Saat menyadari kesalahannya, dengan cepatnya Indra membalikkan tubuh agar dapat seketika menghilangkan pesona sihir itu dari pikirannya. Namun beberapa suara pekik tertahan yang kembali menyusul, dengan sendirinya telah saja mengusik jiwa pelindung yang ada didalam sifat si pemuda.
Karena kuatir, Indra segera melempar tanya walaupun sambil terus membelakangi pemandangan menggoda yang sempat ia lihat. Begitu gugup, si pemuda berteriak untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Ada apa? Bisa saya bantu?" bingung harus memanggil dengan sebutan apa, Indra langsung saja bertanya tanpa memanggil nama.
"Mas Indra? Ah, aahh … tolong …" dari dalam kamar mandi, kembali terdengar suara panggilan yang diiringi pekik ketakutan.
"Eh, ada apa, Bu? …" tanpa berpikir lagi, sebutan 'Bu' adalah sesuatu yang dianggapnya paling pantas untuk digunakan sebagai panggilan.
"Kenapa panggil Bu lagi? ahh tolong … geli, aku takut …" terdengar panik, Miranti kembali menjerit kecil.
"Mama, aku memanggil Mama …" tak tahan dengan perdebatan yang mengganggu niat baiknya, Indra langsung saja memanggil Miranti dengan menyebutkan jati diri si wanita yang merupakan istrinya.
"Oh, kok manggil Mama? Nggak mau, panggil aku Mbak atau Jeng saja … Mas Indra, Aku takut, tolong …" masih saja sempat rewel dengan masalah gelar panggilan, wanita itu kembali menjerit minta tolong.
"Kenapa? Takut apa?" tak mau memperdulikan protes yang terlontar, si pemuda langsung saja menanyakan inti permasalahan.
"Panggil dulu dengan sebutan yang bener!" kembali Miranti menjerit. Namun, kali ini ia malah mempermasalahkan sebutan panggilan untuk dirinya.
"Eh, panggil apa?" seperti hilang akal, langsung saja pertanyaan itu terlontar.
"Panggil aku dengan sebutan Mbak …" manja, suara Miranti malah seperti merengek pada kekasih tersayangnya.
"Bagaimana kalau Chaca dengar dan menirunya?" melupakan kekuatirannya, Indra malah terbawa pada perdebatan yang diluar kontek dari kegentingan saat itu.
"Biar saja, Chaca masih terlalu kecil untuk meniru. Aku mau dipanggil dengan sebutan yang lebih akrab," begitu kolokan, Miranti langsung saja merajuk dengan tetap mempermasalahkan nama panggilan.
"Iya, iya … Mbak Mira, Jeng Mira … ada apa di dalam?" tak mau memperpanjang urusan yang kurang penting, Indra langsung saja menukas.
"Tolong Mas Indra buka pintu kamar mandinya. Aku takut mau deketin pintu. Cepetaaannn …" pekik tertahan yang tadi diperdengarkan, kini sudah langsung saja berganti menjadi sebuah jeritan panik.
"Uh, A-aku nggak berani …"
"Kok nggak beraniii …?"
"Eh, anu … M-mbak Mira pakai baju dulu."
"Nggak mau, aku takut mau bergerak. Tolong aku, Mass … pliss … kalau Mama sampe pingsan, pokoknya Papa yang harus bertanggungjawab," sekarang, jeritan yang tadi sudah saja berganti menjadi rengekan yang hampir menuju pada tangis. Lalu tentang masalah nama panggilan, wanita itupun terus merubah penggantinya sesuai dengan keinginan saja.
---
Mendengar apa yang dikatakan itu, si pemuda lugu langsung saja membuang semua permasalahan terkait nama panggilan mereka. Karena merasa semakin tidak tega, iapun bertekad untuk memasuki kamar mandi demi menolong sang istri. Meskipun, ia juga tahu bagaimana konsekuensinya jika sampai melakukan hal itu.
Karena sekuat apapun ia berusaha serta bersikukuh untuk menepati janjinya, hal yang lebih mendesak telah saja membuat dirinya membuang semua niat yang semula masih melekat dalam sanubari. Hingga walau secara sadar mengerti tentang yang bakal dijumpainya nanti, ia sudah bertekad untuk tidak akan mundur lagi.
Dengan sigap, Indra segera membalikkan tubuh untuk menghadap pintu kamar mandi. Lalu dalam satu langkah lebar, ia mendekat dan meraih handle pintu untuk kemudian mendorongnya hingga terbuka lebar.
"Ih, Mas Indra … hati-hati …" pekik Miranti saat Indra masuk ke dalam kamar mandi.
Dan benar saja … tubuh sintal yang tadi sempat membuyarkan semua akal warasnya, dengan begitu saja nampak terpampang di depan mata. Tapi untung saja Miranti masih terlihat sibuk dengan kepanikannya sendiri, sehingga dengan begitu naturalnya ia terlihat menyilangkan kedua tangan untuk menutupi bagian-bagian tubuh yang begitu menggetarkan hati lelaki.
