Dalam kondisi yang sedemikian menggigilkan seluruh tubuhnya, Indra jadi mati kutu dan tak bisa melakukan apapun. Perasaan jengah yang melanda dirinya, telah saja menyengatkan panas hingga memerahkan wajah.
Sang pemuda yang hanya mampu tertunduk malu, sepenuh tahu diri membatalkan niatnya untuk mencium Chaca. Padahal sejujurnya saja, dengan tulus ia telah begitu menyayanginya bagaikan seorang anak sendiri.
Setelah hanya mengusap lembut pipi sang bayi dengan menggunakan punggung jemari, Indra bangkit dari berlututnya di depan pangkuan Miranti. Tanpa berucap apapun, ia segera berdiri agar semakin mengambil jarak dan menjauhi pemandangan indah yang sudah tak kuat lagi untuk diabaikan begitu saja.
Bila mau berkata jujur, sebenarnya saja ia sudah tidak tahan dengan semua yang telah terjadi selama tiga hari terakhir. Dengan begitu intens, Miranti telah saja menggoda dirinya secara dahsyat dan tak main-main.
Namun sekali lagi, semua akan kembali pada pribadi masing-masing. Karena pemuda Indra yang telah dengan tulus ikhlas bersedia menikahi sang ibu muda yang tengah mengandung anaknya, tidaklah memiliki maksud apapun selain hanya demi membalas budi kebaikan.
---
"Mas Indra mau kemana?" tanya Miranti tanpa menengok, saat sudut matanya menangkap bayangan suaminya yang perlahan bergeser untuk membelakangi dirinya.
"Mau duduk di sana, Bu Mira …" dengan sopan, pemuda itu menjawab sembari menunjuk ke sudut kamar yang agak jauh.
"Loh, kok panggil nama saya dengan sebutan itu?" masih saja tanpa menengok, wanita itu kembali melempar tanya.
"E-eh, sa-saya bingung … I-ibu Mira memanggil saya seperti dulu saat masih bekerja. Ma-makanya saya juga me-memanggil dengan sebutan itu." Dengan gugup, Indra langsung saja menjawab. Demi kesopanan, ia pun sudah kembali menghadap pada Miranti meski tak juga berani menatap sosok wanita itu.
"Oh, padahal aku memanggilmu dengan sebutan biasa saja. Seorang wanita, pastilah ingin menyebut suaminya dengan sebuah panggilan hormat. Memanggilmu dengan sebutan 'Mas' adalah wujud rasa homatku sebagai seorang istri yang menghargai pelindungnya. Tapi kalau memang kurang berkenan, lupakan saja hal itu. Kita kembali dengan saling menyebut panggilan Mama dan Papa, agar Chaca bisa meniru itu untuk memanggil kedua orangtuanya …"
Suara merdu Miranti mengalun dengan begitu manis, hingga masuk ke dalam relung tersembunyi di hati Indra. Dan tentu saja, ia malah jadi semakin aneh dengan sikap sang wanita yang mendadak jadi bertentangan dari niatnya dulu. Dimana sekarang, sosok tersebut seperti memuja dirnya sebagai seorang kepala keluarga yang sangat ideal dan sedemikian layak dicintai.
"Eh, iya … nggak apa. Seperti itu juga nggak masalah," masih saja diterpa kebingungan, Indra menukas ucapan istrinya.
"Hmm … lalu, Papa sendiri mau ngapain? Kok nggak temani Mama aja duduk disini?" kembali, bibir merah menggairahkan itu berucap dengan menggoda dalam senyum tipisnya.
"Eh, mau nunggu adek selesai mi-mimik du-lu." Dengan jengah, Indra mengucap kata terakhir dalam ejaan yang tersendat.
"Ummm … ngapain juga nunggu selesai? Chaca juga malah akan seneng kalau diajak bercanda sambil nenen. Eh, tapi kayaknya adik juga udah ngantuk. Lihat …, dia hanya manja saat minta mimik. Isshh … malah punya Mama dibuat mainan. Adeekkk hhh … shhh …" sambil mendesis, Miranti mengadukan ulah bayinya yang dianggap nakal kepada sang suaminya yang lugu.
