Chereads / Hamster & Marmut / Chapter 4 - Si Beauty & Si The Beast

Chapter 4 - Si Beauty & Si The Beast

Sambil berjalan menyusuri jalan menuju rumahnya, Galang baru pertama kali merasakan apa yang dimakan jengkel sampai ke ubun-ubun. Dena terus saja bicara tanpa henti. Seperti suara radio, suara Dena sedikit mengganggu tunga Galang.

"Entah kenapa, gue merasa cewek ini terlalu hiperaktif. Mungkin sebutannya overaktif?" pikir Galang di hati.

Akhirnya mereka sampai di depan rumah Galang. Dena langsung melihat rumah Galang yang terdiri dengan dua lantai, tapi sangat kecil untuk ukuran rumah sejahtera.

"Welcome to my home, mau masuk atau hanya mengagumi betapa kecilnya?" sindir Galang.

"Oh, oke." Dena masuk ke dalam rumah Galang.

"Ma!"

"Ma!"

Galang meminta Dena untuk duduk di sofa dulu. Dia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Sedari tadi, Dena terus melirik ke sana kemari keadaan rumah Galang yang hanya memiliki lebar 5x10m.

"Halo? Ada tamu?" Tiba-tiba Mama datang dari luar.

"Hai, Tante?" sapa Dena.

"Kamu teman kelasnya Galang?" tanya Mama.

"Iya, Tante," jawab Dena.

"Cuma teman? Belum lebih?" pikir Mama.

"Kebetulan belum, Tante," jawab Dena.

Galang turun kembali ke bawah. Dia sudah mengganti bajunya dengan kaos oblong hitam dan celana denim. Galang juga mengganti kacamatanya ke ukuran lensa lebih kecil dan terlihat lebih modis dari pada yang dipakainya di sekolah.

"Ma, masih punya sirup di kulkas?" tanya Galang.

"Masih!" teriak Mama.

Galang segera membuat sirup orange untuk Dena.

"Mama tinggal dulu, yah?" Mama pamit ke lantai atas.

Galang menghidangkan dua gelas sirup orange dingin dan satu camilan ringan.

"Silahkan diminum." Galang duduk di sofa seberang Dena.

"Terima kasih," jawab Dena. Dia meminum sirupnya.

"Jadi, mau apa mengikuti gue sampai ke rumah?" tanya Galang.

"Ternyata lo beda sekali saat memakai baju bebas. Dan kacamata yang lo pakai kenapa diganti?" tanya Dena.

"Oh, ini biar lebih nyaman." Galang ikut meminum sirupnya.

"Gue suka, terlihat lebih ganteng," pikir Dena.

"Ganteng itu relatif, tidak ada tolak ukurnya," pikir Galang.

Dena mengulurkan tangannya seperti sedang meminta sesuatu.

"Apa?" tanya Galang.

"Gue mau lihat puisi lo itu," pinta Dena.

"Maaf, itu privasi. Gue menolak," ucap Galang. Dia membuka handphonenya.

Tiba-tiba Dena mengambil kacamata Galang.

"Woy!" Mata Galang langsung rabun.

"Benar dugaan gue." Dena tersenyum saat melihat wajah Galang tanpa kacamata.

"Benar kenapa? Cepat sini kacamatanya!" bentak Galang.

Dena mendekatkan wajahnya ke wajah Galang. Seketika Galang diam bergerak dan berhenti bicara. Matanya terbelalak melihat wajah Dena yang ada tepat di depannya.

"Ma-mau apa?" jantung Galang berdetak cepat.

"Lo itu sebenarnya tampan, gue suka. Tapi kenapa saat di sekolah, lo tidak menunjukkan wajah lo itu? Kalau gue bilang, lo bisa jadi salah satu cowok paling tampan di sekolah," pikir Dena.

"Maaf, tapi cita-cita gue bukan jadi artis sekolah." Galang mengambil kembali kacamata miliknya dari tangan Dena. Dia menggunakannya kembali.

"Tidak mau coba kontak lens?" tanya Dena.

"Itu tidak perlu. Gue hanya perlu bermain aman sampai lulus sekolah dan diam di sudut. Gue benci bila harus terkenal dan didekati banyak orang. Itu melelahkan," ungkap Galang.

"Tapi lo punya potensi untuk menjadi famous di sekolah," pikir Dena.

