Chereads / Diary Si Putih Abu-Abu / Chapter 3 - Kok bisa sih, Amira?

Chapter 3 - Kok bisa sih, Amira?

Hari Senin memang selalu ada saja yang terjadi. Asisten rumah tangga yang biasa menjadi membantu di rumah Amira, sedang pulang kampung. Sedangkan, ayah dan ibunya sudah berangkat kerja sejak pukul 04.30 pagi, setelah subuh. Tinggalah Amira dan kakak laki-lakinya yang sudah kuliah, di rumah. Mereka terlelap pulas dalam tidurnya setelah sholat subuh. Tak biasanya Amira tertidur pulas setelah waktu subuh. Biasanya, ia selalu membuka buku pelajarannya dan membaca beberapa materi. Namun, hari ini, memang berbeda dari biasanya.

"Astaghfirullahaladzim!" seru Amira dengan mata terbelalak. Dilihatnya jam dinding di kamarnya. Pukul 07.45.

"Gue kan ada pengambilan nilai kesenian angklung!" Ia terlambat masuk sekolah empat puluh lima menit. Tanpa menunggu lama, ia bergegas mencuci mukanya dan menyahut seragamnya yang lecek tak diseterika. Motor segera ia nyalakan dan melesat bagai roket menuju ke sekolah.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, seperti yang ia duga, pintu gerbang sudah ditutup rapat dan dikunci. Berdirilah disana Pak Muharram, guru BP yang biasa menjaga pintu gerbang agar para siswa yang terlambat masuk, tidak dapat lolos.

"Pak Muh, izinin saya masuk dong, Pak. Enggak apa-apa deh, di rapot saya alpa. Saya ada pengambilan nilai kesenian soalnya pak." Pak Muh, panggilannya, hanya tersenyum tipis seperti penjahat yang memenangkan pertarungan. Amira tetap memberikan pandangan polosnya yang tak berdaya.

"Yasudah, susulan saja kamu." Amira menarik napas panjang. Ia paham kalau hal itu tidak mungkin. Ibu Santi tidak akan memberikan kesempatan pengambilan nilai susulan. Ditambah lagi karena alasan terlambat masuk karena kesiangan.

"Sudah, pulang saja kamu. Besok jangan telat ya." Pak Muh pun kembali ke ruangan BP dekat pintu gerbang. Seakan ia tak melihat Amira yang menunggu di luar gerbang. Amira hanya bisa terpaku dan menempelkan tinjunya di keningnya. Duduk di undak-undakan dekat tempat photocopy depan sekolah. Merapatkan matanya untuk berpikir solusi untuknya. Kelopak matanya terbuka lebar. Pelajaran kesenian ada di jam terakhir. Jadi, ia harus menyelinap masuk saat bel istirahat kedua berbunyi. Biasanya, gerbang memang dibuka pada jam itu. Beberapa murid akan keluar masuk gerbang. Ada yang jajan di warung basecamp di luar sekolah dan terletak di samping sekolah. Ada juga diantara mereka yang sekadar nongkrong dan diam-diam menyundut rokoknya.

Tanpa berlama-lama, Amira pun segera mengirim message kepada Gusti dan Noni, teman sekelasnya, untuk meminta bantuan agar ia bisa masuk gerbang saat jam istirahat kedua tiba. Dilihatnya jam tangan miliknya, pukul 08.30. Satu setengah jam lagi, jam istirahat pertama berbunyi. Ia pun segera menyalakan motornya dan menjauh dari gerbang agar tidak menarik perhatian Pak Muh dan guru BP lainnya yang berjaga di dekat gerbang sekolah. Ia pun segera 'mengungsi' di warung kopi terdekat dari sekolahnya. Memutar otaknya untuk meminimalisasi kemungkinan ia akan ketahuan.

Detik berubah menjadi menit, lalu berkonversi menjadi jam. Sudah pukul 11.30. Amira sudah bersiap berdiri di tembok samping gerbang sekolah. Dekat warung yang menjadi basecamp para siswa laki-laki untuk berkumpul dan menyundut rokoknya. Ia mulai melihat celah terbuka. Babe mulai membuka pintu gerbang itu. Dilihatnya Gusti dan Hafizh berjalan keluar dari gerbang dan menuju ke arahnya.

"Ra, bisa-bisanya lu telat?" suara Gusti bercampur nada lucu sekaligus tak percaya, membuat Hafizh juga tersenyum, begitu juga Amira. "Kalau gue yang telat, baru gak heran. Ini lu, Ra, haha." Timpal Gusti diikuti tawa Hafizh dan Amira.

"Gus, bantuin gue ya. Lu tolong bawa tas gue dulu, ke kelas. Nanti gue nyusul. Jadi biar gak ada yang curiga." Amira pun menjelaskan rencananya. "Si Noni nggak mau bawa tas gue, takut ketahuan katanya." Tambahnya lagi. Gusti pun mengangguk pelan dan menyahut tas Amira yang disodorkan kepadanya. Ia pun berbalik dan kembali menuju gerbang sekolah, diikuti Hafizh. Selang beberapa langkah, Hafizh menghentikkan langkahnya dan kembali ke arah Amira yang duduk di kursi warung.

