Chereads / Hamster & Marmut / Chapter 18 - Gue Ingin Sendiri!

Chapter 18 - Gue Ingin Sendiri!

Volume musik di perbesar oleh Galang, ia tidak ingin ada yang mengganggu perasaannya yang tengah hancur karena perkataan Dena padanya. Terasa sulit menerima, namun Galang tidak bisa berbuat apa-apa. Duduk sambil melihat ke arah luar jendela di mana beberapa orang sedang melakukan aktivitas di pagi weekend, membuat Galang yang berada di Transjakarta merasa lebih baik.

Jadwalnya untuk push rank game kesukaannya telah hancur dengan mood yang sedang buruk. Saat Transjakarta sampai di halte tujuan, ia turun. Galang tidak memilih langsung pulang, ia memilih menyeberang jalan raya dan menuju ke kanal banjir timur.

"Sampai siang tidur dibawah pohon sepertinya enak." Galang duduk di bawah sebuah pohon yang rindang sambil memandang ke arah kanal.

Ia merebahkan kepalanya ke batang besar di belakangnya. Menikmati semilir angin yang berembus datang tanpa permisi. Ditemani dengan beberapa playlist musik di handphone miliknya, ia memejamkan mata untuk merasakan semua harmoni.

"Mau aku antar?" tanya Zainal.

"Nggak, aku mau pergi sama Anis dan Indah. Kamu pulang saja duluan." Dena pamit, ia segera pergi bersama dengan kedua temannya.

Zainal merasa Dena sedang menyembunyikan sesuatu, tapi sayangnya ia tidak mengerti apa itu.

Diki, Ajo dan Nabil memilih untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka segera pergi setelah semuanya memilih untuk pamit berpisah.

[Lo lagi di mana, Lang?] Anis tiba-tiba mengirim pesan.

"Kenapa dia?" Galang merasa ada yang aneh saat Anis mengirim pesan.

[Lagi duduk di bawah pohon di kanal banjir timur, kenapa memangnya?] Galang membalas pesan itu.

[Nggak cuma tanya saja, takutnya lo terjun dari flyover.] Pesan baru masuk.

[Ha! Ha! Ha!] Galang menjawabnya dengan nada garing.

Dreet! dreet!

Panggilan masuk dari Dena, saat Galang melihatnya ia merasa bingung apa harus diterima atau tidak.

Reject!

Galang tidak menerima panggilan dari Dena. Ia benar-benar kesal dengannya.

Setelah dirasa tidak ada yang spesial dari kanal, ia memilih untuk pulang ke rumah. Galang melepas kedua airpodnya, ia menyusuri jalan sambil menunduk.

"Menyebalkan! Kenapa gue harus peduli padanya! Memang apa pentingnya dia!" Galang menggerutu di sepanjang jalan.

Ia berpikir rasa peduli yang diberikan dirinya terlalu berlebihan. Dan bisa dibilang justru malah berbalik menyakitinya.

"Ma? Masak apa?" Galang masuk ke dalam rumah. Ia langsung berteriak mencari mamanya.

"Masak ikan asin, sayur asem sama tahu tempe, kenapa?" Mama muncul dari kamar.

"Capek! Nanti jadi arisan keluarga besar?" Galang langsung duduk di sofa ruang tamu. Ia melepas sweater hoodie dan topi miliknya.

"Kamu memang mau ikut?" tanya Mama.

"Nggak, terima kasih!" Galang menolak keras.

"Kamu bisa ke makam bapak?" Mama memberikan sebuah struk.

"Ini apa?" Galang melihat struk yang diberikan mama.

"Itu struk pembayaran untuk meninggikan tanah makam dan membuat makam di keramik beserta nisannya. Nanti kamu ke kantor makamnya, lalu berikan foto copy struk ini sebagai bukti. Lalu cek ke makam apa sudah diperbaiki, nanti foto dan kirim ke mama." Mama memberikan ongkos pada Galang.

"Sekarang?" tanya Galang.

"Kalau bisa tahun depan! Ya, sekarang, dong!" Mama sampai menggelengkan kepalanya.

Galang menghela napas panjang. Ia memilih mandi terlebih dahulu sebelum pergi menunaikan misi di weekend ini.

"Lo kenapa? Di sepanjang jalan sepertinya cemberut terus?" Indah melihat raut wajah Dena yang terus murung.

"Nggak, cuma lagi kurang bersemangat saja." Dena tersenyum menyembunyikan rasa resahnya.

"Ma, jalan!" Galang selesai berganti pakaian.

Ia segera bergegas kembali jalan. Dengan memakai kacamata yang biasa digunakannya dirumah dan jaket bomber berwarna biru tua serta kaos putih di dalamnya, ia coba menggunakan pakaian dengan gaya yang baru. Bahkan Galang membuat rambutnya yang sudah lumayan panjang terlihat berantakan.

"Galang?" Tiba-tiba ada yang memanggilnya dari kursi paling belakang Transjakarta.

Galang menoleh ke belakang, ia melihat ada Zahra. Ia tidak menyangka bisa bertemu dengan si gadis tiba-tiba. Kenapa dibilang begitu, karena ia selalu muncul tiba-tiba seperti hantu.

