Chereads / Gejolak Dendam / Chapter 17 - Kedatangan Vika

Chapter 17 - Kedatangan Vika

Tristan meraih ponselnya, ia membuka aplikasi berwarna hijau, lalu kembali mengirim pesan pada Vania.

[Van, makanannya sudah dimakan belum?]

Vania yang sedang online, langsung membaca pesan dari Tristan tersebut.

[Sudah Mas, tapi maaf nggak habis]

[Lho, kenapa nggak habis? Nggak enak ya?]

[Bukan gitu Mas, enak kok]

[Lalu, kenapa nggak habis?]

[Tiba-tiba aja aku nggak nafsu makan]

[Lho, kenapa? Cerita dong!]

Vania ingin bercerita namun ia juga takut Tristan menyampaikan ceritanya itu pada sang istri, Vania tidak ingin apa yang ia ceritakan diadukan kembali pada Yurika, yang nantinya akan menambah masalah baru baginya.

[Ga apa-apa kok, Mas]

[Kalau ada apa-apa, cerita aja sama aku!]

Tristan siap menjadi pendengar setia bagi Vania, ia ingin tahu apa yang terjadi dengan Vania.

[Nanti deh Mas, kapan-kapan aku cerita]

[Oke]

Kapan-kapan Tristan ingin mengajak Vania makan di luar atau mengajaknya jalan-jalan, sekalian menghibur Arzan.

Tristan pun kembali melanjutkan pekerjaannya, karena kalau sudah teringat Vania, rasanya ia ingin cepat-cepat pulang, ia ingin secepatnya bertemu dengan janda beranak satu itu.

Drrttt ... Drrttt ...

Ponsel Vania kembali bergetar, Vania yang masih berada di dalam kamarnya, langsung mengangkatnya.

[Assalamualaikum]

[Walaaikumsalam, Van apa kabar?]

[Alhamdulillah, baik Vik]

[Kamu gimana kabarnya?]

[Baik juga Van, Oh iya kamu masih tinggal di rumah mertua kamu atau udah pindah?]

[Masih tinggal di tempat mertuaku]

[Kebetulan, aku sedang berada di rumah saudaraku nih, aku mau mampir ke rumahmu. Kamu sedang ada di rumah nggak?]

[Aku ada di rumah kok, yaudah silahkan mampir aja]

[Oke, aku kesana sekarang ya]

[Iya, aku tunggu ya]

Vania memang sudah lama tidak bertemu dengan Vika, selama ini mereka hanya berkabar melalui chat saja, makanya Vania akan sangat senang jika Vika mau main ke rumahnya.

Vania keluar rumah, ia hendak ke warung ingin membeli makanan camilan untuk Vika yang nanti akan datang.

"Mama, mau kemana?" Teriak Arzan dari jauh.

"Mama mau ke warung."

"Ikut!"

Arzan pun berlari menghampiri sang Mama, Keanu yang sedang main bersama Arzan pun ikut berlari, sampai akhirnya ...

Bruukkkk ~~

Arzan terjatuh, lalu ia menangis. Vania langsung menghampiri anaknya itu, lututnya mengeluarkan darah.

"Makanya jangan lari!" Ucap Vania.

"Aku kan mau ikut Mama!"

Arzan berjalan terpincang-pincang. Setelah sampai di warung, Vania membeli plester untuk menutupi luka pada lutut Arzan.

"Mama, aku mau beli itu!" Pinta Arzan sambil menunjuk mainan.

"Aku juga mau dong, Ma!" Keanu ikut meminta mainan.

Vania melihat uang yang ia bawa, untuk membeli dua mainan, uangnya kurang karena Vania juga akan membeli makanan.

"Uangnya kurang. Beli makanan aja ya?" Ucap Vania.

Arzan menggelengkan kepalanya, Keanu pun menggelengkan kepalanya. Mereka berdua tidak mengerti, tetap ingin membeli mainan.

"Mainan kamu kan sudah banyak, Arzan." Tutur Vania.

"Kamu juga, mainan kamu sudah banyak, Keanu." Lanjut Vania.

"Tapi udah bosan, Mama!" Sahut Arzan.

"Mau beli apa sih? Udah ambil aja, nanti saya yang bayar!" Ucap salah seorang laki-laki, lalu Vania langsung menoleh ke arah laki-laki yang berdiri di sebelahnya itu.

Arzan dan Keanu pun mengambil mainan itu. Vania masih memandang laki-laki itu, lalu Vania tersenyum padanya, laki-laki itu pun membalas senyumannya. Laki-laki itu bernama Yudha, ia tetangga baru di dekat rumah Vania, namun Vania belum mengenalnya.