Mengabaikan tubuh indah yang tak tertutupi satu lembar benang pun diatas kulit mulusnya, Indra langsung saja meraih jubah mandi yang tergantung tak jauh darinya. Namun belum juga dapat memberikan pada sang istri, mendadak saja sesosok tubuh basah telah merangkulnya dari samping.
"Mas Indra, itu … aku takut …" tak lagi mengeluarkan suara keras, wanita itu berbisik lemah sembari semakin erat memeluk.
"Sshh … nggak papa, ada aku di sini," tanpa sadar, Indra segera saja balas merangkul untuk memberi perlindungan dan rasa aman.
Lalu saat sebuah kilasan ingatan terpercik, Indra pun segera saja menumpulkan seluruh kekuatan batinnya. Dengan perlahan, ia membentangkan jubah mandi yang ada ditangannya untuk ditutupkan pada belakang tubuh Miranti. Dimana saat itu, sang wanita pun segera saja menyusup ke dalamnya dengan tanpa mau terlepas dari pelukan.
"Mas Indra …" terdengar kembali rengek Miranti.
"Ada apa?"
"Itu, aku takut …"
"Apa? Di mana?"
"Laba-laba raksasa, diatas pintu …" bisik si wanita dengan tubuh lunglai tanpa daya.
Dengan cepat, Indra segera menengok ke arah yang dimaksud. Setelah beberapa lama mencari-cari dengan matanya, mendadak saja pemuda itu ingin tertawa dengan sekeras mungkin akibat rasa geli yang menghinggapinya.
---
Betapa ia tidak ingin tertawa atau bahkan berteriak kesal?
Karena saat Indra mencoba mencari sebentuk laba-laba yang dimaksudkan, ia hanya menemukan seekor laba-laba mungil yang sedang membuat sarang jaringnya diatas pintu kamar mandi. Dimana bila diukur untuk dibandingkan dengan bagian tubuh manusia dewasa, besaran laba-laba tersebut tidaklah akan lebih dari ukuran satu ruas jari kelingking.
Namun meski demikian, Indra dapat mengerti bagaimana sikap dari seseorang yang memiliki phobia. Dimana bila orang tersebut memang takut akan sesuatu, pastilah akan dibesar-besarkan menjadi sebuah cerita yang terkadang kurang rasional.
Begitu juga dengan kasus yang terjadi sekarang ini. Miranti yang agaknya memiliki ketakutan khusus terhadap laba-laba, dengan sendirinya menganggap binatang sekecil itu sebagai layaknya monster berukuran raksasa. Karena itulah, sang pemuda pun akhirnya bisa bertindak benar dengan berusaha kembali menenangkannya.
"Ssshh … nggak papa, nanti biar aku usir pergi," bisik sang suami menenangkan.
"Jangan dibunuh, kasihan …" rengek Miranti dengan begitu manjanya, meski ia sendiri masih terlihat lemas dan ketakutan.
"Nggak bakal aku bunuh."
"Kok bisa ada laba-laba di sini? Tahu kalau aku takut juga …"
"Nggak papa, nggak papa … ada aku di sini. Biar nanti dibuang keluar."
"Tapi cepetan …"
"Hu um … tapi, Jeng Mira juga harus keluar dulu. Yuk, keluar."
"Takut, Mas Indra … kaki aku lemes."
"Oh, baiklah. Pegang pundakku, maaf … biar Jeng Mira aku bopong saja."
---
Setelah kembali menguatkan serta mencoba meneguhkan hati, Indra segera membopong tubuh istrinya. Ia yang merasa sangat bersimpati dengan phobia Miranti, dengan tegar terus saja melangkah tanpa memperdulikan godaan yang ada dalam pelukannya.
Namun begitu, tak urung desir-desir dalam dadanya juga terasa sedikit mengganggu. Sehingga, hanya kemauan kerasnya sajalah yang akhirnya bisa membuat dirinya sukses membawa Miranti untuk ia dudukkan diatas pembaringan.
Tak dapat dipungkiri lagi, bila kehangatan tubuh indah yang ia peluk adalah sesuatu yang begitu mendebarkan hati Indra. Terlebih, pada saat itu Miranti nampaknya juga lupa untuk merapatkan jubah mandi agar menutupi tubuh bagian depannya.
Dalam keadaan yang seperti itu, tentu saja kelembutan tubuh bagian atasnya telah saja menempel ketat pada dada Indra yang menggendongnya. Bahkan lengan-lengan lembut yang dikalungkan pada leher si lelaki, dengan serta merta telah langsung saja menciptakan sebuah adegan yang sedemikian intim serta mesranya.
