"Gue sebenarnya malas harus ke bioskop, tapi apa boleh buat." Galang keluar dari toilet.
Pakaian yang digunakannya sudah berubah, dia menggunakan sweater Hoodie biru keabu-abuan. Kacamata yang digunakan olehnya juga diganti dengan yang dia pakai kemarin. Galang juga sedikit mengubah gaya rambutnya dari yang begitu kaku dan rapi, lalu menjadi lebih sedikit tidak tertata.
Dia kembali menuju masuk ke ruangan studio. Namun saat berada di lorong menuju ke studio, dia mendengar suara panggilan.
"Woy, Lang!" bisik suara yang terdengar seperti seorang wanita.
Galang menoleh ke arah kiri, dia terkejut saat melihat ada Dena yang terlihat seperti sedang mengendap-endap. Galang merasa heran, kenapa Dena ada di samping pintu masuk ruang studio?
"Kenapa di sini? Tidak masuk ke dalam?" Galang menghampiri Dena yang terus melirik ke arah dalam studio.
"Gue kabur, tadi bilang ke Rafa ada pesan dari rumah kalau ada yang sakit," bisik Dena.
"Kenapa bisik-bisik? Bisa bicara biasa saja, 'kan?" pikir Galang.
"Gue takut ketahuan!" pikir Dena.
"Maaf sebelumnya Ibu Dena yang terhormat. Bagaimana caranya orang-orang yang ada di dalam studio bisa mendengar keramaian di luar sini? Mereka sedang sibuk menonton dengan suara dari speaker-speaker yang menggelegar di dalam sana. Intinya, lo tidak perlu mengendap-endap untuk bicara," sindir Galang.
"Oh, gitu? Sorry." Dena akhirnya mengubah sikapnya seperti biasa.
"Ya sudah, kita pergi." Dena jalan meninggalkan Galang di belakang.
"Ke mana? Kita benar ingin kabur? Kasihan si Rafa." Galang berteriak.
"Dia bisa menerimanya dengan ikhlas dan tabah." Dena menarik tangan Galang. Dia terus memandu Galang untuk keluar dari area bioskop.
"Lo sudah berganti pakaian?" tanya Dena.
"Yang lo lihat apa? Gue ganti kostum power ranger?" sindir Galang.
"Ish, marah terus! Gue cuma tanya untuk basa-basi doang," ucap Dena.
"Basa-basi yang tidak menarik," jawab Galang.
Mereka menuju ke eskalator turun.
"Kita mau pulang atau pergi ke tempat lain? Jadwal gue harus jelas, masih banyak jadwal yang harus gue kejar," ungkap Galang.
"Jadwal apa? Memang lo sibuk apa?" tanya Dena
"Sibuk meratapi hidup di kamar sambil main game online." Galang melihat ke bawah dari tepi kiri eskalator. Matanya langsung terbelalak saat melihat betapa tingginya.
"Dari pada lo cuma bertapa di kamar, lebih baik ikut gue cari peralatan make up. Terus kita bisa jajan camilan murah yang enak," pikir Dena.
"Dari mana murahnya? Ini mall! Bukan kios kaki lima di pinggir jalan," ungkap Galang.
Setelah dari eskalator, mereka mulai mengitari lantai tersebut. Dari sisi kiri terlihat banyak sekali restoran-restoran yang menyajikan menu-menu dari Korea, Jepang, Thailand dan Indonesia.
Di kala Dena terus memasang wajah kelaparan saat melihat orang-orang pada makan di restoran, di sepanjang perjalanan Galang begitu kelelahan. Dia tidak pernah menggunakan kakinya untuk berjalan jauh. Langkah terpanjangnya adalah rumah ke minimarket yang ada di tepi jalan raya.
"Kita mau keliling mall?" tanya Galang.
"Iya, gue mau lihat-lihat sampai puas," ungkap Dena.
"Lo tahu berapa luas mall ini? Ini sama saja mengelilingi 8 komplek perumahan yang ditumpuk! Gue seperti lagi lari keliling Gelora Bung Karno." Galang mulai merasakan lelah di kakinya.
"Gue mau lo ikut gue ke salon," pinta Dena.
"Apa? Salon? Sorry, gue anti salon, bye." Galang balik arah dan pergi.
"Sebentar!" Dena menarik sweater Galang. Dia mencoba untuk memohon.
"Please, untuk sekali ini saja," pinta Dena.
Ekspresi wajah Dena berubah layaknya seekor kucing yang sedang merajuk. Dia terus memegangi sweater Galang.
"Lo mau potong rambut?" tanya Galang.
