Wanita itu paham, jika Indra adalah seorang pemuda yang sangat jujur dan teguh dengan segala prinsip yang dimilikinya. Dan Miranti pun mengerti, jika tidaklah akan mudah baginya untuk menggoyahkan semua yang sudah terpatri dalam keyakinan seorang Indra Perkasa. Dimana dalam pernikahan mereka yang terikat perjanjian tertentu, si pemuda bahkan pernah bersumpah untuk memegang kuat segala aturan yang sudah disyaratkan secara tertulis.
Hal itulah yang akhirnya menjadi masalah bagi Miranti. Karena sebagai seorang wanita yang harus berjalan menuruti kodratnya, tentu saja ia tak akan bisa seenaknya mengajak Indra bicara dengan terus-terang. Apalagi, dengan tanpa malu malah menganjurkan si pemuda untuk melanggar semua kesepakatan yang ada. Karena jika sampai terjadi hal yang seperti itu, pastilah ia tak akan kuat untuk menanggung malu dalam sisa usianya nanti.
'Masih mendingan kalau Indra menyambut godaanku dengan senang. Bagaimana kalau dia menolak? Mati saja aku daripada harus menanggung malu.' Demikian ujar Miranti dalam hati.
Tentu saja demikian, dan hal itu sangatlah wajar bagi seorang kaum hawa. Umumnya sikap wanita, mereka selalu melakukan apa saja dengan didasari oleh sebuah naluri untuk selalu menjaga citra diri. Dimana, hal tersebut perlu dibiasakan agar tak dianggap sebagai perempuan gampangan.
Dengan keadaan yang demikian, pada akhirnya segala urusan yang sederhana telah saja menjadi semakin ribet bagi Miranti. Padahal, sejujurnya saja wanita itu benar-benarlah sangat mendamba kehangatan kasih dari sang suami yang awalnya hanya diniatkan untuk tidak sungguh-sungguh dinikahi secara ikhlas.
Namun karena perkembangan keadaan yang semakin membuat dirinya hanyut dalam rasa nyaman, dengan sendirinya telah saja melenakan perasaannya. Karena kebahagiaan hati yang bisa ia rasakan saat bersama Indra, kini telah menjadi sebuah keinginan untuk mewujudkan hubungan permanen dalam pernikahan tersebut. Dalam artian, Miranti menghendaki agar dirinya tidaklah perlu terikat dari perjanjian pernikahan yang sudah terlanjur disepakati bersama.
Pada satu sisi, Miranti memang menginginkan Indra Perkasa untuk menjadi suami sesungguhnya. Namun pada bagian lain perasaan, hatinya masih saja menyisakan malu untuk menelan ludah sendiri. Dimana pada saat perjanjian dilakukan, dengan tegas dan kaku ia sudah menjelaskan pada Indra terkait ketiadaan kompromi apapun atas kesepakatan mereka di depan notaris.
Lalu yang menjadikan dirinya merasa sangat jahat, Miranti juga sempat membawa-bawa masalah kebaikan yang pernah ia lakukan. Dan meskipun ia tak pernah menuntut Indra untuk mengembalikan hutang budi tersebut, ia pun paham bila Indra sudah menjadi tahu diri dengan sendirinya.
Dan sekarang, karma telah mendapatkan pembalasannya. Dimana saat ini, Miranti telah saja menjadi sangat tersiksa dengan segala gairah serta hasrat untuk memiliki Indra seorang saja. Meskipun, ia sendiri masih saja menahan gengsi dengan mencari-cari cara agar pihak si pemuda itulah yang mendahului untuk mengajaknya bermesra.
Tegasnya, Miranti ingin agar Indra tergoda untuk menyambut semua isyarat yang telah berusaha ia berikan. Dengan begitu ia akan merasa tak memiliki beban dan harus menanggung rasa malu yang mungkin saja bisa terjadi, bila pemuda itu menolak dirinya dengan terang-terangan.
Namun ia juga sadar, jika menaklukkan seorang Indra bukanlah suatu hal yang mudah. Karena si wanita juga sangat paham bagaimana kejujuran sifat serta kuatnya prinsip yang dimiliki oleh pemuda tersebut.
---
Merasa mendapat sebuah tantangan yang cukup sulit, Miranti malah semakin merasakan hidup. Dimana dirinya yang sekian lama berkecimpung dalam dunia usaha, sudahlah terbiasa memikirkan berbagai solusi bagi sebuah permasalahan.
Karena itulah, iapun segera memutar otak untuk mendapatkan sebuah gagasan cermerlang yang dapat mematikan langkah Indra untuk menghindar. Tapi sebelum bisa menemukan gagasan tersebut, sepertinya Miranti harus terlebih dahulu merubah strategi pendekatannya.
Tengah memikirkan apa yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan cinta Indra dengan utuh, mendadak saja terdengar suara ketukan pada pintu kamar.
Tok Tok Tok
"Masuk aja, Mas …" Miranti membalas ketukan dengan jawaban. Ia tahu jika yang mengetuk pintu, pastilah orang yang sedang ditunggu.
"Iya, Mbak," sayup-sayup, terdengar jawaban.