Nampaknya, hanya sebuah keajaiban sajalah yang bisa membuat Indra melangkah dengan selamat sampai ke sebelah pembaringan. Karena lututnya yang gemetaran, tentu saja telah membuat selujur tubuhnya jadi lunglai seperti tak bertenaga. Sebab godaan yang kini menghinggapi jiwa Indra, dengan nyata telah saja dapat ia rasakan secara langsung.
Harumnya tubuh sang istri yang menelusup kedalam indera penciumannya, terasalah begitu dahsyat menghantam hasratnya. Dan kehangatan tubuh lembut yang seolah menebar suatu aroma undangan, dengan sendirinya telah menciptakan sebuah atmosfer gairah yang menggayut di ruangan tersebut.
Namun secara ajaib, Indra terlihat bisa segera pulih dalam kesadaran. Hingga setelah mendudukkan istrinya di tepi pembaringan, ia langsung saja bertindak cekatan dengan merapatkan belahan jubah mandi agar menutupi bagian dada indah yang begitu mengundang itu.
Kemudian, iapun berkata pada Miranti,
"Mama, eh … Mbak, Jeng Mira harus cepat mengeringkan tubuh dan berganti pakaian. Uh, nanti masuk angin. A-aku mau membuang laba-laba itu dulu." Dengan tergagap, Indra langsung saja mengatakan hal itu sebagai alasan dirinya pergi. Karena kesadaran yang kembali hadir, dengan seketika telah membuat dirinya merasa tak pantas untuk berbuat seintim itu pada Miranti.
"Jangan dibunuh."
"Enggak, hanya dibuang saja …"
"Yang jauh …"
"Iya …"
"Mas Indra … "
"Sstt, jangan panggil dengan itu, nanti Chaca dengar."
"Chaca lagi bobok."
"Bagaimana kalau dia nggak bobok beneran? Aku nggak mau, kalau nantinya dia akan panggil aku dengan sebutan Mas." Memperingatkan sang istri, Indra segera mengoreksi kembali terkait masalah panggilan.
"Iya, iya … kita nyebut Mama dan Papa kalau ada adek aja. Tapi selain dari itu, aku mau panggil kamu dengan sebutan Mas aja." Begitu manja, Miranti menegaskan hal itu sembari sedkit merajuk.
"Iya, Jeng …" Indra pun menurut.
"Mbak …" Miranti mengoreksi panggilan yang ia ingin dengar.
"Iya, Mbak …" si pemuda pun patuh dan pasrah saja untuk kembali menurut.
"Jeng juga boleh, kok …" plin-plan, kembali Miranti mengoreksi lagi. Sepertinya, ia benar-benar menikmati kemanjaan yang bisa ia reguk dari sosok suami idamannya.
"Iya, iya … tapi tunggu sebentar, aku mau buang dulu laba-labanya. Kalau telat, bisa aja dia merembet kesini." Mendadak tersadar dengan keintiman yang dapat membuatnya lupa diri, langsung saja Indra memutuskan untuk melarikan diri dari situasi yang mendebarkan tersebut.
"Iiih, jangan nakutin. Cepet ambil dan buang, tapi nanti kudu kesini lagi buat temani aku …" dengan panik, wanita itu langsung saja berteriak. Karena begitu mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya, lupalah Miranti untuk menikmati kemanjaannya.
"Hu um. Tapi eh, aku mau mandi dulu …"
"Mandi di sini saja."
"Pakaian gantiku ada di kamar sana," Indra mengingatkan jika selama ini mereka tidak tidur dalam satu kamar.
"Bawa kesini saja semua. Mulai malam ini, Mas Indra boyong ke kamar adek. Buat temani aku juga. Ih, aku takut kalau laba-laba raksasa itu datang lagi."
"Sttt … jangan panggil begitu, nanti Chaca dengar."
"Iya, ih. Bawel! Pokoknya Papa harus temani Mama dan adek sepanjang hari. Mulai malam ini juga, kamar Papa dan Mama udah enggak sendiri-sendiri lagi." Meski terdengar merajuk, namun Miranti terlihat menuruti teguran. Karena saat itu juga, ia mulai membahasakan panggilan dengan sebutan 'Mama dan Papa'.
"Ya sudah. Sekarang, yang penting Mama ganti baju dulu. Sebentar, biar Papa buang laba-laba itu dan sekalian membersihkan diri."
"Pakaiannya dibawa sini semua. Pokoknya Papa harus selalu temani Mama di kamar ini."
"Ssstt … jangan keras-keras, nanti adek bangun."
"Kalau Papa belum berjanji, Mama mau terus teriak saja biar adek bangun."
"Iya, iya … Papa janji."
"Mandinya yang cepet …Mama takut laba-labanya balik lagi."
"Iya, iya …"
"Siapa tahu juga masih ada saudara atau malah emaknya yang lebih gede lagi. Ih, serem … mending Mama ikut aja ke kamar Papa," rengek lagi Miranti yang sudah kembali menemukan tempat untuk bermanja.
"Kalau Mama ikut, siapa juga yang jaga Adek?"
***