"Mau ke mana?" tanya Zahra.

Ia melihat penampilan Galang yang berbeda. Zahra bahkan terus menatap wajah Galang dengan setelan rambut acak-acakan.

"Mau ke makam, lo baru mau pulang?" tanya Galang.

"Iya, badan terasa remuk semua." Zahra mengeluh seluruh badannya sakit.

"Baguslah, berarti lo masih manusia normal." Galang duduk di samping Zahra.

Zahra mencium aroma parfum maskulin dari diri Galang. Ia terus menghirup aroma itu, Zahra menoleh ke arah Galang, ia merasa Galang yang ada disampingnya bukanlah Galang yang ia kenal.

"Kenapa?" Galang menoleh ke arah Zahra.

"Hah? Nggak, cuma hari ini lo beda saja." Zahra merasa malu saat mengatakannya.

"Beda bagaimana?" Galang merasa bingung.

"Gue belum pernah melihat seorang Galang dengan gaya seperti anak gaul. Ditambah parfum yang lo pakai, baunya enak banget." Zahra tersenyum.

Galang merasa ia biasa saja saat berpenampilan seperti ini. Ia sangat terkejut saat Zahra bilang penampilannya lebih baik dari ia saat di sekolah.

"Oh, memang gue biasa memilih lebih bebas untuk berpakaian diluar sekolah," ungkap Galang. Ia tidak sengaja melepas kacamatanya sebentar.

Zahra terus menatap wajah Galang tanpa kacamata, "ganteng …." Zahra begitu terkejut dengan penampilan Galang tanpa kacamata.

"Sial! Debu di mata!" keluh Galang.

Galang melihat di depannya adalah halte tujuannya, ia segera bangun dari duduknya.

"Gue duluan, bye." Galang pergi dan turun dari Transjakarta.

Zahra senyum-senyum sendiri. Ia benar-benar menyukai penampilan Galang yang baru pertama dilihatnya.

Galang melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot. "Lumayan panas, yah?" Galang mulai berkeringat.

Hanya beberapa menit saja, ia langsung segera turun saat angkot sudah melewati gerbang TPU. Galang membeli beberapa bunga setaman dan air mawar, rencananya yang semula hanya untuk menyerahkan foto copy bukti pembayaran ditambah dengan melakukan kunjungan ke makam ayahnya.

Ia memasuki kantor makam, Galang langsung menuju ke bagian administrasi dan memberikan dokumen bukti pembayarannya. Setelah dirasa selesai, ia segera pergi dan menuju ke makam ayahnya.

Satu airpod terpasang di telinga kirinya, ia sekalian mendengarkan satu lagu klasik yang mengingatkan Galang dengan sosok sang ayah.

"Apa kabar, yah?" Galang duduk di samping makam ayahnya.

Ia menaburkan bunga setaman dan air mawar yang dibelinya tadi. Galang menunduk, sesekali ia membersihkan beberapa rumput liar yang tumbuh. Galang juga memfoto keramik dan nisan baru yang menghiasi makam ayahnya.

"Galang rindu dengan ayah, maaf bila Galang ke sini hanya untuk bercerita. Tapi Galang merasa sedang bad mood dengan masalah di sekolah." Galang melihat galeri fotonya, ia memilih satu foto yang ada ayahnya.

"Galang tidak tahu apakah bisa menjadi penjaga yang baik untuk Katy dan mama, tapi Galang coba berusaha sebisa mungkin bertahan. Galang juga sudah berencana untuk kuliah lewat jalur prestasi, tapi Galang masih belum yakin dengan uang gedung dan bayaran per semesternya." Galang hanyut mencurahkan semua uneg-uneg di dalam hatinya.

"Bila ayah bisa mengirim surat ke malaikat, tolong sampaikan keluhan Galang. Terutama pada point' uang gedung dan bayaran per semester untuk kuliah. Galang perlu uang itu agar bisa kuliah dan bekerja ditempat yang lebih baik." Galang coba bernegosiasi.

"Bila ayah bertemu dengan kakek dan nenek serta keluarga lain di sana, tolong jangan buat arisan keluarga, karena itu hanya sebatas basa-basi saja. tapi bila ada arisan di akhirat, mereka menggunakan apa? uang tidak mungkin, 'kan?" Galang menyindir, ia malah memikirkannya.

Ia sangat dekat dengan ayahnya, bahkan mereka selalu menghabiskan waktu setiap sore untuk mengelilingi wilayah di dekat rumah hanya untuk mengobrol dan mencari cemilan di pinggir jalan.

Dreet! Dreet!

[Besok batas akhir mengumpulkan tugas biologi, sudah mengerjakan?] Pesan baru dari Dena.

Galang melihatnya, tapi ia tidak membalas pesan itu.

[Besok katanya juga ada tugas bahasa Indonesia, dari kelas lain diminta untuk membuat drama. gue tidak tahu detailnya, tapi gue berharap bisa satu kelompok sama lo.] Dena mengirim pesan lagi.

Sekali lagi Galang hanya melihatnya, ia mengabaikan lagi pesan itu.