Chereads / Gejolak Dendam / Chapter 18 - Luka Masa Lalu

Chapter 18 - Luka Masa Lalu

Memory Vania kembali melompat pada masa lalu, ia berusaha mengingat-ingat laki-laki yang bernama Wildan itu. Nama yang tak asing bagi Vania, Wildan adalah teman di sekolah dasar yang selalu membully Vania. Tiba-tiba luka masa lalu kembali hadir kala mengingat perlakuan Wildan terhadapnya.

Lima belas tahun yang lalu.

"Vania, udah miskin, jelek, idihh!" Ucap Wildan sambil bergidik jijik ketika dekat dengan Vania.

Memang, dulu Vania dekil, rambutnya jarang disisir, pakaiannya pun kusut, seperti tidak pernah disetrika. Kalau istirahat, ia jarang jajan karena tidak mempunyai uang, ia sering tidak diberi uang oleh orang tuanya.

Ayahnya yang saat itu tidak bekerja karena di PHK, membuat ibu Vania membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibunya pun bekerja sebagai buruh cuci di salah satu rumah orang kaya.

Karena seringnya di bully oleh Wildan, rasanya Vania ingin sekali pindah sekolah, namun kedua orang tuanya tidak mampu memindahkannya ke sekolah lain, jadi Vania harus mampu bertahan walau ia sudah merasa tertekan.

Vania sering mengadukan pada kedua orang tuanya tentang perlakuan Wildan kepadanya.

"Sabar Van, biar aja Allah yang balas perbuatan temanmu itu!" Ucap Ibu Astrid, orang tua Vania pada saat itu.

Ketika Wildan sering membully Vania, kadang teman-teman dekatnya Wildan pun ikut membullynya. Vania hanya bisa menangis, sampai Vania mengadu pada gurunya saat itu, namun hanya sebentar Wildan menghentikan perbuatan buruknya itu, beberapa hari kemudian, Vania kembali di bully olehnya.

Sedih memang jadi Vania, dulu kedua orang tuanya berharap ia bisa menjadi wanita mandiri yang sukses, namun sampai saat ini ia belum bisa mewujudkannya.

"Iya, aku ingat dengan Wildan. Memangnya kenapa Vik?"

"Dia itu kan jadi seorang youtuber, kamu pernah menonton kontennya?" Tanya Vika.

Vania menggelengkan kepalanya, "nggak." Jawab Vania. Untuk membeli paket data saja terkadang susah, apalagi untuk menonton youtube yang akan menghabiskan banyak paket data.

"Dia juga pemilik Delicious Resto yang sudah buka beberapa cabang di dalam dan di luar kota, udah sukses banget deh dia sekarang." Lanjut Vika.

'Si pembully itu ternyata bisa sukses, lalu aku? Aku masih tetap disini, belum ada perubahan dalam hidupku.' Batin Vania.

"Dia sudah menikah?" Tanya Vania.

"Belum, padahal cewek-cewek banyak lho yang suka sama dia."

Vania heran, laki-laki seperti Wildan ternyata banyak yang menyukai. Jangankan untuk suka, untuk bertemu dengannya saja, Vania tidak ingin.

"Aku masih ingat perlakuan dia kepadaku dulu!" Ujar Vania.

"Iya, aku mengerti. Pastinya masih membekas dalam pikiran kamu, kan?"

"Iya, rasa sakit, rasa benci. Semua masih menjadi satu di dalam hati aku."

"Tapi itu kan hanya masa lalu Van. Sekarang, dia mungkin sudah berubah, nggak seperti itu lagi."

"Tetap aja, traumaku nggak akan hilang. Dia selalu menghina aku, dia selalu menertawakan aku, aku benci banget Vik sama dia, dia nggak pernah minta maaf sama sekali pada aku, sampai kita lulus SD, dia nggak pernah merasa bersalah kalau pernah menyakiti aku."

"Jangan terlalu benci, nanti jadi cinta lho. Coba deh kamu lihat konten youtubenya dia!"

Vika pun membuka ponselnya, lalu ia membuka aplikasi youtube, setelah itu Vika memperlihatkan salah satu konten youtube Wildan pada Vania. Vania sedikit takjub melihatnya, ia terlihat tampan dan cara bicaranya juga tidak menyombongkan diri seperti waktu ia kecil.

"Sudah banyak berubah kan Wildan?" Ucap Vika.

"Iya."

"Nanti kapan-kapan kalau ada reuni, kamu ikut ya Van!"

