Tiga hari ini, Indra memang seperti dipaksa untuk terkurung dalam kamar yang ditempati oleh Miranti san Chaca. Namun begitu, dua malam sebelumnya ia memang telah berhasil lolos godaan dengan tidur diatas sebuah sofa. Dimana tempat yang dimaksud, letaknya berada di seberang peraduan Miranti dengan posisi box bayi sebagai penghalang diantaranya.
"Hmm … iya, aku paham. Mentang-mentang masih muda, pastinya nggak akan seperti aku … kasihan aku yang udah tua," langsung saja, bibir merah alami itu menyahut.
Masih dalam tutur lembut, Miranti terdengar berkata untuk melempar sebuah sindiran halus. Mungkin saja ia bermaksud membandingkan selisih usia dengan mengatakan jika dirinya sudah terlalu tua, hingga jadi mudah capek tak seperti Indra yang masih sangat muda dan bugar.
"Siapa bilang juga Mbak Mira udah tua? Mbak itu masih sangat muda, dan eh, can-tik … maaf kalau aku lancang," demikian Indra menjawab sambil lalu, sembari terus saja duduk membelakangi sosok yang ada di tengah tempat tidur.
"Benarkah aku masih cantik? Hhh … kamu hanya memuji saja. Umurku udah tua, dan juga udah melahirkan anak … Siapa juga yang mengatakan aku cantik, kalau bukan hanya untuk menyenangkan hatiku saja." Seperti berkata pada diri sendiri, tutur kata Miranti sedemikian terdengar lirih dan penuh kepasrahan.
---
Entahlah apa yang sedang terjadi kini. Tapi naga-naganya, Miranti seperti sudah mulai berganti strategi agar bisa mendekatkan dirinya dengan Indra. Atau tidaklah juga menutup kemungkinan bila wanita itu memang sudah memutuskan untuk bersikap apa adanya saja, saat berhadapan dengan sang suami belia yang ia nikahi dengan begitu banyaknya batasan perjanjian.
"Nggak gitu, Mbak … aku ini ngomong jujur dan apa adanya, karena memang seperti itulah kenyataannya. Mbak Miranti itu bukannya udah tua, tapi lebih tepat bila disebut matang. Belum juga umur tiga puluh …" kembali pada sifat Indra yang terkadang ceplas-ceplos, pemuda itu langsung saja menjawab dengan jujur.
"Benarkah begitu?" setelah meresapkan ucapan Indra yang terdengar sedemikian tulus disampaikan, Miranti langsung saja bertanya dengan hati yang senang.
"Tentu saja benar. Mbak Mira masih muda dan sehat." Si pemuda pun semakin menegaskan pendapatnya.
"Dan satu lagi, apa katamu tadi? Mmm ... Mbak kok seperti dengar kamu muji-muji gitu, " merasa bila suasana sudah menjadi cair dengan lancarnya pembicaraan, langsung saja si wanita bertanya dengan menggoda.
"Eh, yang apa? Oh, tentang aku bilang kalau Mbak Mira can-cantik? Iya, kok … nggak hanya cantik, Mbak juga tetap terlihat menarik, kok." Paham dengan maksud Miranti, Indra tak lagi malu untuk menyampaikan hal itu sekali lagi.
"Makasih untuk pujianmu, Ndra … Ah, Mbak jadi seneng kalau kita bisa ngobrol dengan bebas dan santai seperti ini. Aku juga pengin kita jadi dekat seperti teman akrab." Lagi, Miranti mulai menjajaki dengan pendekatan yang lebih lembut.
"Uh, aku juga seneng. He he … maaf kalau selama ini selalu keliatan resmi dan terlalu kaku," Indra pun menyatakan hal yang sama.
"Justru Mbak yang minta maaf. Kamu sudah capek ngurus perusahaan, di rumah juga masih ditambahin ngurus adek juga." Kini, sedikit kata manja langsung saja diungkapkan dalam kelembutan kata.
