Langit mulai mengabu, angin yang berembus pun terasa begitu dingin menerpa kulit wajah. Weekend telah berakhir dengan penutupan yang membosankan, Galang masih tidak rela dengan weekend yang dihabiskannya diluar rumah. Ia melewati gerbang sekolah dan menuju ke kelas pertama.
Upacara Senin ini sepertinya tidak diadakan karena melihat cuaca tidak mendukung. Jadi, untuk menghabiskan waktu jam upacara di kelas, Galang memilih tidur sebentar untuk charger tenaga. Dia mengambil barisan paling belakang di pojok kiri.
Dengan masih menggunakan sweater hoodie yang lumayan jelek dari yang digunakannya saat di velodrome kemarin, ia memalingkan wajah ke kiri menatap tembok. Galang benar-benar tidak ingin diganggu hingga membuat dinding penghalang di antara anak-anak kelas.
"Lo mati?" Ajo baru tiba. Ia langsung duduk di samping Galang.
Tidak ada respon dari Galang, ia tidak ingin buang tenaga untuk menjawab.
"Ajo, Galang kenapa?" Dena menghampiri.
"Mati, gara-gara habis begadang push rank tadi malam." Ajo melihat-lihat handphone miliknya.
"Lang, Tidur?" Dena mendekatkan wajahnya ke arah kepala Galang.
Ia coba mengintip, tidak disangka bila Galang melepas kacamatanya. Dena melihat untuk pertama kalinya wajah Galang saat tertidur. Lekukan hidung yang begitu tegas, serta bibir yang berwarna merah muda, serta dahi dan alis yang indah. Tak sengaja, Dena mengusap rambut Galang beberapa kali.
"Lang, lo tidur?" bisik Dena.
"Apa?" Galang bangun.
Kedua wajah mereka saling menatap berdekatan. Mata Galang melotot, ia sangat terkejut ada Dena di depannya. Galang diam sejenak, tanpa sadar ia mengagumi sosok di depannya.
"Kenapa?" tanya Galang.
Ia mengenakan kacamatanya lagi. Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia terkejut saat menoleh ke samping kanan sudah ada Ajo di sana. Ia segera melepaskan sweater hoodienya.
"Habis begadang?" tanya Dena.
"Nggak, tapi cuma kebablasan push rank." Galang menguap, ia menutupinya dengan telapak tangan.
"Bablas sampai jam dua malam. Berasa penghuni malam, yeh? Kunti di rumah juga ikut mabar?" sindir Ajo.
"Kebetulan dia jadi tim hore sama pocong di sudut kamar. Genderuwo di rumah juga part time jadi pelayan, dia nyeduh mie cup buat gue pas jam satu malam." Galang mulai menghayal.
"Lo suka game banget?" Dena jadi penasaran dengan game yang dimainkan Galang.
"Nggak juga, gue bukan tipe yang suka push rank sampai mati-matian. Gue cuma player yang suka nge-kill player lain di game. Itu keasyikan tersendiri." Galang merasa alasannya sudah tepat.
"Alias psycho, yak?" sela Ajo.
Dena tertawa mendengar perkataan Ajo.
"Terus gue harus apa? Masa pas ketemu musuh gue ajak halal bihalal? Berasa momen lebaran," sindir Galang.
Ajo yang bergantian tertawa sekarang. Raut wajahnya menunjukkan emoji meledek.
"Kemarin lo lagi diluar? Gue kirim pesan tidak ada balasan." Dena langsung ke inti masalah.
"Mampus gue! Ternyata dia datang ke sini buat tanya soal kemarin!" ungkap Galang dalam hati.
"Lo keluar kemarin?" tanya Dena kembali.
"Iya, ke makam ayah untuk lihat makam sudah di keramik sama nisannya sudah di marmer. Kenapa?" Galang coba menyerang balik.
"Lo masih marah? Atau sudah lupa?" Dena coba mengkonfirmasi hal lainnya.
"Gue lupa, lagi pula sudah lewat hari, jadi tidak begitu penting," kata Galang.
Tiba-tiba tanpa ada peringatan dari beberapa anak lainnya yang masuk ke dalam kelas, guru bahasa Indonesia datang. Seluruh siswa kembali ke tempat duduk masing-masing. Dena pun ikut kembali.
"Pagi yang kelabu, bagaimana weekend kemarin? Berbunga-bunga atau justru menusuk-nusuk?" kata Bu Reni.
"Kalau saya untungnya menusuk ke ulu hati, Bu." Seorang siswa menyahut.
"Kemarin ada cerita yang sungguh menggemparkan dunia lambe turah. Ada informan Ibu yang bilang, kemarin ada beberapa orang yang pergi makan bebek. Dia traktir makan bebek sebagai pajak jadian." Bu Reni mulai dengan gosip hot miliknya.
