Dena mengakhiri panggilan masuk tersebut. Dia tidak ingin dirinya diganggu oleh urusan rumah.
[Maaf, Ma. Dena lagi di luar. Sebentar lagi Dena pulang.] Pesan terkirim.
"Nggak, tadi itu Mama." Wajah Dena berubah menjadi murung. Dia segera pergi meninggalkan area pameran hewan pengerat.
Galang yang melihat tingkah Dena hanya bisa heran. Dia hanya bisa mengikuti Dena dari belakang sambil mencoba mencari cara untuk bertanya.
"Gue pulang sendiri naik taksi online, lo tidak apa-apa gue tinggal sendirian?" tanya Dena.
"Ada urusan penting? Apa karena telepon tadi?" jawab Galang.
"Iya, tapi itu rahasia, sorry." Dena memutuskan untuk terus jalan dan keluar menuju ke area teras depan lobi mall. Dia meninggalkan Galang sendirian di tengah-tengah koridor mall yang super besar.
"Akhirnya gue sendirian, lalu sekarang bagaimana caranya gue pulang? Gue belum pernah pakai aplikasi taksi online!" Galang bingung. Dia segera jalan menuju ke sudut mall dan berusaha menginstal salah satu aplikasi taksi online.
"Sial banget! Seharusnya tadi gue minta ongkos buat pulang ke Dena!" Galang menunggu hingga aplikasi terinstal.
Tiba-tiba Galang merasa dirinya menjadi pusat perhatian. Beberapa wanita yang lewat selalu melirik ke arahnya sambil melemparkan senyuman penuh dengan rasa intimidasi.
"Ini kenapa pada senyam-senyum ke gue?" Galang coba melihat ke belakang, mungkin ada yang lucu di belakangnya. Tapi ternyata, di belakang Galang hanya ada dinding.
Aplikasi sudah terinstal, Galang segera mencoba menggunakannya dengan memesan satu taksi online.
"Kak Galang? Kok ada di sini?" Rafa tiba-tiba datang dan menyapa Galang.
"Wah, si bocil!" teriak Galang di hati.
"Eh, Rafa? baru selesai nontonnya?" Galang berusaha basa-basi.
"What! Kenapa gue bilang begitu!" Galang benar-benar bingung. Dia hanya bisa bergumam dalam hati.
"Kak Dena sedang bersama Kak Galang?" tanya Rafa. Matanya melirik ke sana kemari mencari keberadaan Dena.
"Oh, nggak. Dia sudah pulang dari tadi. Gue tadi potong rambut dulu di salon." Galang melihat aplikasinya sudah menemukan driver.
"Oh, Rafa kira masih dengan Kak Galang. Rafa cuma mau tanya dia ada urusan keluarga apa?" Rafa masih memegang dua popcorn ukuran jumbo.
"Aduh, kurang tahu. Mungkin besok bisa dikonfirmasi langsung sama Dena. Sorry, gue pulang dulu, driver sudah di depan lobi." Galang segera meninggalkan Rafa. Dia segera lari menuju ke mobil pesanannya.
Dengan berat hati, Galang menghindar. Dia melihat wajah Rafa yang merasa kecewa dari jendela mobil. Galang meminta driver untuk menjalankan mobilnya.
"Ah, sial! Gue lupa minta popcorn yang dipegang dia." Galang hanya bisa menggerutu dalam hati.
Dreet! Dreet!
[Maaf, gue tadi pergi duluan. Gue harus pulang segera untuk urusan penting.] Pesan masuk dari Dena.
"Dia baru kirim pesan? Dasar!" Galang terlihat jengkel.
[Gue tadi bertemu dengan Rafa. Dia tanya lo di mana? Tapi gue langsung menghindar pergi. Mungkin besok dia bakal kejar lo di sekolah. Semoga lo sudah mempersiapkan santet yang cocok untuknya.] Pesan balasan terkirim.
[Kenapa harus santet, bingung gue. Pokoknya tenang, gue sudah mempersiapkan jawaban yang cocok untuk valentine besok.] Balasan dari Dena.
[Biar gue tebak, 99% lo menolak, 'kan?] Balasan dari Galang.
[Entahlah, kita lihat besok saja. Ya sudah, gue pamit dulu, bye.] Dena mengakhiri pesannya.
"Besok adalah medan perang bagi para jomblo. Dan gue jomblo! Ingin rasanya besok izin keluar planet selama sehari penuh." Galang menyandarkan kepalanya di jendela mobil.
Dreet! Dreet!
[Dena, ada yang mau gue bicarakan besok. Lo bisa ke taman belakang saat di tengah-tengah jam terakhir?] Pesan dari Anang.