"Nggak capek, kok. Kan udah biasanya kayak gitu selama bertahun. He he … justru sekarang lebih enak, punya ruang kantor yang luas dan pakai AC." Dengan terus terang lagi, Indra menyampaikan situasi yang juga apa adanya.
"Hi hi … kamu ini ada-ada aja. Tapi Mbak mau ngucapin terima kasih juga. Semua jadi lebih baik dan beres semenjak kamu pegang. Nggak ada tunggakan tagihan, karyawan juga beres dan nggak ada lagi biaya-biaya siluman yang dulu selalu saja bikin keuangan kita bocor." Merasa saatnya sudah tepat, Miranti juga mengungkapkan apa yang selama ini menjadi kekagumannya.
"Ah, biasa saja, kok. Karena dulu aku terjun langsung dari bawah, tentu saja jadi tahu segala permainan yang merugikan perusahaan. Jadinya, sekarang bisa aku hilangkan sedikit demi sedikit biar bisa lebih efisien dan mendatangkan keuntungan lebih."
"Itulah hebatnya kamu, Mas … makasih, ya …" sekali lagi, Wanita itu mengungkapkan rasa syukurnya.
"Sama-sama, Mbak … tapi, itu kan juga sudah jadi kewajibanku sebagai kepala rumahtangga," tanpa disangka, mendadak saja Indra menyinggung hal tersebut.
---
Tentu saja, Miranti langsung saja jadi girang dan berbesar hati. Karena tanpa dinyana, Indra malah memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa dan totalitas dalam menjalani perannya sebagai suami.
Tapi dengan pernyataan yang seperti itu, mendadak saja si wanita juga jadi teringat akan satu hal lain yang dulunya terasa lucu bagi dirinya. Terkait tanggungjawab Indra sebagai suami, pemuda itu memang selalu saja memberikan sebagian penghasilannya pada sang istri. Dimana yang sedikit terasa aneh, uang tersebut adalah sebuah pendapatan yang dibayar sebagai gaji dari perusahaan Miranti.
Momen tersebut memang masih saja selalu terbayang dalam ingatan Miranti. Namun yang dulunya terlihat lucu dan janggal, ternyata saat ini malah membuat dirinya semakin merasa kagum terhadap pemuda yang menjadi suaminya itu.
Dan untuk sesaat, bayangan wanita tersebut langsung saja menerawang menuju ingatan satu bulan setelah pernikahannya dilangsungkan. Dimana pada saat itu, Indra memberikan sebuah amplop berisi uang yang dimaksudkan sebagai uang belanja bulanan bagi sang istri.
"Sebagai kepala keluarga, aku harus memberikan nafkah pada istriku. Terimalah, meskipun tak seberapa. Dan nafkah yang akan kuberikan setiap bulan ini, aku maksudkan sebagai pemenuhan kewajiban suami kepada istri agar aku bisa menjaga rumah-tangga berjalan dengan semestinya. Tentunya, agar mencegah fitnah yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menggugurkan keabsahan ikatan rumah tangga."
Demikian kilah Indra waktu itu, disaat Miranti menolak uang yang diberikan oleh suaminya. Namun, akhirnya wanita itu paham jika yang dilakukan Indra adalah sesuatu yang sangat baik sesuai dengan tugas dan tanggungjawab seorang suami.
Sementara bagi Indra sendiri, apa yang ia lakukan malah memiliki sebuah alasan yang cukup masuk akal. Pemuda itu meyakini, bahwa yang ia lakukan itu adalah suatu hal yang sangat tepat dalam perannya sebagai seorang suami. Karena, ia tidak mau jika nantinya permasalahan pemberian nafkah akan menjadi sebuah alasan bagi perceraian.
---
Mendengar Indra menyebut-nyebut dan mengatasnamakan diri sebagai seorang kepala keluarga, langsung saja hati Miranti menjadi sangat girang dan bahagia. Lalu demi menegaskan jati dirinya sebagai seorang istri, iapun memberikan sebuah penawaran yang sangat simpatik.