"Apanya yang buat ma-mainan?" si pemuda yang tak paham, langsung saja bertanya.
"Iya. Lihat, nih hhhhh …" tanpa malu-malu dan masih dalam desahnya, Miranti langsung saja menunjukkan yang ia maksud.
Namun begitu mata Indra menuju pada yang sedang diperlihatkan padanya, dengan serta merta ia menunduk kembali sambil menahan panas pada wajah yang berasa tambah membakar saja. Karena ia tak mengira, bila ternyata Miranti malah menunjukkan sesuatu yang sangat diluar dugaan. Sang istri menujukkan pada Indra, betapa bayi mereka sedang mempermainkan puting payudara ibunya dengan menghisap dan melepaskannya kembali.
Tentu saja, puncak payudara yang basah itu jadi terlihat berkilat dan semakin mengundang hasratnya. Pemandangan yang seperti itu, pastilah akan menimbulkan sebuah efek yang sangat luar biasa bagi jiwa seorang pemuda.
Terlebih, hal itu terjadi pada diri Indra yang saat itu seperti ditawari secara terbuka untuk mencicipi sebuah sensasi yang sedemikian menggoda. Dimana seolah, Miranti memberikan undangan untuk hanya sekedar mengelus serta mengagumi keindahan miliknya demi mendapatkan sebuah sentuhan mesra.
Dengan begitu, akanlah sangat wajar bila hal yang demikian telah saja ia anggap sebagai penyiksaan kejam bagi jiwa sang pemuda. Karena jujur saja, Indra jadi mempertanyakan apa yang kini sedang direncanakan oleh wanita yang merupakan pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Hingga dalam hati kecilnya, ia jadi semakin tidak dapat memahami sepenuhnya apa yang tengah terjadi.
---
Hal lain yang juga tidak dapat ia pahami pada akhir-akhir ini, adalah sikap Miranti yang jadi terkesan manja dan bergantung padanya dalam hal apapun. Lalu, wanita itu juga sangat kentara memperlihatkan niatnya untuk selalu mendekatkan sang bayi pada Indra Perkasa.
Padahal, bukankah perpisahan akan segera datang setelah bayi itu merayakan ulang tahun pertama kelahirannya nanti? Hal itulah yang semakin saja menjadikan Indra bertambah galau serta tak karuan rasanya.
Hati sang pemuda seolah terbelah menjadi dua. Dimana dengan segala akal budi yang dimiliki, selama ini ia selalu saja berusaha untuk menghormati serta mematuhi perjanjian yang sudah ditetapkan.
Namun dengan perkembangan keadaan yang seperti itu, bukankah akan menjadi sangat wajar jika ia jadi gelisah tak menentu? Dan pertanyaan yang tak mampu ia jawab hingga saat itu, adalah terkait apa yang diinginkan oleh Miranti.
Karena bahkan hingga dia terdiam sambil duduk di dekat sang istri yang sedang menidurkan bayi di dalam box, sang istri masih saja membuat suatu aksi seperti yang telah terjadi pada malam lalu.
"Aku mandi dulu ya, Pa … Papa nggak ikutan mandi sebelum tidur? Uh, badan Mama rasanya risih kalau gerah begini," demikian ucap si wanita setelah Chaca terlelap di dalam box bayinya.
"Ma-mama duluan sa-ja …" tergagap, Indra menyahut meski tak berani menoleh ke arah suara.
"Ya udah, Mama mandi dulu, biar nggak kepanasan gini kalau tidur nanti," jawab sang istri tanpa merasa bersalah. Sementara jika mau berkata jujur, AC dalam kamar mereka pastilah akan terasa dingin dan sejuk bagi orang normal seperti Indra.
"Hu um …" sahut lagi si pemuda dalam tertunduknya.
"Beneran nanti Papa mandi, ya …biar wangi seperti Mama. Hi hi hi …" begitu genit dan manja, sang istri langsung saja menggoda suaminya.
"Eh, iya …" kembali, si lelaki menjawab dengan perlahan.