"Ini anaknya dua-duanya, Mbak?" Tanya Yudha.

"Yang satu anak, yang satu keponakan."

"Oh."

"Mbak, yang tinggal di rumah yang bercat hijau itu kan?"

Vania menganggukkan kepalanya, "iya."

"Oh ya, saya tetangga samping kiri, yang hanya berjarak satu rumah dari rumah Mbak."

"Oh rumah Mas yang itu, baru pindah ya, Mas?" Tanya Vania.

"Sudah sebulan yang lalu sih."

"Oh iya, ini mainannya sudah dibeliin, terima kasih ya!" Ucap Vania.

"Iya."

Vania hampir lupa dengan tujuannya, ingin membeli makanan, ia pun memilih makanan cemilan untuk Vika yang sebentar lagi akan datang, lalu ia membayarnya.

"Saya duluan, ya Mas!"

"Iya."

Vania berlalu dari hadapan laki-laki yang bernama Yudha itu, namun Yudha masih saja memperhatikan janda cantik beranak satu itu.

Setelah sampai di rumah, Vania melihat mobil yang terparkir di depan rumahnya, lalu ia masuk ke dalam rumahnya.

"Vika!" Ternyata teman lamanya itu sudah datang ke rumahnya, mereka berdua pun cipika-cipiki karena sudah lama tidak bertemu.

"Kamu makin cantik deh Vika!" Puji Vania.

"Kamu yang dari dulu masih cantik aja, nggak berubah!" Vika pun memuji Vania.

Setelah itu Vania beranjak ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat, lalu menyuguhkan makanan camilan yang tadi sudah ia beli. Setelah itu Vania duduk menemani Vika di ruang tamu.

"Gimana kabar kamu Van?" Tanya Vika.

"Ya beginilah aku sekarang, tanpa suami."

"Aku turut berduka cita ya, maaf aku waktu itu nggak bisa datang karena sedang ada acara keluarga."

"Iya, nggak apa-apa."

"Sudah lama aku mau main ke rumah kamu, tapi baru sempat sekarang." Ujar Vika.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa datang." Balas Vania, ia pun senang karena pada akhirnya Vika bisa datang ke rumahnya.

"Anak kamu mana Van?" Tanya Vika.

"Lagi main di luar."

"Kamu kok nggak bawa anak kamu yang cantik itu sih? aku kan mau ketemu!" Ucap Vania.

"Iya, dia lagi sama suster di rumah sepupu aku."

Vania ingin menanyakan lowongan pekerjaan pada Vika, mungkin saja ada lowongan pekerjaan di rumahnya.

"Vik, ada lowongan nggak di tempat kamu?"

Vika pun tertawa, "sejak kapan aku kerja? Aku kan nggak kerja."

"Maksud aku, di rumah kamu, misalnya sebagai asisten rumah tangga gitu?"

Vika tersenyum pada Vania, "Van, kamu itu cantik, masa cantik-cantik jadi asisten rumah tangga?"

Vania pun termenung, ia mengingat betapa sulitnya mencari pekerjaaan walaupun hanya sebagai asisten rumah tangga. Jika memang ada lowongan pekerjaan itu, Vania ingin bekerja di rumah orang lain saja, dari pada di rumah kakak iparnya itu, selalu makan ati.

"Memangnya salah ya Vik, kalau aku mau jadi asisten rumah tangga?" Ucap Vania dengan memperlihatkan wajahnya yang sendu.

"Nggak, nggak salah. Tapi kan lebih baik kamu cari pekerjaan lain, misalnya sebagai penjaga toko."

Vania menghela nafas, "susah, Vik. Aku sudah cari pekerjaan, aku sudah tanya-tanya, tapi belum dapat-dapat."

"Memang susah sih mencari pekerjaan zaman sekarang."

"Sebenarnya aku sudah bekerja, di rumah kakak iparku, tapi dia selalu aja membuatku sakit hati dengan ucapannya." Ungkap Vania.

"Sabar ya Van!"

Vania tersenyum pada Vika. "Dari dulu, aku memang selalu dikucilkan dan dibully orang ya!" Ucap Vania.

Tiba-tiba Vika mengingat masa kecil Vania yang pernah dibully oleh teman sekolah mereka, dulu.

"Oh iya, Kamu masih ingat teman kita yang namanya Wildan? Wildan Bratajaya?" Tanya Vika.