"Lo itu persis seperti beauty dalam dongeng beauty and the beast, sedangkan gue seperti beastnya. Kita punya perbedaan yang terlihat sangat jelas. Dunia kita juga berbeda, bagaikan si riang dan si diam. Jadi tolong, jangan coba-coba menarik gue dari zona nyaman. Itu sia-sia." Galang bangun dan mengambil gelas sirup yang telah kosong.

Dia menuju ke dapur dan mencuci dua gelas itu.

"Tapi gue mau mencobanya. Gue pasti akan menarik lo dari zona nyaman lo," ungkap Dena.

"Kenapa? Apa ada untungnya untuk lo?" tanya Galang.

"Ada, tapi itu masih rahasia," ucap Dena.

Galang kembali menuju ke sofa. Wajahnya terlihat kesal. Dia mencabut kembali rasa ketertarikannya pada Dena. Dia paling membenci bila ada orang yang mengaduk-aduk hidupnya.

"Bila sudah selesai, tolong segera pulang. Gue mau istirahat, besok masih harus sekolah," ucap Galang.

"Oke, tapi gue tidak akan menyerah. Tunggu saja, gue akan membuat the beast kembali menjadi pangeran tampan," ungkap Dena.

Dena pamit dan pergi. Galang hanya mengantarnya sampai di depan rumah. Setelah itu dia langsung masuk dan naik ke lantai dua menuju ke kamarnya.

Dreet! Dreet!

[Gue juga memiliki sisi lain sama seperti lo. Jadi jangan bilang bila dunia kita berbeda. Gue beauty? No, gue mungkin Cinderella yang kumuh dan berharap untuk bisa diterima di dunia ini.] Pesan masuk dari Dena.

"Tetap saja Cinderella akhirnya mendapatkan pangeran tampan yang kaya raya, 'kan?" ungkap Galang setelah membaca pesan itu.

[Gue ingin mengubah beast yang buruk rupa dan selalu bersembunyi di istana megahnya itu untuk menjadi pangeran tampan kembali. Dan akhirnya, dongeng yang mencerminkan hubungan kita berdua adalah Cinderella dan pangeran tampannya.] Pesan kedua dari Dena.

"Dia baru mabuk? Atau karena efek sirup tadi? Perasaan gue tidak memasukkan bahan-bahan terlarang?" pikir Galang.

Dia membuka tablet murah miliknya. Galang mulai mengetik beberapa sajak kembali.

"Cih, padahal dia itu tampan. Tapi kenapa kelakuannya seperti itu? Dia itu cuek dan bahkan tidak peduli, tapi gue suka dengan dua sifatnya itu," pikir Dena.

Dia naik bus transit Transjakarta kembali untuk pulang.

"Mungkin gue harus mengubah dia sedikit demi sedikit, si beast itu?" pikir Dena.

Dreet! Dreet!

Galang melihat ada pesan masuk lagi.

"Ini cewek, kenapa dari tadi kirim pesan terus?" Galang heran.

[Besok lo ikut nonton ke bioskop bersama gue dan adik kelas yang tadi. Gue tidak mau tahu, lo harus datang! Awas, kalau sampai kabur gue santet by online!] Pesan masuk dari Dena.

"Haduh, masalah baru muncul. Tunggu sebentar, gue penasaran dari mana dia tahu nomor handphone gue?" pikir Galang.

[Lo tahu dari mana nomor handphone gue?] Pesan balasan terkirim.

[Dari grup kelas, kenapa? Heran karena gue bisa kirim pesan ke lo?] Pesan baru dari Dena.

[Oh, nggak. Cuma perjuangan lo pastinya berat banget, sampai harus rela copy paste, lalu menambahkan nomor handphone gue ke kontak handphone lo.] Pesan balasan dari Galang.

"Ish, dia kalau menyindir orang langsung nusuk! Tapi itu yang membuat dia terlihat lumayan menarik," ungkap Dena.

[Besok habis pulang sekolah kita langsung ke bioskop. Untuk tiket film, biar gue yang traktir. Lo tinggal datang bawa badan, arwah sama baju ganti. Jangan lupa pakai kacamata yang tadi!] Pesan ketiga dari Dena.

"Hah? Permintaannya banyak banget, di kira gue cowok panggilan. Di order cuma untuk memuaskan dia, gitu?" pikir Galang merasa jengkel.

[Kita lihat besok saja. Oh, gue biasanya nonton harus ada popcorn asin ukuran jumbo, sama minuman cola jumbo. Jangan lupa order!] Pesan balasan dari Galang.

"Hah? Ini bocah kurang ajar! Dikasih hati minta paru-paru!" Dena kesal.