Namun seakan tak memperdulikan sang suami yang terus saja menunduk, Miranti bahkan dengan provokatif sudah mulai melepaskan dasternya di depan Indra. Dan meskipun tatapan si pemuda masih saja menekuri lantai, tapi sebagai orang normal pastilah tahu apa yang sedang dilakukan oleh wanita tersebut.
Sebab gerakan gemulai yang begitu berani ia lakukan di depan Indra, adalah sebuah tindakan yang nyata-nyata menunjukkan sebuah kepercayaan diri. Dimana sebagai seorang istri, ia tak perlu berpikir untuk merasa jengah ataupun malu bila dipandangi dalam keadaan yang seperti itu.
"Mama duluan ya, Pa … kalau mau kita bisa bareng, kok ..." seperti sambil lalu, Miranti kembali mengatakan satu hal lagi yang semakin mengguncangkan hati Indra.
Terlihat penuh keanggunan feminim, wanita cantik dengan tubuh bak gadis remaja yang sedang mekar itu berjalan perlahan untuk menuju kamar mandi. Bahkan, ia melenggang begitu saja di hadapan suaminya walau tanpa terlapisi satu lembar benang pun yang menutup tubuh.
Akan tetapi, didikan sang ibunda tetaplah tertanam dengan kuat dalam batin Indra Perkasa. Wanita paruh baya yang mengajari dirinya supaya selalu bersikap sopan, telah dengan sendirinya mampu membekali sang anak untuk mengalahkan semua godaan.
Widuri juga tak pernah lupa mengingatkan supaya Indra senantiasa bersikap hormat dan menghargai wanita manapun. Sehingga meskipun kini dadanya serasa dipenuhi dengan hasrat muda yang menggejolak, pemuda itu tetap berusaha kukuh dan teguh untuk tak mau melirik sedikitpun pada tubuh Miranti.
---
Sementara di pihak Miranti sendiri, sebenarnya ia sangatlah malu jika harus bertingkah seperti layaknya gadis yang tengah tergila-gila pada seorang pemuda. Namun sejujurnya saja, ia sendiri bahkan tak dapat mengerti dengan apa yang selalu ingin dilakukan untuk menarik perhatian sang suami. Karena tanpa ia sadar sepenuhnya, benih-benih simpati didalam hatinya telah saja tumbuh dengan subur untuk memperlihatkan kuncup pohon cinta di dalam dirinya.
Miranti Ayunda, adalah sesosok wanita matang yang belum cukup untuk mendapatkan belai kemesraan dari seorang lelaki sejati. Suami pertama yang merupakan seorang lelaki paruh baya, ternyata tak pernah sekalipun memberinya sebuah kepuasan fisik. Dan meskipun dari sudut kasih sayang ia tak pernah berkekurangan, tentu saja satu hal penting itu sangatlah dibutuhkan bagi seorang wanita muda sehat seperti dirinya.
Lalu pernikahan kedua yang ia jalani hanya selama beberapa bulan saja, bahkan jauh lebih parah memberikan penderitaan yang sempurna baginya. Karena tak hanya kurang kepuasan raga saja yang harus ia tanggung, bahkan kasih sayang batin pun tidaklah juga dapat ia miliki.
Sang janda kembang malah mendapatkan perlakuan kurang baik yang semakin membuat jiwanya jadi terguncang. Ditambah lagi, suami keduanya juga diketahui memalsukan identitas lajangnya saat sang istri sah melabrak Miranti. Dengan keadaan yang seperti itu, perpisahan pun menjadi satu hal yang tak dihindarkan.
Dan kini …
Salahkah Miranti jika akhirnya merasa telah menemukan sesosok lelaki bertanggungjawab yang sangat menyayangi keluarga?
Karena tak hanya dalam ungkapan saja, Indra bahkan benar-benar menunjukkan dirinya sebagai suami yang sangat baik di usianya yang masih begitu muda. Hingga walaupun pemuda itu paham bila pernikahan mereka hanyalah sebuah sandiwara, Indra Perkasa masih saja bertindak dengan penuh bijak layaknya seorang suami luar biasa.
Jika demikian adanya, apalagi yang harus dicari oleh Miranti sebagai seorang wanita kesepian yang masih membutuhkan belaian kasih sayang serta kebahagiaan batin?
