"Ya ampun Vik, nggak usah!" Vania menolaknya, namun akhirnya Arzan tetap menerimanya.
"Nggak apa-apa Van, aku cuma bisa kasih sedikit untuk jajan Arzan."
"Terima kasih ya Vik!" Ucap Vania dengan mata yang berkaca-kaca, sambil memeluk Vika. Vania ingin menangis karena haru, ternyata banyak orang yang baik padanya dan juga pada Arzan.
"Iya." Balas Vika seraya melepaskan pelukannya.
Vika beranjak masuk ke dalam mobilnya, lalu ia melambaikan tangannya pada Vania dan Arzan, setelah itu mobilnya pun melaju.
'Enak ya jadi Vika, bisa menjadi seorang istri dari suami yang kaya raya, kemana-mana nyetir mobil sendiri. Andai aku punya suami seperti itu.' Batin Vania sambil memperhatikan mobil Vika yang semakin jauh melaju.
"Astagfirullah ... " Gumam Vania. Ia harus menerima takdir dari Allah berupa kesedihan karena harus kehilangan orang yang dicintai. Vania yakin hidup ini bergantian antara sedih dan bahagia, ia yakin setelah ini akan ada kebahagiaan untuknya.
Tak lama kemudian mobil Tristan datang, lalu ia memarkirkan mobilnya di depan rumahnya.
"Vania!" Panggil Tristan. Vania yang hendak masuk ke dalam rumahnya, menghentikan langkahnya, lalu ia menoleh ke arah kakak iparnya itu.
"Ada apa, Mas?" Tanya Vania.
Tristan menghampiri Vania, lalu ia memberikan bungkusan dalam plastik yang berisi dua porsi martabak, martabak manis dan martabak telur.
"Terima kasih ya, Mas." Ucap Vania.
"Iya."
"Eh Van, Arzan mana?"
"Ada di dalam." Jawab Vania sambil tersenyum pada Tristan. Senyuman dan juga tatapan mata Vania itu membuat Tristan semakin terpesona, ia semakin ingin memiliki janda beranak satu itu.
Vania beranjak ke dalam rumahnya, lalu ia duduk di ruang tengah, setelah itu membuka martabak yang baru saja diberikan oleh kakak iparnya itu.
"Mama makan apa sih?" Tanya Arzan saat melihat Vania memakan martabak pemberian Tristan.
"Martabak, Sayang. Nih makan!" Vania memberikan martabak itu pada Arzan karena biasanya ia suka martabak telur. Arzan pun memakannya bersama sang mama.
"Enak, Ma. Ini dari siapa?" Tanya Arzan.
"Dari Papa Tristan."
"Selama Papa meninggal, banyak orang baik ya Ma, ada yang ngasih aku uang, ada yang ngasih aku makanan. Tapi sebelum Papa meninggal, jarang ada yang baik sama aku."
Vania tersenyum pada anak satu-satunya itu, ia belum mengerti kalau orang-orang ingin mendapatkan pahala dengan memberi kepada anak yatim.
"Alhamdulillah kalau kamu diperlakukan baik oleh orang-orang."
Kelak Arzan akan mengerti mengapa banyak orang yang baik padanya.
"Pa, papa bawa apa sih?" Tanya Yurika saat melihat ada bungkusan plastik di atas meja makannya.
"Bawa martabak."
Yurika pun membukanya, lalu di dalam bungkusan martabak, ada kotak nasi berwarna biru. 'Ini kotak nasi siapa?' Tanya Yurika dalam hati sambil memegang kotak nasi itu. Karena ia merasa tidak pernah membawakan bekal untuk suaminya itu.
"Pa, ini kotak nasi siapa?" Tanya Yurika pada Tristan saat ia sedang duduk di sofa ruang tengah.
Tristan ragu untuk mengatakan kalau kotak nasi itu milik Vania, Vania yang telah membawakannya bekal untuknya, tadi Tristan lupa mengembalikannya pada pemiliknya, ceroboh sekali ia.
"Itu punya teman Papa, tadi dia bawa nasi tapi nggak dimakan. Yaudah, akhirnya dikasih deh ke Papa." Tristan mengarang cerita.
Yurika mengernyitkan keningnya, "punya teman Papa? Kok tumben?" Yurika bertanya-tanya.
"Iya, begitu ceritanya."
Yurika sedikit tak percaya dengan jawaban sang suami, karena biasanya Tristan selalu membeli makanan sendiri, rasanya tidak mungkin ia mau makan makanan yang dibawa oleh orang lain.
