Galang menuruni jalan setapak jembatan penyeberangan orang, ia melihat Dena dari kejauhan sedang berdiri sendirian agak jauh dari yang lainnya. Ia seperti sedang menunggu sesuatu, ekspresi wajah Dena begitu khawatir, ia melirik kanan dan kiri. Lalu, Galang menghampirinya dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong sweater hoodie miliknya. Ia berjalan mendekati Dena dengan wajah datar.
"Mencari sesuatu?" tanya Galang.
Dena menoleh ke arah Galang yang muncul tiba-tiba di samping dirinya. Kedua mata mereka saling bertemu dalam satu tatapan yang begitu dalam. Tak ada perkataan di tengah keramaian orang-orang yang hilir mudik di antara mereka berdua. Seakan-akan waktu berhenti bergerak, keduanya hanyut dalam saling pandang.
"Gue kira lo memilih untuk pulang." Dena tersenyum, ia merasa lega dengan kehadiran Galang.
"Tadinya, iya. Tapi saat gue bisa makan siang gratis kenapa harus di sia-siakan." Galang pergi berlalu, ia menghampiri teman-temannya.
Dena merasa Galang terlalu cuek padanya. Tapi anehnya, sikap Galang yang seperti itu membuat Dena merasa senang. Ia merasa melihat sisi Galang yang dingin dan tidak peduli.
"Dasar, menyebalkan …." Dena tersenyum. Ia mengejar Galang sambil menabrak Galang dengan sengaja.
"Aw!" Galang langsung menoleh ke Dena.
"Oops, sengaja, maaf." Dena memelet, ia meledek Galang dan pergi dengan cepat.
"Aneh!" Galang bergumam dalam hati.
Nabil melihat Galang dan Dena datang dari arah halte Transjakarta, ia dan yang lainnya segera mendekati mereka berdua.
"Lo ke mana saja! Gue sudah lapar mau borong bebek!" Nabil kesal dengan tingkah Galang.
"Sudah? Kalau sudah bisa kita lanjut ke restoran bebeknya." Galang tidak membalas perkataan Nabil terlalu jauh. Ia memilih pergi.
"Dia kenapa? Baru makan obat aneh?" tanya Ajo.
"Obatnya habis, sepertinya belum beli stoknya," sahut Diki tertawa geli.
Mereka semua akhirnya jalan menuju ke restoran bebek yang berada tidak jauh dari velodrome. Mereka menyeberangi jalan raya dengan lampu merah masih menyala. Yang lainnya terlihat sangat senang, bahkan Dena dan Zainal saling bergandengan tangan tanpa adanya rasa malu dengan status mereka lagi.
Galang yang berjalan sendirian di paling belakang hanya bisa menahan perasaan yang seakan-akan seperti terbakar. Bukan cemburu, tapi perasaan marah yang tidak bisa ia jelaskan mengenai sikap Dena yang terlalu baik bersandiwara.
Senyuman dan candaan Dena dan Zainal terasa hambar, Galang melihat mata Dena dengan seksama setiap kali ia mengobrol dengan Zainal. Itu bukan mata seseorang yang bahagia, melainkan adanya tekanan.
"Untuk berapa orang?" tanya seorang pelayan yang berjaga di depan.
"Untuk aku saja, Mas." Nabil maju meledek pelayan ganteng itu.
"Maaf, Mas. Teman saya sedikit gila, kita mau pesan untuk 9 orang, bisa?" Anis maju dan memesan meja.
"Baik, mari ikut saya." Pelayan itu menunjukkan meja kosong.
Setelah menemukan dua meja kosong, mereka semua duduk di bangku kosong meja tersebut. Galang, Diki, Nabil, dan Ajo duduk di meja pertama. Sedangkan sisanya berada di meja kedua.
Pelayan segera memberikan kertas menu ke masing-masing meja. Nabil dengan cepat langsung mengambil kertas menu, ia memesan paket untuk empat orang dan satu ekor bebek lagi. Sedangkan Dena dan yang berada di meja lainnya memilih paket satu orang untuk masing-masing.
"Terlalu mudah untuk ditebak." Galang melihat bagaimana basa-basi Dena terhadap Zainal yang ia rasa sangat palsu.
Tidak sengaja, Dena melihat Galang sedang menatapnya. Saat ia memergoki Galang yang menoleh ke arahnya, Galang membuang wajahnya ke arah lain.
"Kita mau tahu, dong. Zainal sudah ajak lo ke mana saja, Na?" tanya Indah.
Dena tersenyum malu, ia menoleh ke arah Zainal.
"Nggak, kita baru jalan bersama hari ini. Tapi nanti gue ada rencana buat ajak Dena nonton bola bersama komunitas pecinta Chelsea." Zainal menatap mata Dena dengan seksama.
"Cieee …." Anis menggoda keduanya.
"Dena, habis ini bagaimana kalau kita nonton film di bioskop?" Nabil coba memperpanjang rencana untuk di hari itu.
Galang mulai kesal dengan saran bodoh Nabil. "Dasar badak! Seenaknya buat rencana!"
Makanan mereka tiba. Dengan beringas, Nabil langsung memotong paha bebek yang sangat lembut dan crunchy. Ia meletakkannya di piring miliknya. Tak lupa ia juga mengambil sambal gratis di atas meja. Nabil langsung melahap nasi hangat, bebek goreng, dan sambal dengan sekali suap menggunakan tangan.
"Cih, pakai suap-suapan segala! Receh! Pamer! Geli! Jijik!" Galang merasa kesal dalam hati.
Ia menyuap nasi dan bebeknya. Galang mencoba menghabiskan bagiannya dengan cepat. Ia ingin segera pulang setelah selesaikan makanannya.