Diakui ataupun tidak, wanita itu memang telah bergantung sepenuhnya pada suami belianya. Sebab ditangan sang suami yang belum juga lulus kuliah, ternyata semua urusan usahanya jadi tambah bersinar serta semakin maju. Dan tentu saja, tak ada seorangpun yang berani bertindak curang kepada perusahaan setelah Indra Perkasa duduk sebagai pimpinan sementara.
Hal itulah yang membuat Miranti bagai setengah mati merendahkan diri, demi untuk mendapatkan perhatian si lelaki muda. Sebab disamping semua tanggungjawab serta sikap gentlemen sang suami, kejantanan serta ketampanannya juga merupakan satu hal lain yang jadi membangkitkan hasrat wanitanya.
---
Selepas berlalunya sang istri ke kamar mandi, ingatan Indra telah saja langsung menerawang kembali pada peristiwa beberapa bulan lalu yang sudah mengubah hidupnya dengan total.
"Sudah dapatkah kau pahami perjanjian ini?" tanya sang wanita penuh pesona yang sedemikian cantik namun terkesan tegas dan dingin padanya.
"Sudah, Bu …" jawab Indra dengan sopan, setelah beberapa saat menyimak semua isi perjanjian.
"Maksud dari perjanjian dan semua butir yang mengatur jalannya pernikahan ini sangatlah jelas. Terutama pada bagian yang melarang kita untuk saling bertindak ataupun melihat secara intim satu sama lain. Karena pernikahan yang terjadi ini, bukanlah suatu yang wajar seperti biasanya." Kembali, suara dingin penuh kuasa itu menekankan pentingnya untuk menghormati perjanjian tersebut.
"Saya mengerti sepenuhnya, Bu Mira." Selalu saja santun, Indra mengiyakan kata-kata sang wanita yang lebih dewasa darinya.
"Kamu tidak boleh menyentuh, atau bahkan hanya melihat bagian tubuh dengan sengaja ataupun tak sengaja … itu sangat penting untuk dimengerti. Karena nantinya, kita akan tinggal dibawah satu atap," tambah si wanita lagi dengan nada tajam.
"Ya, Bu … saya mengerti."
"Yakinkah dirimu bisa menjaga itu selama perjanjian berjalan? Sebab, waktu yang harus kita lalui bersama tidaklah singkat."
"Saya yakin, Bu. Dan untuk itu, Bu Mira bisa memegang janji saya." Kembali, Indra menjawab dengan apa adanya.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang, apa yang akan kamu sampaikan sebelum kita menandatangani perjanjian ini?" percaya dengan kejujuran si pemuda yang sudah cukup lama ia ketahui, nada bicara Miranti mulai melunak.
"Masalah biaya operasi ibu saya. Suatu saat nanti …"
Belum juga Indra menyelesaikan bicara, terdengar Miranti memotong kalimatnya, "kamu tidak perlu memikirkan itu. Bahkan jika kau tak menikahi aku, itupun tak akan pernah kuminta kembali. Karena semua bantuan yang diberikan, itu ikhlas adanya."
"Uh, lalu uang SPP semester ini …" kembali Indra berusaha berbicara.
Namun,
"Akan kubayarkan nanti, tanpa mensyaratkan kamu harus melakukan pernikahan ini. Semuanya aku berikan dengan ikhlas, semata karena aku tahu kamu anak yang baik. Jadi janganlah karena kau merasa berhutang budi, lalu mengorbankan diri untuk menikahiku. Semua harus kau lakukan secara suka rela." Tegas dan jelas, Miranti menetapkan batasan.
"Kalau begitu, saya memohon satu permintaan saja." Menyerah kalah, Indra pun mengatakan apa keinginan terbesarnya disaat ia melangsungkan pernikahannya.
"Apa itu?"
"Meskipun kita, eh saya menikah dalam keadaan seperti ini. Bolehkah itu dilangsungkan dalam doa dan restu dari ibunda saya? Maksud saya … eh, saya ingin ibunda hadir untuk memberikan doa bagi kelancaran pernikahan kita. Wa-walaupun pernikahan itu sendiri tidak diharapkan untuk selamanya."
***