Langit yang cerah dan matahari pagi memang menjadi penyemangat bagi para siswa SMAN 3 Depok yang terlambat masuk sekolah. Hari ini hari Senin. Mereka harus menikmati hukuman dari guru BP. Berlari mengelilingi lapangan dengan panjang 28 meter dan lebar 15 meter sebanyak tiga kali putaran. Hukuman ini memang selalu membuat kening mereka berpeluh. Bagaimana tidak, kalau ditotal, mereka harus berlari sepanjang 1.260 m2. Guru BP hanya memberi kompensasi lima belas menit keterlambatan. Jika lebih dari itu, maka para siswa yang terlambat, tidak akan diperbolehkan masuk gerbang sekolah.
"Kalian masih beruntung boleh masuk. Coba lihat itu teman-teman kalian yang tidak bisa masuk." Ucap Pak Muharram dengan nada menyemangati para siswa yang berlari mengelilingi lapangan.
Ibu Yeti sedang menerangkan hukum sin cos tan saat Gusti mengetuk pintu kelas dan melangkahkan kakinya masuk ke kelas.
"Kamu hobi lari ya, Gus?" suara Bu Yeti yang khas nada menyelidik dengan lengkingannya, membuat seluruh siswa 12 Ipa 5 mengalihkan pandangannya ke arah Gusti. Gusti hanya tersenyum lebar agar giginya terlihat oleh Bu Yeti. Matanya menyiratkan rasa tidak suka pada pertanyaan guru matematikanya itu. Ia pun mengangguk dan segera menempati kursinya, tiga baris dari meja paling belakang di baris sebelah kanan. Amira terkekeh pelan melihat kejadian itu. Ia pun sedikit membalikkan badannya ke arah Gusti.
"Nyokap 'tuh, Gus. Di dengerin." Amira segera kembali ke posisi duduk awal.
"Sial lu, Ra!" ucap Gusti tersenyum sambil menepuk pelan bahu Amira dengan buku tulisnya. Amira duduk tepat di depan Gusti.
Jam dinding pun terus berjalan. Beberapa siswa sudah mulai menampar pipinya pelan supaya kantuk tidak menyergap mereka. Walaupun satu atau dua orang siswa yang duduk di pojok kanan belakang, sudah terlelap, tetapi yang lainnya masih mengurungkan niat mereka untuk melakukan hal yang sama. Ini Bu Yeti! Bukan Mrs. Hafzah atau Pak Agus! Sekali buat masalah dengannya, maka dijamin, sampai lulus ia pasti akan mengingat nama, nomor absen dan kelas mereka. Satu lagi, ia pasti akan mengadu ke wali kelas dan boom! lihatlah akibatnya saat bagi rapot tiba. Dapat nilai kkm saja sudah sujud syukur. Apalagi kalau bisa dapat lebih dari itu. Tasyakuran tujuh hari tujuh malam, mungkin.
"TAK!" suara tutup spidol itu tepat mengenai kepala Dika. Ia pun kaget dan tergagap. Terbangun dari mimpi di siang bolong dan melotot bagai melihat sundel bolong. Tangannya segera menepak bahu Anggra yang juga terlelap di sampingnya.
"Sampai mana tadi mimpinya, Anggra dan Dika?" Bu Yeti dengan tenang memperhatikan mereka berdua dari meja guru di depan papan tulis. Lemparannya memang sangat jitu. Selalu tepat sasaran. Dika segera mengumpulkan kesadarannya. Anggra yang masih tergagap segera mengusap sisa liur yang ada di mulutnya. Mereka berdua saling tatap. Berusaha membaca pikiran masing-masing dan menganalisa jawaban apa yang patut untuk mereka keluarkan.
"Sin 0 derajat sama dengan berapa?" anak-anak yang lain tidak ada yang menjawab. Mereka semua sudah tahu, untuk siapa pertanyaan itu ditujukan. Tak ada suara lain yang terdengar kecuali suara Bu Yeti. Amira menolehkan kepalanya perlahan ke arah dua teman di bagian belakangnya itu. Ia mencoba merapatkan telunjuk dan jempolnya, sehingga terbentuklah lingkaran, lalu berusaha menunjukkannya dengan hati-hati supaya Bu Yeti tak melihatnya.
"Nol, Bu." Ucap Dika pelan sambil menarik lirikan matanya dari tangan Amira.
"Cos 45 derajat berapa, Anggra?" Anggra tertegun dan segera melirik Amira. Dilihatnya Amira sedang menulis sesuatu di telapak tangannya.
"Setengah, Bu!" teriak Anggra terburu-buru tanpa memperhatikan kembali coretan yang ada di telapak tangan Amira. Amira berdeham, ia pun kembali memamerkan telapak tangannya ke arah Anggra.
"Yakin setengah?" Bu Yeti tersenyum sinis mendengar jawaban Anggra. Anggra menelan ludah. Dika pun berbisik kepadanya,"Setengah akar dua, kocak."