"Iya, please kita ke salon, yah?" pinta Dena.
Dengan rasa terpaksa, Galang akhirnya menyetujui permintaan Dena untuk pergi ke salon. Mereka segera menuju ke salon yang berada di lantai bawah.
"Terima kasih, sudah mau menuruti permintaan gue. Nanti akan gue bayar pakai es krim coklat," ungkap Dena.
"Bayar dua kali lipat! Popcorn gue tadi masih di dalam ruangan studio. Padahal gue lagi mau popcorn," keluh Galang.
"Di bawah juga ada yang jual popcorn, nanti kita beli lagi. Jangan nangis, yah?" ucap Dena.
"Kenapa gue merasa seperti anak kecil yang sedang merajuk ke ibunya?" pikir Galang dalam hati.
Mereka akhirnya sampai di sebuah salon yang cukup terkenal. Dena masuk ke dalam sambil menarik tangan Galang. Dia meminta Galang untuk duduk sebentar di kursi, lalu Dena bicara dengan bagian administrasi salon.
"Mba, permisi. Saya mau makeover teman saya yang di sana. Tolong buat setampan mungkin," pinta Dena.
"Baik, saya persilahkan untuk langsung menuju ke spot potong rambutnya, Mba." Dia memandu Dena dan Galang untuk ke tempat yang kosong.
"Lo duduk, gue tunggu di depan." Dena langsung pergi tanpa menjelaskan kenapa, ada apa, dan mengapa.
"Woy, ini kenapa jadi gue yang potong rambut? Mas, eh, Mba, eh, sis?" tanya Galang yang bingung dengan perawakan si pemotong rambut.
"Aduh Mas, panggil saja Om Bram, tapi kalau malam, panggil saja Bunga," tawa geli dari si Mas Bekti.
"I-iya Om, eh, Bunga," jawab Galang.
Mas Bekti segera memulai treatment kepada Galang. Dimulai dengan mencuci rambut terlebih dahulu. Mas Bekti meminta Galang menggenggam kacamatanya. Dia tidak ingin kacamatanya basah karena air. Mas Bekti segera melakukan keramas pada rambut Galang.
"Semoga setelah selesai Galang tidak membunuh gue," ungkap Dena. Dia tertawa geli.
"Gue seperti tikus percobaan di lab IPA! Dena, awas lo!" Galang sangat kesal.
Setelah selesai dengan keramasnya, Mas Bekti mengeringkan rambut Galang menggunakan hair dryer. Dia segera memulai ritual potong rambutnya.
Saat rambut Galang acak-acakan, Mas Bekti melihat ke arah Galang melalui cermin besar di depan mereka. Dia syok dan terpesona.
"Oh My God! Gemes banget …." Mas Bekti sampai meleleh.
"Hah? Apanya Mas yang gemes?" Galang melihat ekspresi wajah dari Mas Bekti yang senyum-senyum sendiri.
"Siapa lagi! Ya kamu, lah!" Mas Bekti melanjutkan pekerjaannya. Dia mulai potong rambutnya dengan bagian samping kiri terlebih dahulu.
"Ngomong-ngomong, cewek yang ada di depan itu siapa? Pacar?" Mas Bekti menoleh ke arah cermin, dia coba mengintip ekspresi wajah Galang.
"Bukan, cuma teman." Galang sadar bila dirinya sedang dipantau.
"Oh, teman tapi mau?" sindir Mas Bekti.
"Entahlah." Galang hanya membalas dengan wajah datar.
"Sebentar lagi valentine, coba kasih coklat atau bunga. Mungkin dia luluh?" pikir Mas Bekti.
"Mas! Saya nggak mau nembak atau meminta dia jadi pacar." Galang mulai terlihat kesal.
"Tapi kalian cocok. Sayang kalau sampai tidak jadi." Wajah Mas Bekti langsung murung.
"Lebih baik cepat selesaikan potong rambutnya. Saya mau cepat-cepat pulang." Matanya mulai berputar, menunjukkan dia mulai bosan.
"Oke, bos." Mas Bekti agak sedikit jengkel dengan sikap Galang yang cuek, dia langsung mengebut pekerjaannya.
Dreet! Dreet!
[Kak Dena, maaf mengganggu. Ini Rafa, aku mau tanya tentang jawaban Kak Dena bagaimana? Apa kita bisa jadi kekasih?] Pesan masuk dari Rafa.
Dena salah tingkah. Dia merasa bingung ingin menjawab apa. Pesan dari Rafa membuatnya harus memikirkan alasan yang bagus untuk menjawabnya.
"Aduh, mampus gue!" Dena mulai panik.