"Kapan kamu bisa memberi saya seorang cucu?" tanya Carlis.
Clara menghentikan kunyahnya, lalu terdiam untuk beberapa saat.
"Anak saya sudah membayar harga yang sangat mahal untuk semua ini, jadi pastikan kamu juga memberi balasan yang setimpal," tutur Carlis menambahi.
Sambil memperhatikan gerak gerik wanita di hadapannya, kedua mata Carlis menukik tajam jatuh tepat di kedua bola mata Clara.
"Clara akan berusaha agar mama cepat mendapat cucu," jawab Clara dengan cepat. Sementara ini hanya ada jawaban itu yang bisa ia jawab.
"Jika kamu wanita normal, pastinya kamu akan mudah memberi putraku keturunan. Jika tidak, itu artinya selain kamu tidak berguna, kamu juga sudah gagal menjadi seorang istri."
Baru semalam Clara menjadi istri Erlan, ia sudah dituntut untuk segera memiliki keturunan.
Timbul tanda tanya besar di benak Clara, alasan mengapa Carlis ingin secepatnya mempunyai cucu. Padahal ia tahu bahwa sebenarnya wanita itu sudah memiliki cucu, namun sampai sekarang Clara sendiri belum bertemu dengannya.
"Clara harap mama lebih sabar menunggu dan tidak perlu khawatir karena Tuhan sudah mengatur rezeki masing-masing orang."
"Ya," jawab Carlis dengan singkat.
Mendengar ucapan menantunya, sebenarnya Carlis sedikit tersentuh. Ia pikir setelah dirinya melontarkan perkataan buruk, Clara akan marah, namun ternyata dia justru membalas kalimat itu dengan ucapan sederhana tapi memiliki makna yang mendalam.
Sekilas sosok Clara tergambar sebagai seorang wanita penyabar dan baik. Dia tidak hanya cantik, namun juga seorang wanita yang memiliki kepribadian menarik.
Jika dilihat dari itu semua, mustahil rasanya jika Clara dilahirkan dari seorang pembunuh. Namun takdir berkata lain, sekali anak pembunuh, selamanya akan menjadi keturunan pembunuh.
"Mom, are you okay?" Erlan melambaikan tangannya di depan mata Carlis.
"Mom?"
"Hah, tidak, Mommy tidak apa-apa," jawab Carlis membuyarkan lamunannya.
Melihat kejadian itu Erlan merasa ada yang aneh, tidak biasanya mommynya itu melamun saat makan. Terlebih lagi seharusnya ia bersemangat untuk terus mencemooh Clara, namun untuk beberapa saat kemudian wanita itu justru terdiam.
Rasanya Carlis harus memikirkan cara lain untuk membuat hidup menantunya menderita, tidak peduli seberapa baik kepribadiannya, yang jelas balas dendam harus tetap dilaksanakan.
"Tunggu, kamu mau ke mana?" tanya Carlis ketika melihat Clara hendak meninggalkan meja makan.
"Clara sudah selesai makan, Ma."
"Yang saya tanyakan bukan itu. Kamu mau ke mana?" Carlis mendesak Clara.
"Ke kamar, Ma."
"Kalau kamu ke kamar, siapa yang akan mencuci semua piring kotor ini?"
Tanya Carlis sambil menunjuk piring-piring di meja makan. Secara otomatis pergerakan mata Clara mengikuti arah jari telunjuk Carlis.
"Maksud Mama?"
"Status kamu hanya seorang istri dari anak saya, bukan nyonya besar di keluarga ini. Jadi selama kamu tinggal di sini, kamu harus melakukan apa pun perintah saya. Sekarang cuci semua piring-piring kotor ini!" perintah Carlis dengan nada kasar. Sambil terus melotot ke arah Clara.
"Tapi, Ma …."
Melihat tatapan tajam Carlis, Clara menghentikan niatnya untuk protes. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti perintah ibu mertuanya itu.
Clara segera mengemasi piring-piring kotor di atas meja, dengan cepat ia menata satu per satu piring saling bertumpangan.
"Pelayan akan mengantarmu ke dapur. Pelayan!" ucap Carlis memanggil Viola yang kebetulan berdiri tidak jauh dari meja makan.
