Senyuman terlihat di wajah Dena. Dia mengambil spidol dari tangan Pak Mustaqim. Dena langsung menghampiri Galang dan menoleh ke arahnya dengan melemparkan senyum.
"Hai," sapa Dena.
"Hah, kenapa?" Galang bingung.
"Jangan lupa, coklat untuk gue." Dena mengingatkan Galang kembali, lalu dia mulai mengerjakan soal nomor 5.
"Lo masih bisa memikirkan coklat sekarang?" bisik Galang.
Pak Mustaqim melihat mereka berdua malah mengobrol satu sama lain.
"Ehem! Soal dulu, kalau mau valentine-an nanti saat istirahat," sindir Pak Mustaqim.
Seketika tawa para siswa pecah.
Nyali Galang semakin menyusut setelah terintimidasi oleh teriakan teman-temannya. Dia benar-benar tidak bisa memikirkan rumus atau contoh soal yang pernah dia kerjakan sebelumnya.
"Terserah, lah!"
Galang meng-copy paste jawaban dari Anis yang kelihatannya sama seperti soal miliknya. Dengan sedikit improvisasi, Galang berhasil mengejar ketertinggalannya dari Dena.
"Sudah, Pak." Dena berhasil menyelesaikan jawabannya. Dia kembali duduk meninggalkan Galang sendirian.
"Sudah, Pak." Galang juga sudah selesai. Dia segera memberikan spidol kepada Pak Mustaqim, lalu Galang kembali ke tempat duduknya.
Pak Mustaqim meminta Anang untuk maju dan mengoreksi pekerjaan lima orang yang maju tadi. Sambil menunggu Anang selesai, Pak Mustaqim membagikan kisi-kisi ulangan pertama untuk minggu depan dengan menulisnya di papan tulis satu lagi.
"Tangan gue gemetar!" Galang merasa seperti sedang melakukan flying fox di antara dua tebing. Jantungnya terus berdetak cepat saat Anang mulai mengoreksi jawaban miliknya.
"Gue salah, Na!" Anis cemberut menoleh ke arah Dena saat tahu jawabannya salah.
"Wah gila! Gue salah rumus?" teriak Nabil.
"Oke, gue salah semua." Ajo seperti sudah pasrah dengan jawaban yang ditulisnya.
Anang sudah selesai dengan koreksi jawaban lima soal itu. Dia segera memberikan kembali spidolnya ke Pak Mustaqim.
"Yang salah, tolong maju ke depan." Pak Mustaqim duduk di kursinya. Dia baru menyelesaikan setengah kisi-kisi ulangannya.
Mereka berempat maju ke depan kecuali Dena. Ternyata jawaban Dena benar, dia hanya memberikan senyuman semangat pada Anis yang ikut maju ke depan.
"Mau hukuman apa?" tanya Pak Mustaqim.
Seketika mereka berempat diam dan saling melirik satu sama lain.
"Yang enak saja, Pak," sahut Nabil.
Pak Mustaqim tersenyum, "Yang enak itu apa? Coba beri contoh?"
"Makan di kantin, atau lari keliling komplek?" pikir Nabil.
Anis menyenggol Nabil, dia meliriknya dengan tajam. "Lo gila! Kenapa tidak sekalian marathon keliling Kanal Banjir Timur!"
"Ya, maaf. Itu, 'kan saran?" pikir Nabil.
Pak Mustaqim bangun dari posisi duduknya. Dia berjalan ke arah depan mereka berempat.
"Kalian berempat, ambil sampah plastik atau kertas yang ada di sekitar area sekolah berjumlah 50 sampah untuk masing-masing orang. Kalau sudah, balik lagi ke sini." Pak Mustaqim berjalan menuju pintu kelas yang tertutup, dia segera membuka pintu dan menyuruh mereka memulai hunting sampahnya.
"Mulai …."
Galang dan yang lainnya segera keluar dari kelas. Mereka segera mencari sampah yang tergeletak sembarangan di sekitar lorong sekolah.