Tak lama setelah menjawab, muncullah sosok Indra yang berusaha masuk dengan begitu perlahan dan tanpa menimbulkan suara.
"Adek masih bobok?" tanya Indra begitu ia mendekat pada box bayi yang terletak di sisi kanan tempat tidur Miranti.
"Udah bobok lagi. Tadi sempat bangun karena ngompol, tapi udah aku gantiin dengan yang kering. Sini, duduklah dekat adek kalau mau melihatnya. Mas Indra kelamaan, sih ... jadinya nggak bisa melihat Chaca bangun," demikian jawab sang istri dengan suara yang juga perlahan. Nampaknya, Miranti sedang menerapkan sebuah pendekatan yang berbeda dari sebelumnya.
Mendapatkan undangan yang begitu manis dan terasa bersahabat, pemuda itu menurut dan melangkahkan kakinya menuju pembaringan.
"Oh, malah Mamanya yang jadi repot. Harusnya aku aja yang gantiin popoknya," Indra langsung saja menyahut.
"Lah, Papanya kan lagi mandi. Biar aja Mama yang urus. Kalau nanti malam adek bangun, baru Papa yang gantiin popoknya," sahut sang wanita dengan kata lembut.
Sepertinya, Miranti sudah berusaha untuk menjadi terlihat normal kembali. Karena semenjak kedatangan Indra ke dalam kamarnya, ia sudah tidak lagi bertingkah manja dan kolokan seperti beberapa saat lalu.
Ketika melihat jika sang istri sudah nampak biasa seperti dulu lagi, lelaki muda itu langsung saja dihinggapi sebuah perasaan simpati yang mendalam. Karena sebagai seorang anak lelaki yang dekat dengan ibunya, Indra sangatlah paham betapa repot dan lelahnya seorang wanita yang sedang merawat bayinya.
Belum lagi jika mau menghitung berapa banyaknya energi yang harus dikeluarkan, semenjak seorang wanita mulai mengandung hingga sampai pada proses melahirkan. Tentu saja sebagai seorang suami yang baik, ia pastilah mengerti dengan semua kerepotan tersebut.
Beberapa bulan ini, Miranti memang sudah memutuskan untuk sementara non aktif dari perusahaan. Setelah menyatakan ingin mengambil cuti hingga waktu yang belum ia tentukan, wanita tersebut menyerahkan kendali perusahaan di tangan sang suami. Dimana, dalam hal itu ia sudah sedemikian percaya pada kemampuan serta kejujuran si pemuda.
Bagi Indra Perkasa yang sudah banyak belajar dalam perusahaan wanita tersebut, menangani semua permasalahan memanglah tidak mudah. Namun karena ketekunan serta kerja keras dan kecerdasan yang ia miliki, pada akhirnya telah saja mampu menjadikan si pemuda menjadi seorang pimpinan yang dihormati semua kalangan.
Indra yang juga sempat mencari tahu mengenai beberapa syndrom kehamilan dan paska melahirkan, kini jadi sangat paham dengan keadaan psikologis Miranti yang seringkali berubah. Namun demikian, ia selalu saja berusaha untuk sabar menerima serta menghadapinya.
Dalam perasaan hatinya yang tulus, pemuda itu tahu bahwa Miranti adalah seorang wanita yang sangat baik dan berbudi pekerti luhur. Karena itulah juga, ia bahkan berusaha memenuhi semua kewajiban layaknya seorang suami sungguhan bagi keluarga sementaranya.
---
"Mama jadi tambah capek, harusnya kan sudah istirahat dari tadi," demikian akhirnya Indra menjawab sembari duduk di tepi tempat tidur yang dekat dengan box bayi.
Lalu sambungnya lagi, "Mama tidur saja, biar aku yang ganti menjaga Chaca. Kalau malam, kan giliran aku yang jaga."
"Chaca udah bobok, Mas …" seolah sekaligus melempar tanda jika sang bayi tak bisa mendengar, Miranti mengatakan itu sembari mengoreksi panggilan dengan menggunakan sebutan Mas.
"Mas Indra tidur dulu saja, pastinya lebih capek karena harus ngurus pekerjaan sampai sore. Sini, berbaring saja dekat aku. Mulai malam ini, Mas Indra jangan tidur di sofa lagi," dalam tutur yang sedemikian lembut dan penuh permohonan, Miranti kembali melanjutkan katanya.
"Ah, pastinya lebih capek Mbak Mira. Ngurus adek seharian, aku nggak bisa bayangin kerepotannya. Lebih baik Mbak tidur duluan, nanti aku nyusul." Tukas si pemuda tak mau mengalah, atau mungkin saja masih terlalu sungkan untuk menerima ajakan yang sedemikian intim.
"Enggak kok, kan ada Mbak suster juga yang bantu. Emang capek dikit, tapi nggak akan selelah Mas Indra yang seharian ngantor," begitu nada halus dan penuh perhatian, langsung saja Miranti menyampaikan hal itu pada sang suami.
"Ah, aku nggak capek, kok …" kilah Indra lagi dengan nada tak enak. Padahal sesungguhnya, ia mengatakan hal itu agar tak harus bersama-sama tidur diatas satu pembaringan dengan Miranti.
***