"Kalau emang nanti lu enggak bisa lewat pintu gerbang depan, masih ada gerbang belakang, Ra." Hafizh tersenyum sambil memamerkan giginya yang rapi. Wajahnya yang teduh dan tenang, memang selalu menjadi alasan para adik kelas untuk mengaguminya. Tak jarang Hafizh diikuti adik kelas yang hanya ingin menyapanya di kantin. Amira sempat terpaku mendengar saran Hafizh. Ia kembali memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

"Oke, makasih sarannya, Fizh. Bantuin gue ya kalau ternyata nanti harus lewat belakang. Nanti gue chat." Amira menatap Hafizh dalam. Ia tahu, kalau memang harus lewat gerbang belakang, itu artinya ia harus memanjat. Dan kalau memanjat, artinya ia butuh bantuan orang lain untuk berjaga. Hafizh pun mengiyakan. Ia segera bergegas mengejar langkah Gusti.

**

Gusti membawa tas Amira dengan santai. Walaupun begitu, ia tetap melihat kondisi sekitar. Khawatir ada guru yang menanyakan alasan ia membawa tas keluar gerbang. Hafizh pun juga ikut waspada. Supaya alibi mereka kuat dan tak ada yang curiga. Mereka pun berjalan melewati pintu gerbang yang terbuka sedikit itu. Beberapa langkah mereka saat melewati ruang BP, aman. Para guru BP sedang menikmati makan siangnya.

"Gusti, buat apa kamu bawa tas keluar?" suara Pak Muh tiba-tiba muncul dari samping kiri mereka. Gusti dan Hafizh menoleh ke arah guru berusia separuh abad itu.

"Oh, iya pak. Tadi habis nyerahin tugas ke ruang guru. Saya males bolak-balik ke kelas, jadi saya bawa aja tasnya keluar. Tadi saya ke warung depan soalnya." Gusti menjawab dengan tenang. Ia bersyukur karena bentuk tas Amira adalah bentuk tas untuk laki-laki. Mudah baginya untuk mengakui tas itu adalah miliknya. Pak Muh hanya mengangguk dan membiarkan mereka kembali ke kelasnya. Gusti pun meneruskan langkahnya hingga sampai di kelasnya, diikuti Hafizh di belakangnya. Aman.

Pak Muh meminta babe untuk tidak membuka pintu gerbang di jam istirahat kedua.

"Hari ini, mereka enggak perlu jajan di luar sekolah." Ucap Pak Muh sambil menepuk gerbang yang terbuka dengan sedikit celahnya. Babe pun melakukan apa yang diminta Pak Muh. Ia pun segera menutup gerbang rapat-rapat.

Bel istirahat kedua berbunyi. Amira tak melepas pengawasannya dari gerbang. Betul dugaan Hafizh. Pintu gerbang tidak dibuka oleh Babe. Ini pasti perintah Pak Muh, sahut Amira dalam hati. Ia pun kembali memutar otak ke plan B. Menuju gerbang belakang. Amira segera mengirimkan pesan kepada Hafizh untuk membantunya memanjat pagar tembok di bagian belakang. Teman-teman sekelasnya tidak mungkin bisa membantunya kala itu, karena saat itu sedang jam pelajaran Bu Yeti.

"Oke, tunggu ya, Ra. Gue nyelesaiin kuis dulu." Begitu isi pesan Hafizh. Hafizh pun segera bergegas ke gerbang belakang sekolah. Dilihatnya Amira yang sedang berdiri di luar pagar. Melihat ke kiri dan kanan, berusaha memastikan situasi aman.

"Gue manjat ya, Fizh. Tolong jagain dari situ." Amira pun segera memanjat perlahan tembok pagar sekolah. Untungnya, tembok itu memiliki bagian yang rendah di salah satu sisinya. Hafizh menunggu di bagian dalam sekolah dengan setia. Tak lama kemudian, Amira sudah berhasil lompat ke bagian dalam. Kemampuan memanjatnya memang tak perlu diragukan.

"Alhamdulillah." Amira mengucap lega atas keberhasilannya memanjat. Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju kelas mereka masing-masing.

"Gimana rasanya telat, Ra?" Hafizh tersenyum dan memecah keheningan antara mereka berdua.

"Gue enggak mau telat lagi sih, pokoknya." Hafizh pun menertawakan Amira.

"Kok lu bisa telat, sih? Tumben banget?" Hafizh penasaran.

"Iya, Fizh. Mbak asisten di rumah gue, lagi pulang kampung. Jadi tadi gue kesiangan bangun, soalnya ayah sama mama udah ke kantor dari pagi." Hafizh hanya mengangguk-angguk mendengar pernyataan Amira. Mereka pun berpisah ke arah yang berbeda.

**

Amira melangkahkan kakinya masuk ke kelas 12 Ipa 5, segera setelah Bu Yeti keluar dari kelasnya. Serempak, semua temannya terperangah dan berdecak kagum pada Amira karena keberaniannya. Amira segera duduk di kursinya, menelungkupkan badannya dan menarik napas panjang. Melepas semua lelah dan kekhawatirannya karena mengendap-endap masuk sekolah.

"Yang bantuin lu siapa, Ra?" Gusti tersenyum sambil menepukkan tangannya pelan.

"Hafizh." Amira masih dengan posisi menelungkupkkan badannya di atas meja. Tak lama kemudian, Bu Santi masuk ke kelas dan menyapa muridnya.

"Selamat siang anak-anak. Hari ini kita pengambilan nilai angklung ya."

"Iya, Bu." Sahut semuanya kompak. Amira hanya tersenyum dan membiarkan semua teman-temannya yang menjawab.