"Kita berpencar, gue sama Galang ke kantin, lo sama Ajo ke belakang sekolah." Nabil langsung menarik paksa tangan Galang tanpa izin.
"Hah? Woy, Bil!" Anis benar-benar bingung dengan tingkah Nabil.
Ajo segera ke belakang sekolah, dia mendapatkan satu botol plastik minuman bekas pakai tergeletak di bawah pohon. Anis juga menemukan dua plastik bekas bungkus camilan.
"Lu gila, yah! Asal main tarik saja!" Galang melepaskan genggaman tangan Nabil.
"Ya, maaf. Gue cuma mau sarapan sebentar." Nabil menghampiri Mami, si penjual mie goreng yang terkenal di sekolah.
"Ma … mi …." Nabil berteriak memeluk Mami dengan sangat erat.
"Eh, buset, Bil! Sesak napas, nih!" Mami coba melepaskan diri dari badan besar Nabil.
"Lo serius mau makan dulu?" tanya Galang.
"Iye, lebih baik lo cari dulu itu sampah!" Nabil mulai meracik mie instan goreng miliknya.
Galang hanya bisa mengernyitkan alisnya. Dia benar-benar jengkel dengan kelakuan Nabil.
"Iye, gue pergi, nih!" Galang pergi meninggalkan Nabil.
Galang menemukan beberapa sampah gelas plastik dan botol air mineral yang dibuang sembarangan.
"Yo?" Dena tiba-tiba muncul di hadapannya Galang. Dia tersenyum sambil memberikan sebuah kantong plastik hitam.
"Lo kenapa di sini?" Galang terkejut, dia mengambil kantong plastiknya. Dia melihat isinya adalah kumpulan sampah plastik dan kertas.
Galang langsung melirik ke arah Dena. Dia bingung dengan maksud Dena memberinya sampah.
"Lo kenapa kasih sampah ke gue?" tanya Galang.
"Lo lagi cari 50 sampah, 'kan? Itu gue bantu, tadi gue dapat sekitar 10 sampah." Dena mengeluarkan sesuatu lagi dari kantongnya.
"Gue juga mau kasih ini." Dena memberikan Galang satu coklat panjang berbentuk batangan, dengan merek yang sudah umum dijual di seluruh minimarket.
Galang tidak langsung mengambilnya, dia justru diam memperhatikan coklat itu. Lalu, pandangannya beralih dari coklat ke arah wajah Dena.
"Ini untuk apa?" tanya Galang.
"Untuk simbol." Dena masih mengulurkan tangannya.
"Simbol apa?" tanya Galang lagi.
"Sudah, lo ambil ini coklat! Gue harus balik lagi ke kelas." Dena memberikan paksa coklat itu ke tangan Galang. Setelah itu, dia segera pergi kembali ke kelas.
Galang bingung, dia terus bertanya-tanya dalam dirinya. Apa maksud Dena memberikan coklat batangan bermerek umum ini padanya?
"Seenggaknya coba kasih gue coklat bermerek yang lebih mahal sedikit," keluh Galang.
Dia meletakkan coklat itu ke dalam kantong celana sebelah kanan. Lalu setelah itu, Galang segera melanjutkan hunting sampahnya kembali. Matanya yang sudah minus benar-benar bekerja keras untuk menemukan para sampah-sampah ini.
Nabil telah menghabiskan mie instan goreng bercampur irisan 15 cabe rawit yang digunting kecil-kecil. Dia segera bayar ke Mami, lalu segera mengejar Galang yang sudah berada di area parkir motor.
"Jo, lo tahu Dena sama Galang kemarin pergi berdua sama Rafa. Terus kelanjutannya bagaimana?" Anis mulai memancing informasi.
"Dia tidak bilang apa-apa. Gue sendiri juga penasaran." Ajo mendapatkan satu lagi sampah kertas.