"Setengah akar dua maksud saya, Bu." Anggra merevisi jawabannya. Bu Yeti kembali menyimpulkan senyumnya. Senyum kemenangan karena telah membuat siswanya bingung, tertekan dan malu bukan kepalang.
"Sin 60 derajat berapa Amira?" tatapannya tertuju pada Amira yang sedari tadi berusaha menundukkan wajahnya.
"Setengah akar tiga, Bu." Ucap Amira tenang.
"Tan 90 derajat?" tanyanya lagi pada Amira.
"Tak terhingga." Amira pun tersenyum tipis kepada Bu Yeti.
"Lain kali, kamu tak usah bantu teman-teman yang kerjaannya tidur di kelas." Amira hanya diam tanpa bereaksi sedikitpun.
"Tugas dari buku cetak halaman 104-106 dikerjakan. Hari Kamis, Dika dan Anggra yang akan membahas di papan tulis. Maju ke depan berdua." Suara dengung anak-anak yang saling berbisik pun mulai mengudara, seperti suara lebah. Bel pergantian pelajaran pun berbunyi. Bu Yeti segera mengemas buku dan berdiri. Ketua kelas, Adit, memberi komando kepada semua.
"Memberi salam!"
"Selamat pagi, Bu!" sahut semua siswa kelas dua belas Ipa lima dengan kompak.
"Selamat pagi, anak-anak." Derap sepatu hak berwarna hitam itu perlahan keluar dari kelas untuk menuju ke kelas lainnya. Dengung suara bisikan anak-anak kelas dua belas Ipa lima makin nyaring terdengar.
"Lu berdua kenapa tidur sih? Bikin PR kan, jadinya." ucap Kiki sembari menepuk punggung Anggra dan Dika.
"Asli ngantuk banget gue, Ki. Nonton MU lawan Arsenal kemarin." Anggra menjawab seadanya.
"Eh iya, makasih ya Ra, hampir gue gak tahu jawabannya tadi. Anggra, bilang makasih dulu sama Amira. Lu mah kocak, enggak teliti lihat tangan Amira." Amira tertawa mendengar kawannya berbicara. Anggra dan Dika memang dikenal sebagai pelawak di dalam kelas, begitu pun oleh satu sekolah. Sudah pantaslah kalau Bu Yeti sangat hafal dengan tingkah mereka.
"Thank you ya, Amira cantik." Suara Anggra pun mengundang tawa teman-teman sekelas yang mendengarnya. Ia memang tak berniat memuji Amira. Itu hanya gombalan yang semua teman-temannya sudah sangat hafal dengan itu.
"Selamat pagi, anak-anak." Suara Pak Agus membuat setiap anak yang berkeliaran di kelas, langsung berlari menuju ke kursinya masing-masing. Suara bisikan seperti lebah pun berhenti. Hanya tersisa suara Adit yang memberi komando.
"Memberi salam!"
"Selamat pagi, Pak!" sahut para siswa bersamaan. Jam pelajaran Kimia pun dimulai. Pak Agus dengan teliti mengajarkan materi Larutan Koloid. Ada yang mengangguk paham, adapula yang tak mengangguk sama sekali. Terpaku melihat papan tulis yang penuh dengan rumus dan gambar gelas ukur. Matahari pun perlahan meninggi dan menyinari tepat di ubun-ubun.
**
Bel istirahat berbunyi. Para siswa kelas sepuluh hingga dua belas serempak keluar dari pintu kelasnya masing-masing. Ada yang langsung menyerbu kantin supaya dapat antrian pertama pesan indomie goreng. Ada yang segera menuju masjid sekolah. Tak mau ketinggalan sholat zuhur berjamaah di saf paling depan. Pengecualian terjadi bagi kelas yang sedang mengerjakan ulangan atau kuis mendadak.
Nanda menengok ke arah kelas Amira. Tidak ada tanda-tanda Amira dan teman-teman sekelasnya, keluar kelas. Ia pun berjalan dari kelasnya, 12 Ipa 3, menuju kelas Amira. Kelas mereka memang sejajar posisinya. Ditengoknya ke dalam jendela kelas Amira. Amira sedang fokus mengerjakan soal. Beberapa teman Amira terlihat berbisik kepada Amira, Amira pun membalas bisikannya, kemudian mereka kembali terpaku dengan soal yang ada di papan tulis. Ia pun melihat soal-soal yang tertulis di papan tulis.
"Amira, ajarin materi buat kuisnya ya, nanti." Nanda berbisik pada dirinya sendiri. Ia pun duduk di depan kelas Amira. Duduk di lantai dan menunggu sahabatnya itu keluar kelas. Mereka memang sudah bersahabat sejak kelas satu SMA dan seringkali pulang sekolah bersama menggunakan motor Amira. Nanda akan diturunkan di persimpangan lampu merah untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum berwarna biru ke arah rumahnya. Ia pun mengeluarkan Blackberry Torch tipe 9800 berwarna hitam miliknya. Berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya untuk menghilangkan jenuh karena menunggu kawannya keluar dari kelas.