"Mampus lo, Na!" Anis yang duduk di samping Dena langsung melirik Dena.
"Siapa, Bu?" tanya seorang siswa.
"Ibu tidak mau bilang, tapi pelajaran tidak akan dimulai bila cowoknya tidak mau mengaku." Bu Reni berusaha memberi ultimatum.
"Zainal kena double damage, bakalan ngaku atau tetap diam itu anak?" tanya Ajo.
"Gue penasaran sama informannya Bu Reni," balas Galang.
Zainal tiba-tiba menunjuk tangannya. Perlahan tangannya terangkat ke atas, ia menatap ke arah Bu Reni. Seketika pula, semua wajah teman-temannya di kelas mengarah padanya.
"Zainal, coba berdiri. Kita butuh konfirmasi yang akurat dari tokoh utamanya," kata Bu Reni.
Zainal berdiri, Anang yang ada di sampingnya hanya bisa menahan senyum.
"Apa benar kamu dan beberapa teman yang ada di sini makan di restoran bebek samping velodrome?" Pertanyaan pertama dari Bu Reni.
"Benar, Bu …." Zainal mengangguk.
"Apa benar kamu yang bayar semuanya?" Pertanyaan kedua meluncur cepat.
"Saya patungan berdua," jawab Zainal.
"Kapan kamu menembak cewek ini?" Pertanyaan ketiga mulai menusuk.
"Waktu hari valentine kemarin," jawab Zainal.
Seketika semua siswa yang tidak tahu langsung riuh bersorak-sorai.
"Kenapa kamu mau menembak dia?" Pertanyaan semakin menukik tajam menusuk hati.
"Karena saya suka dengan dia dari kelas satu." Jawaban Zainal membuat kelas semakin gaduh.
Tapi jawaban itu yang membuat Dena merasa tersentuh, ia seperti melihat sosok yang berani di depannya. Galang menoleh ke arah Zainal yang berdiri. Wajahnya datar, ia melihat bagaimana Dena memandang Zainal yang tengah di sidang.
"Apakah menurutmu si cewek juga suka kamu?" Pertanyaan Bu Reni menjadi lebih personal.
Zainal tidak langsung menjawab. Ia diam dan melirik ke arah Anang seakan mencari bantuan untuk menjawabnya.
"Butuh bantuan? Saya punya phone a friend, 50:50, atau ask the audience. Kamu mau pilih yang mana?" Bu Reni coba menahan senyum.
"Terasa lagi main who wants to be a millionaire, yah, Bu?" salah seorang siswa berteriak keras.
"Dia pasti juga suka sama saya, Bu," jawab Zainal.
Ia sangat percaya diri saat bilang seperti itu. Tapi dirinya langsung merasa malu dan takut memandang ke arah Dena.
"Bagus …." Bu Reni memberi acungan jempol, "Ini baru namanya laki-laki!"
Zainal kembali duduk, keringat dingin mengucur di sekitar wajahnya.
Dena mendekatkan wajahnya, ia mencolek Zainal, "keren, aku suka."
"Itu tolong, Dena tangannya jangan colek-colek abang gantengnya dulu. Kalau mau mesra-mesraan nanti diluar kelas saja, yah?" sindir Bu Reni.
Semua siswa di kelas kembali bersorak dan tertawa ramai.
Nabil yang biasanya berkoar memilih diam saja. Ia tidak berani melawan joke milik Bu Reni.
"Baik anak-anak, sekarang Ibu mau memberi tugas jangka panjang. Tugas ini dilakukan berkelompok. Kelompoknya ada 8 orang. Karena jumlah siswa di kelas ini ada 40, jadi akan ada 5 kelompok," ucap Bu Reni.
"Tugas apa, Bu?" tanya seorang siswa.
"Ih, jangan pura-pura amnesia. Kalian pasti sudah pada dengar dari kelas lain, 'kan?" Bu Reni berdiri dan menuliskan sesuatu di papan tulis.
Tertulis di papan putih, "Drama."
"Kalian harus buat drama. Harus memakai kostum dan akan ditampilkan di depan kelas. Waktunya 3 Minggu. Minggu pertama untuk menulis naskah dan berikan ke Ibu untuk disetujui, Minggu kedua untuk latihan, dan Minggu ketiga untuk menyiapkan kostum. Kali saja ada yang mau pakai kostum cinderella atau snow white, gitu?" pikir Bu Reni.
"Tampilnya berapa menit, Bu?" Anis mengangkat tangannya.
"Satu kelompok diberi jatah kurang lebih 30 menit. Jadi, kalian harus buat naskah yang bisa ditampilkan selama 30 menit, understand?" kata Bu Reni.
Galang langsung menghela napas. Ia merasa tugas ini akan menjadi tugas paling merepotkan.
"Menyebalkan!" ungkapnya di hati.