Yurika memakan martabak yang dibeli oleh suaminya itu, sambil memperhatikan kotak nasi berwarna biru yang berada di hadapannya.
"Ma, Mama masak apa hari ini?" Tanya Tristan seraya merangkul sang istri dari belakang, sengaja Tristan melakukan itu agar Yurika tidak curiga dan berpikir yang macam-macam kepadanya.
"Itu, Papa lihat aja sendiri di dalam tudung saji!"
Tristan membuka tudung sajinya, lalu ia mengambil piring dan menuangkan nasi ke atasnya, masakan Yurika sungguh menggugah selera. Tristan makan sambil duduk di hadapan istrinya itu. Yurika masih saja memandang suaminya itu dengan tatapan curiga, namun ia tak bisa menjawab kecurigaannya itu.
Tak terasa martabak telur yang Tristan belikan sudah hampir habis oleh Yurika, ia yang memakannya seorang diri. Tristan tertawa sendiri melihat sang istri yang hampir menghabiskan satu porsi martabak itu.
"Itu, habis Ma?" Ucap Tristan.
"Astagfirullah ... Iya, Mama nggak terasa makan, tiba-tiba sudah mau habis."
Tristan pun tertawa terbahak. Yurika yang selalu mengatakan bahwa dirinya ingin diet, selalu gagal karena sering khilaf kalau sudah bertemu dengan makanan.
"Nggak apa-apa, habiskan saja!" Titah Tristan.
"Yaa gagal lagi deh diet aku." Keluh Yurika seraya mengerucutkan bibirnya.
"Nggak apa-apa, kamu kan lucu kalau gendut seperti itu." Puji sang suami.
Yurika tetap saja tidak suka dengan pujian itu, menurutnya Tristan hanya berusaha menyenangkan hatinya saja.
Sedangkan Vania, ia sedang mengantar Arzan untuk mengaji di masjid, lalu Vania kembali bertemu dengan Yudha, tetangga dekat rumahnya itu. Yudha baru saja selesai melaksanakan sholat maghrib di masjid. Begitu melihat Vania, Yudha pun melemparkan senyumannya janda beranak satu itu, lalu mereka berjalan beriringan.
"Anak kamu sekolahnya kelas berapa?" Tanya Yudha.
"Masih TK B."
"Oh. Siapa namanya anak kamu?"
"Arzan."
"Papanya sudah lama meninggal?" Tanya Yudha lagi.
Vania mengernyitkan kedua matanya sambil menatap Yudha, ternyata laki-laki itu tahu kalau Vania adalah seorang janda.
"Dua bulan yang lalu."
"Kebetulan, saya juga seorang duda." Ucap Yudha.
Vania pun tertawa, "lalu apa hubungannya dengan saya?" Tanyanya.
"Yaa saya hanya memberi tahu aja."
Bagi Vania, tidak penting. Vania bukannya ingin mencari suami tapi ia ingin mencari pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhannya bersama Arzan.
Sudah sampai di depan rumah Yudha, lalu Yudha pun pamit dengan Vania. Setelah itu, Vania melanjutkan berjalan menuju ke rumahnya.
"Ini martabak manis dari siapa, Van?" Tanya Ibu Rani saat Vania sudah berada di rumah.
"Dari Mas Tristan."
"Oh."
Vania masuk ke dalam kamarnya, lalu ia membuka ponselnya, ada pesan dari Tristan.
[Van, besok jangan lupa buatkan saya nasi goreng spesial lagi ya]
Lalu Vania pun membalasnya.
[Iya Mas. Oh iya, kotak nasinya mana?]
[Nanti saya berikan]
Vania beranjak ke dapur, lalu ia menggoreng tempe dan ayam untuk makan malamnya, setelah itu ia juga membuat sambal goreng.
Terdengar suara bersin dari luar rumah, ternyata Tristan yang bersin-bersin tadi, karena mencium aroma sambal goreng buatan Vania.
"Kamu masak apa Van?" Tanya Tristan yang masuk dari pintu dapur, lalu ia memberikan kotak nasi milik Vania itu.
"Sambal goreng."
"Oh, wanginya sedap sekali."
"Mas Tristan sudah makan?" Tanya Vania.
"Tadi sudah sih, tapi mencium aroma sambal gorengmu, aku jadi lapar lagi."
"Yaudah, nanti makan aja lagi, tapi lauknya hanya ayam dan tempe goreng."
"Nggak apa-apa."