Mendengar ucapan majikannya, wanita itu segera berjalan menuju ke arah sumber suara.
"Antar wanita ini ke dapur," perintah Carlis pada Viola. Sebagai anggota baru, jelas Clara masih tidak mengetahui tempat dapurnya.
''Baik, Nyonya. Nona sini saya bantu," ucap Viola sambil memegang tumpukan piring kotor yang sudah Clara tata.
"Hentikan, ia bisa sendiri melakukan tugasnya."
"Baik Nyonya."
Viola segera melepaskan tangannya dari piring-piring di hadapannya. Lalu menatap Clara dengan rasa iba.
"Mari Nona."
Viola menuntun Clara menuju dapur. Sesampai di dapur, gadis itu ditampakkan dengan pemandangan yang luar biasa, belasan piring kotor berserakan di atas wastafel.
Tidak, kali ini ada yang aneh. Di rumah sebesar ini hanya ada dua orang yang berperan sebagai majikan. Carlis dan suaminya, jika pelayan biasa yang makan, pasti mereka tidak berani untuk menaruh piring bekas pakainya di dalam dapur. Namun di hadapannya kali ini justru terdapat banyak piring kotor, jika dilihat dari bekasnya, sepertinya makanan yang dimakan bukanlah makanan sederhana, karena ada bekas bumbu dendeng sapi, saus, serta aroma lelehan keju yang masih melekat di piring itu.
"Apa ada orang lain yang tinggal di sini selain mama, suamiku, dan para pelayan di sini?" tanya Clara penasaran.
"Tidak ada, Nona," jawab Viola dengan sedikit gemetar.
"Baiklah."
Clara yakin ada yang Viola sembunyikan, pasti ada sesuatu yang membuat Viola tidak berani menjawab dengan jujur.
"Biarkan saya yang mengoles piring-piring ini dengan sabun, sedangkan Nona yang membilasnya dengan air bersih."
Dengan tatapan mata yang mengendap-endap, Viola berusaha membantu Clara. Jika Carlis melihatnya, sudah bisa dipastikan kedudukannya akan terancam.
"Kenapa kamu ingin membantuku?" tanya Clara kepada Viola.
"Nona tidak pantas diperlakukan seperti seorang pelayan, karena status Nona sekarang adalah istri dari Tuan Erlan," jawab Viola.
"Hanya itu?" tanya Clara lagi.
"Iya, Nona."
Viola mengalihkan pandangannya.
Sedangkan Clara, ia yakin ada sesuatu yang aneh dalam diri Viola. Gadis itu memang baik, tapi firasat Clara mengatakan gadis itu menyembunyikan sesuatu darinya.
"Beritahu aku sesuatu tentang semua yang kamu ketahui tentang keluarga ini, saya mohon." Clara memegang kedua tangan Viola, lalu menatap lekat kedua matanya.
Tubuh Viola seketika bergetar, keringat dingin perlahan mengucur di setiap sudut kulit.
"Ti … tidak ada, Nona."
"Baik, jika memang tidak ada rahasia, katakan hal itu dan tatap mataku sekarang juga."
"Nona …."
"Cepat lakukan sekarang."
"Tidak Nona, saya tidak bisa."
Dengan penuk kepanikan, Viola melepas tangan Clara di pundaknya. Gadis itu benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun saat ini, bahkan dia sendiri tidak tau harus memihak pada siapa.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi. Maaf, jika tadi aku sedikit kasar," ucap Clara dengan wajah bersalah.
Ia melihat ketakutan menyelimuti wajah Viola, gadis muda itu sungguh terlihat tertekan dengan sikapnya.
Clara semakin yakin bahwa firasatnya tidak salah, kali ini Viola semakin terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Rahasia besar di keluarga Wesly, tentu ia sangat mengetahui.
Keadaan menjadi hening, hanya ada bunyi dari beberapa piring yang saling bergesekan satu sama lain.
Ting… Tong…
Suara jam dinding berbunyi begitu keras, benda bulat yang terpaku melekat di badan dinding itu seketika menunjuk pukul 08.00.
"Jam itu, Nona jangan …." teriak Viola histeris.
"Jangan? Jangan apa maksud kamu?"
Viola tidak menjawab, raut wajahnya berubah menjadi pucat pasih.