"Iya, aku tahu. Sebagai seorang kepala keluarga, Mas Indra adalah sebuah panutan yang baik bagi anak dan istrinya maupun laki-laki lain di dunia ini. Karena itu, bolehkan aku menunjukkan rasa terima kasih dengan memijat tubuhmu yang lelah itu?" tanpa kesan genit ataupun murahan, wanita tersebut mengucap permintaan pada sang suami yang sangat ia kagumi.
"Eh, kok gitu? lebih pantasnya juga kalau aku yang mijitin Mbak Mira," merasa kaget, langsung saja si pemuda menukas dengan kata yang cepat.
"Loh, kok malah Mas Indra yang mau mijitin? Kan Mas Indra yang lebih capek." Tak mau terima, Miranti langsung saja menolak.
"Enggak, dong … Mbak Mira yang paling capek karena seharian ini momong dan jaga adek. Jadi, akan lebih pantes kalau aku yang mijit Mbak." Dengan tegas, si pemuda langsung saja menyahut.
Mendapatkan penolakan yang sedemikian tegas, tentu saja Miranti jadi semakin senang dan berbunga hatinya. Tak hanya karena perhatian sayang Indra yang membuatnya demikian, namun tawaran baik dari sang suamilah yang lebih menjadikan hatinya bahagia.
Karena hanya dengan membayangkan Indra menyentuh tubuhnya saja, iapun sudah merasa merinding. Apalagi setelah ia benar-benar memikirkan hal tersebut, disaat Indra dengan begitu tulus berusaha meyakinkan dirinya.
Sehingga meskipun saja tubuhnya serasa dihinggapi sensasi menggigil dan gemetar layaknya tengah diserang demam, namun kesempatan yang seperti itu tidaklah boleh dibiarkan lewat begitu saja. Sebab, sikap Indra yang seperti itu adalah sesuatu yang demikian langka terjadi. Dimana sekarang, si pemuda bahkan sudah menampakkan sisi kedekatan yang sedikit lebih berani layaknya seorang laki-laki sejati.
Oleh sebab itulah, Miranti langsung saja memanfaatkan peluang emas tersebut. Berhubung suaminya sedang jinak dan terlihat larut dalam suasana pengantin baru, wanita yang lebih dewasa itupun segera saja bertindak dengan cepat tanggap.
"Bener, Mas Indra mau mijitin aku? Jangan-jangan, itu hanya basa-basi saja." Demikian ujar Miranti untuk semakin mengikat pemuda tersebut dalam ikatan janjinya sendiri.
"Ya bener, lah … kalau Mbak Mira berkenan dan mengijinkan, aku mau mijit beneran, kok," jawab si pemuda yang nampaknya sudah tak lagi memikirkan perjanjian mereka.
"Seluruh tubuh?" tak mau hanya mendapatkan harapan kosong, Miranti langsung saja menegaskan bagaimana pijatan akan dilakukan.
"Terserah mana yang Mbak mau," walau pendek, namun jawaban si pemuda terdengar tegas.
"Baiklah kalau Mas Indra memang mau melakukan itu. Tapi, harus janji dulu …" lagi, sebuah jaring mulai ditebarkan oleh Miranti demi menjebak suami belianya.
"Janji apa, Mbak?"
"Besok, gantian aku yang mijit. Oke?" begitu lugu dan polos serta seolah tanpa ada unsur pamrih, wanita itu langsung saja membberi umpan.
"Ya udah, aku sih terserah aja …" jawab Indra dengan tanpa beban.
---
Bertentangan dengan kegugupannya beberapa waktu lalu, kali ini Indra benar-benar terlihat tenang dan begitu terkendali. Si pemuda yang jadi paham jika dirinya telah saja dipancing dalam godaan-godaan nakal selama beberapa hari ini, nampaknya juga sudah memiliki sebuah rencana yang entah apa.
Karena yang jelas, ia memang sudah bertekad untuk tidak akan mundur dan hanya menjadi seorang korban saja. Seturut naluri laki-laki yang ditakdirkan sebagai mahluk pemangsa, sepertinya Indra sudah siap menghadapi dan sekaligus melawan demi menaklukkan sang istri.
***