"Ini enak banget! Daging bebeknya gurih dan lembut di dalam. Sambalnya pun begitu menggoda hati. Perut berasa berkoar-koar terus meminta makan." Nabil mencontoh bagaimana food vlogger berkomentar.
"Lebay! Mulut lo tidak bisa makan dengan tenang? Apa perlu gue jahit!" Diki merasa jengkel.
"Kalau mulut gue di jahit, gue makan lewat mana? Telinga?" sahut Nabil.
"Lewat bawah! Biar cepat dikeluarkan lagi!" balas Diki.
"Ki! Jijik tahu dengarnya! Sudah makan saja, lo berdua berisik terus dari tadi!" Indah merasa kesal dengan Diki dan Nabil.
Dena melirik ke arah Galang, ia tersenyum melihat cara Galang makan. Pipinya menggembung seperti tupai yang sedang menyimpan makanan. Bukan cuma itu, Dena juga merasa Galang sangat berbeda saat berkeringat. Ia melihat Galang terus mengelap keringat di wajahnya menggunakan lengan sweater hoodie miliknya. Sesekali ia juga melepas kacamatanya.
"Dia masih seganteng saat di mall kemarin," ungkap Dena dalam hati.
"Kamu tidak makan bebeknya lagi?" Zainal menoleh ke arah Dena yang terlihat sedang termenung diam.
Dena hanya mengaduk-aduk nasi, lalapan dan sambal di piringnya. Zainal merasa aneh dan penasaran dengan apa yang sedang Dena pikirkan.
"Oh, sorry, aku sudah kenyang." Dena meminta izin untuk pergi ke toilet. Ia berdiri dan pergi meninggalkan Zainal.
"Gue selesai." Galang bangun dan pergi menuju ke wastafel untuk mencuci tangan.
Makanan masih penuh tersimpan di mulutnya. Ia terus mengunyah makanan itu hingga berada di depan wastafel.
"Tupai! Sudah selesai makanannya?" tanya Dena yang datang tiba-tiba.
"Tupai?" Galang merasa bingung.
"Makanan yang dimulut lo disimpan sampai pipi membengkak seperti seekor tupai, makanya gue panggil lo tupai. Tapi, lo lebih mirip dengan hamster dari pada tupai." Dena tersenyum. Ia menemani Galang mencuci tangan bersama.
"Oh, terserah. Ini karena gue mau cepat pulang," jawab Galang.
"Kenapa? Lo tidak suka makan bebek sama gue?" Dena merasa bingung.
"Enggak, gue cuma merasa lagi bad mood saja." Galang mengakhiri cuci tangannya. Ia meninggalkan Dena dan kembali duduk di bangkunya.
Dena pun kembali duduk di samping Zainal. Tapi, arah tatapan mata Dena tidak tertuju ke Zainal atau yang lainnya. Ia memilih menatap Galang yang sedang sibuk dengan handphone miliknya.
"Semuanya, gue pamit. Zainal dan Dena, sorry tidak bisa lama. Tapi, terima kasih traktirannya." Galang pamit, ia bangun dan membawa ranselnya.
"Lah, itu anak kenapa lagi?" Ajo merasa bingung.
"Gue bilang apa, obatnya habis, jadi begitu." Nabil menatap Galang yang sedang menuju ke arah pintu keluar.
"Sebentar, gue mau keluar." Dena tiba-tiba bangun dan keluar dari restoran.
Zainal merasa Dena bertingkah aneh sedari tadi. Mulai dari makanan yang tidak dihabiskan dan beberapa pembicaraan yang mereka lakukan selalu saja Zainal yang memulainya, sedangkan Dena hanya merespon dengan tersenyum atau tertawa saja.
"Galang! Tunggu!" Dena menghentikan Galang.
"Kenapa?" tanya Galang.
Dena menatap Galang, "Lo kenapa terus menjauh dari gue?"
Galang merasa aneh saat Dena berbicara seperti itu. "Maksudnya apa?" Galang tidak mengerti.
"Dari semenjak Zainal dan gue jadian, lo selalu kabur atau beralasan apapun itu untuk menjauh dari gue." Dena merasa kesal.
"Menjauh? Mungkin itu perasaan lo saja," balas Galang.
"Lo tidak suka gue bersama Zainal? Atau apa!" Dena sangat marah.
"Tidak penting! Lo sudah membuat keputusan. Jadi, jalankan keputusan lo itu tanpa ada rasa menyesal," kata Galang.
"Gue tidak paham, maksudnya?" Dena merasa bingung.
"Maksudnya adalah apakah lo benar-benar suka sama Zainal dari hati atau terpaksa menerima dia karena kasihan?" pikir Galang.
Dena seperti dipukul oleh perkataan Galang.
"Lo bisa basa-basi bersikap baik, ceria, senang, bahagia, tertawa, tersenyum di depan orang lain. Tapi sayangnya, mata lo itu berkata sebaliknya. Lo merasa bosan dan tertekan, iya, 'kan?" tanya Galang.
Dena hanya diam, ia merasa perkataan Galang ada benarnya juga. Tapi bila ia jujur, maka hubungannya dengan Zainal semakin rumit dan Dena akan semakin bimbang untuk melanjutkannya.
"Iya, tapi mungkin karena gue merasa sedang bosan saja. Bila nanti gue sudah merasa baik, gue bisa melanjutkan hubungan ini agar lebih lama." Dena berusaha menyangkal.
"Terserah!" Galang pergi dan meninggalkan Dena tanpa berkata apapun lagi.
Ia segera menuju ke halte Transjakarta.
"Ih, ya, sudah! Bodo amat!" Dena merasa kesal dengan sikap Galang. Ia memilih kembali ke dalam.