"Dena juga tidak cerita apa-apa. Gue jadi curiga sama mereka bertiga. Menurut lo, Dena sudah jadian sama si Rafa? Terus Galang buat apa? Atau justru Dena malah jadian sama Galang?" pikir Anis.
"Lo percaya beauty and the beast bisa bersatu?" sindir Ajo.
"Mulut lo, yeh? Kadang-kadang ada benarnya juga." Anis tertawa geli. Dia menemukan satu sampah botol lagi.
Nabil mengendap-endap, dia segera menerkam Galang dari belakang. Pelukan erat Nabil tidak bisa dilepas oleh Galang.
"Bil! Berat, woy!" Galang coba menggoyangkan badannya.
"Galang, gue kenyang …." Nabil melepaskan pelukan eratnya.
"Lo baru makan mie campur bayi?" sindir Galang.
"Iye, 5 bayi gue makan!" Nabil duduk di salah satu motor yang terparkir di dekatnya.
"Cepat cari sampahnya, gue mau balik ke kelas untuk catat kisi-kisi ulangan." Galang melanjutkan huntingnya.
"Ya, ampun. Galang, lo harus pakai otak sekali-kali. Jangan cuma dipajang di galeri seni doang!" Nabil mengambil paksa kantong plastik berisi sampah milik Galang.
"Bil!" Galang terkejut.
"Ikut gue!" Nabil pergi menuju ke salah satu tong sampah biru di dekat tempat parkir.
Dia mengambil beberapa sampah dari tong sampah itu, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik milik Galang.
"Carikan gue kantong juga, cepat!" Nabil mengambil beberapa sampah lagi.
Dengan cepat Galang mengikuti perintah Nabil. Dia segera mengambil kantong plastik putih kosong di dekat pohon.
"Begini lebih cepat, lo mau keliling sekolah kayak gembel buat ambil sampah?" Nabil memberikan kantong plastik yang sudah terisi penuh kembali ke Galang.
Lalu, dia segera mengisi kantong plastik putih miliknya.
"Kadang-kadang otak Pentium 3 lo bisa juga beroperasi," sindir Galang.
"Makanya tadi gue makan dulu." Nabil selesai dengan sampahnya.
Mereka berdua segera kembali menuju ke kelas.
"Lo yakin ini aman?" Galang merasa gugup.
"Iye, Galang! Ini aman! Sudah, deh! Percaya sama Tante Nabil." Nabil membuka pintu kelas.
Klek!
"Pak, Nabil sudah selesai." Dia memberikan satu kantong plastik putih penuh sampah kepada Pak Mustaqim.
"Saya juga," sahut Galang pelan.
Pak Mustaqim diam sejenak, dia memandang Nabil dan Galang.
"Ya, sudah. Kalian buang di tempat sampah depan kelas. Sehabis itu duduk," ucap Pak Mustaqim.
"Sudah, begitu doang, Pak?" Nabil benar-benar heran.
"Iya, terus mau apa? Hadiah Nobel?" Pak Mustaqim tersenyum.
"Ih, Bapak! Ini sama saja suruh kita buang sampah yang berserakan di sekitar sekolah!" Nabil cemberut, dia kesal dan langsung menarik paksa kantong plastik milik Galang.
"Bil?" Galang bingung.
Nabil segera membuang kedua kantong itu ke tempat sampah depan kelas. Melihat Nabil sudah menyelesaikan tugas miliknya, Galang segera kembali duduk. Tapi, dia belum melihat Ajo dan Anis kembali dari hunting sampah.
Dreet! Dreet!
[Jangan lupa coklat untuk gue, mana?] Pesan dari Dena.
"Itu cewek! Baru bokong gue nyentuh kursi! Langsung main minta coklat!" Galang kesal dalam hati.
[Iye! Nanti!] Balasan dari Galang.
Dena tersenyum kecil setelah membaca pesan Galang. Dia menoleh ke arah Galang sambil memberi kode kedipan satu mata.