"Anang? Dia mau ngomong apa? Apa gue buat salah ke dia?" Dena merasa heran dan bingung.
Klek!
Galang membuka pintu depan rumah mungilnya. Dia segera masuk dan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua. Tanpa menyapa Mama atau pun adiknya, Galang menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia begitu lelah, tenaganya seperti terkuras habis.
"Capek!"
Galang langsung memejamkan matanya. Berusaha charging energi sedikit sebelum dia mulai mengerjakan beberapa tugas sekolah.
"Besok valentine, ditambah ada pelajaran matematika!"
Galang merasa besok seperti neraka baginya.
"Besok izin tidak masuk mungkin bisa?"
Dia mulai memikirkan beberapa rencana busuk untuk lari dari hari esok.
"Cih, tapi bila gue besok tidak masuk, bisa kena semprot sama Pak Mustaqim. Gue serba salah jadinya, haduh …."
Galang hanya bisa berakhir dengan mengeluh dan menerima realita bila besok adalah neraka.
Lalu, setelah mengumpulkan sedikit energi cakra, Galang kembali bangun dan duduk di depan meja belajarnya. Dia membuka buku tulis yang tadi dibawanya. Galang membuka halaman bagian belakang dari buku itu. Dia melihat kembali tulisan yang ditulis olehnya. Sedikit asal untuk bisa dikatakan sebagai sajak, apalagi bila dikatakan sebagai puisi. Namun dia mulai suka menulis seperti ini sejak sang Ayah tiada.
Baginya, Ayah adalah sosok yang sangat dekat untuknya. Dia seperti teman, saudara, dan sebagai sosok ayah itu sendiri.
Agak berlebihan memang saat menjelaskan pentingnya sosok ayah, karena Galang yang normalnya adalah cowok kuper dan culun, menganggap ayahnya sebagai pelampiasan dirinya untuk bersosialisasi.
"Cinta, sesuatu yang rumit tapi ada …."
"Terkadang melelahkan dan membuang banyak energi saat memikirkannya …."
"Tapi terlihat berharga saat sudah hilang …."
"Lalu bagaimana cara menjaganya, di saat dia bahkan belum datang menyapa …."
Galang diam dan merasa bingung. Kenapa dia bisa menulis semua kalimat ini. Dia merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
"Cinta, apa itu? Selama ini gue belum pernah merasakannya." Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia berusaha mencari definisi cinta yang paling dekat di sekitarnya.
"Suka? Apa itu termasuk cinta? Atau cinta, termasuk rasa suka?" Dia bingung kembali.
Bagi cowok kuper seperti dirinya, cinta hanya sebatas dongeng pengantar tidur yang terus dibacakan setiap hari. Selama Galang belum merasakan bagaimana rasanya, dia akan terus bingung dan ragu. Walaupun dirinya merasakan rasa suka sekalipun pada seorang perempuan.
Dreet! Dreet!
[Lo besok mau coklat apa? Gue lagi di minimarket.] Pesan masuk dari Dena.
"Coklat? Oh, gue lupa, besok valentine." Galang segera membalas pesan Dena.
[Terserah, lagipula gue tidak terlalu mengharapkannya. urusan lo sudah selesai?] Pesan balasan terkirim.
[Ish, pokoknya besok gue kasih! Lo juga! Jangan lupa kasih gue coklat! Awas lupa! Urusan gue di cancel dulu.] Balasan dari Dena.
"Astaga! PR lagi! Kenapa gue harus kasih dia coklat? Kita belum saling tembak, apalagi jadi kekasih. Kenapa!" Galang berusaha berpikir keras.
"Gue pesan via online saja. Lumayan, hemat energi keluar." Galang memilih beberapa kue berbahan dasar coklat.
Dena yang baru keluar dari minimarket langsung duduk di kursi panjang besi di depan pintu masuk. Dia ingin mengistirahatkan kakinya sebentar.
Dreet! Dreet!
Dena mendapatkan notifikasi pesan dari Anis. Dia adalah bestie terdekat Dena yang sudah bersama sejak kelas satu SMA. Anis mengirimkan Dena sebuah gambar hamster lucu berwarna coklat keemasan yang sedang memakai kacamata.
"Kok, mirip sama Galang, yah?" Dena tertawa geli saat melihat gambar itu.
Dia jadi teringat dengan wajah Galang yang menggemaskan. Dengan cepat, Dena mengirimkan gambar itu ke Galang.
"Notif chat?" Galang membukanya.
Dia terkejut dengan gambar hamster berkacamata. Tapi lebih terkejut lagi dengan pesan yang ditinggalkan oleh Dena.
"Halo, my hamster." Sebuah emoji kepala hamster sedang tersenyum disematkan di akhir kalimat.