidak akan mau. Hanya itu cara satu-satunya agar Monica tidak dibawa masuk ke dalam rencana gilanya. 

"Deal!"

Jawab Erlan, kemudian mengambil cek dan menuliskan nominal di atas lembaran cek itu. 

(Lima Puluh Juta Rupiah) 

Kedua mata Monica terbelalak ketika sahabatnya itu menuliskan angka fantastis di atas kertas itu.

"Ini, ambillah." 

Erlan menyodorkan cek tersebut kepada Monica. 

"Gila, kamu benar-benar sudah tidak waras," ucap Monica. Kemudian mengambil cek itu dan pergi meninggalkan Erlan.  

"Setelah mengumpatku, tapi masih mau menerima uang itu? Dasar wanita!" 

Lima puluh juta tentu tidak ada artinya bagi Erlan, uang itu bahkan tidak ada secuil dari kekayaannya. 

Pandangan Erlan beralih fokus pada rantang makanan yang saat ini ia pegang. 

"Harum sekali bau makanan ini," pujinya dalam hati. 

Erlan melepas kaitan rantang makanan dan membukanya satu per satu. Rantang makanan yang terdiri dari tiga susun itu, sangat menggugah rasa penasaran Erlan. 

"Gulai daun singkong?" 

Erlan terkejut ketika rantang pertama yang ia buka berisi gulai daun singkon kesukaannya. Sedangkan susunan kedua berisi sambal bajak dan ikan asin. Sedangkan susunan ketiga berisi nasi hangat. 

"Harum sekali bau semua makanan ini." Sambil mengendus aroma makanan di depannya, secara tidak sadar ia terus memuji bau masakan istrinya sendiri. 

"Tidak, aku tidak sudi memakan masakan perempuan itu." 

Tolak Erlan sambil menggeser makanan di hadapannya. 

Laki-laki itu melipat kedua tangannya ke depan, berusaha bergelut dengan pikirannya sendiri. Jujur saja ia tidak ingin memakan makanan yang dibuat Clara, di sisi lain sangat disayangkan jika makanan itu harus dibuang. 

Setelah beberapa detik bergelut dengan dirinya sendiri, akhirnya Erlan memutuskan untuk segera membuang makanan itu di tempat sampah. Belum sampai ia menjalankan niatnya, aroma masakan gulai daun singkong terus menggoda penciumannya. 

Dan—