"Insya Allah."

Jika tujuan reuni untuk menjalin tali silaturahmi, Vania mau-mau saja ikut, tapi jika tujuannya hanya untuk pamer harta, pamer pasangan, pamer status sosial, Vania tidak akan mau ikut, dari pada hanya membuat Vania minder dan sedih, lebih baik Vania tidak pernah datang ke acara reuni itu.

Tak lama kemudian, Arzan datang menghampiri Vania.

"Mama!" Panggil Arzan seraya mendekat.

"Salaman dulu sama Tante Vika!" Titah Vania pada putra semata wayangnya itu, lalu Arzan mencium punggung tangan Vika.

"Oh iya, tadi Tante beli makanan lho untuk kamu, sebentar ya Tante ambilkan di mobil!"

Vika beranjak ke mobilnya untuk mengambilkan makanan yang sudah ia beli untuk Arzan.

"Nih untuk kamu!" Ucap Vika seraya memberikan satu kantong plastik yang berisi chiki, cokelat, biskuit, susu dan yogurt.

"Wahh banyak banget, Tante. Terima kasih ya!" Ucap Arzan. Ia sangat senang mendapatkan makanan-makanan itu.

"Alhamdulillah." Ucap syukur Vania.

"Terima kasih ya, Vika." Lanjut Vania.

"Iya."

Arzan pun asyik membuka makanan itu, lalu memakannya sendiri. Vika yang melihatnya pun bahagia, karena ia sudah bisa menyenangkan hati anak yatim.

"Arzan suka renang nggak?" Tanya Vika.

"Suka, Tante."

"Nanti kapan-kapan kita berenang yuk!" Ajak Vika.

"Iya, aku mau."

Vika ingin sekali mengajak Arzan renang bersama anaknya yang juga seusia dengan Arzan.

"Arzan pernah menanyakan Papanya, Van?" Tanya Vika.

"Nggak pernah sih, karena dia juga sudah mengerti kalau Papanya itu sudah meninggal."

"Syukurlah kalau sudah mengerti."

Hari sudah sore, Tristan sudah keluar dari kantornya, ia langsung melangkahkan kakinya menuju basement tempat mobilnya terparkir disana.

Tristan kembali teringat Vania, ia ingin membelikan makanan untuknya. Tristan mengambil gawai yang berada di saku kemejanya, lalu ia mencari kontak Vania.

Gawai milik Vania yang ia letakkan di atas meja bergetar, Vania lalu mengangkatnya.

[Assalamualaikum]

[Waalaikumsalam Van. Kamu mau makan apa sore ini?]

[Hhmmm ... Nggak lagi mau makan apa-apa sih, Mas]

[Arzan mau makan apa?]

[Nggak deh Mas, nggak usah dibeliin apa-apa]

[Nggak apa-apa Van, aku sekalian pulang kerja nih, mau sekalian beli makanan juga untuk Yurika dan Keanu]

[Terserah Mas aja deh mau beliin makanan apa]

[Oke deh. Yaudah ya]

[Iya]

[Assalamualaikum]

[Waalaikumsalam]

Vania menutup teleponnya.

"Siapa sih yang nelepon tadi?" Tanya Vika.

"Kakak ipar aku, Mas Tristan yang rumahnya disebelah."

"Enak ya kamu masih bisa tinggal disini, mertua kamu baik, kakak ipar kamu pun baik."

"Alhamdulillah, walaupun tetap ada yang nggak baik."

"Sabar Van, aku yakin kamu nanti akan mendapatkan kebahagiaan setelah yang pahit ini berlalu."

"Aamiin ... Semoga saja."

Vania pun berharap, ia dapat melalui kepahitan ini dan bisa segera menyambut kebahagiaan yang Allah berikan.

"Van, aku pulang dulu ya. Sudah sore, anak-anak pasti mencari aku." Pamit Vika.

"Iya, Vik. Terima kasih ya sudah berkunjung kesini. Aku senang banget kamu sudah datang." Ucap Vania.

"Iya, nanti kapan-kapan kita bertemu lagi ya." Balas Vika.

"Arzan, Tante pulang dulu ya!" Pamit Vika.

"Iya, Tante."

Vika merogoh tasnya, lalu ia memberikan amplop yang berisi uang pada Arzan, " ambil, untuk jajan kamu!" Ucap Vika. Ia memang sudah menyiapkan amplop yang berisi uang, yang ingin ia berikan pada Arzan sebelum datang ke rumah Vania.