Amira dan para siswa lainnya yang menjadi anggota ekstrakurikuler pecinta alam, berangkat menuju ke Gunung Gede Pangrango. Tepatnya, mereka akan berkemah dari hari Jumat hingga Minggu. Amira sedang berkemas di kamarnya saat handphone-nya berbunyi. Nanda yang menelepon rupanya.
"Kenapa, Nan?" Ia segera mengubah setelan loudspeaker di handphone-nya. Lalu meraih baju yang sudah dilipat dan dimasukkan ke dalam tas ransel berwarna biru tua. Kamarnya terlihat cukup berantakan karena beberapa baju yang tidak jadi ia pilih untuk ia bawa.
"Lu, berangkat jam berapa, Ra, dari sekolah?" suara Nanda terdengar nyaring dan keras.
"Ini mau langsung ke sekolah. Kalau dari sekolah berangkat abis ashar, jam 14.15 pakai bis, Nan. Kenapa?"
"Oke, hati-hati ya. Jangan lupa bawain oleh-oleh." Amira tersenyum mendengar celoteh kawannya itu.
"Iya, baju kotor." terdengar tawa Nanda keras dan lebih nyaring dari suaranya yang sudah nyaring. Mereka pun mengakhiri percakapan singkat mereka dan kembali ke kesibukkan masing-masing.
Amira memang tidak bersama Nanda saat pulang sekolah tadi siang. Hari Jumat, mereka pulang pada pukul 12.00. Para lelaki, seperti biasa, melaksanakan sholat Jumat berjamaah di masjid sekolah. Walaupun beberapa diantaranya, terlihat sedang asik menyundut rokok di basecamp dan bercengkerama satu sama lain. Lupa akan kewajiban mereka dan hanyut dengan kesenangan.
Tas ransel berwarna biru itu sudah penuh dan padat isinya. Nanda mengangkat tasnya dan meletakkannya di ruang tamu. Ia pun melihat ke sekeliling ruangan itu. Ayah dan mamanya pulang malam. Kakaknya juga belum pulang kuliah. Biasanya, Mba Asti yang menemaninya di rumah. Barangkali, juga membantunya berkemas untuk kegiatan kemahnya. Kedua orang tuanya memang selalu sibuk dan seperti kurang memperhatikannya. Nanda pun tahu soal hal ini. Amira menceritakan semua kepada Nanda. Nanda pun menceritakkan semua hal tentang keluarganya pada Amira. Alasan inilah yang membuat mereka menjadi dekat dan semakin akrab. Seolah mengerti posisi masing-masing dan tidak menjudge satu sama lain.
Amira segera memakai tas ransel dan tas selempang kecil berwarna abu-abu. Ia pun sudah rapi dengan celana training dan baju lengan panjang berwarna hitam, dibalut kerudung segiempat berwarna hitam juga. Ia duduk sambil memakai sepatu gunung yang berwarna coklat dan bertali hitam miliknya. Kemudian berangkat menuju ke sekolahnya. Tak lupa ia kunci pintu rumah dan menutup semua jendela yang terbuka. Rutinitas keluarga Amira yang mengharuskan masing-masing anggota keluarga untuk membawa kunci rumah.
Amira pun mempercepat langkahnya keluar dari rumah dan berjalan menuju jalan raya. Rumahnya yang terletak di perumahan, cukup strategis dan banyak dilewati angkutan umum. Beruntungnya, sesampainya di depan perumahannya, angkutan umum bernomor '02' yang menuju ke arah sekolahnya, datang. Ia mengacungkan tangan untuk memberhentikkan mobil itu. Angkutan itu berhenti dan Amira menaikinya. Suara klakson dari motor yang ada di belakang angkutan itu, mewarnai perjalanan Amira menuju ke sekolahnya.
**
Bis yang akan mengangkut para siswa yang akan berkemah di Gunung Gede, sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Tampak Pak Deden, Pak Gunawan, Bu Yuni dan Bu Ina sedang mengatur bagasi bis yang mulai dipenuhi oleh tas punggung para siswanya. Amira tengah memasukkan tas punggung biru miliknya, saat Hafizh juga memasukkan tas miliknya.
"Perlu bantuan, Ra?" Amira menolehkan kepalanya ke arah suara itu. Dilihatnya Hafizh berdiri sambil melihat tasnya yang daritadi tak bisa masuk ke celah-celah kumpulan tas lainnya. Amira mengangguk dan menyodorkan tasnya kepada Hafizh. Hafizh meraihnya dan segera menata tas-tas yang masih berantakkan posisinya. Kemudian perlahan menyisipkan tas milik Amira.
Tanpa sepengetahuan Hafizh, Amira tengah memperhatikannya sedari tadi. Ia pun tak sadar kenapa ia melakukan itu. Wajah Hafizh yang teduh dan kepribadiannya yang dikenal baik oleh teman-temannya, memang benar adanya. Selama ini, Amira tidak menyadari hal itu. Sampai saat dimana Hafizh membantunya masuk ke sekolah dari pintu belakang. Saat melompati pagar, Hafizh sama sekali tidak melirik Amira. Ia bahkan membalikkan badannya dan hanya memastikkan kalau situasi aman. Terbersit di pikiran Amira kalau Hafizh selalu baik kepada semua orang. Ia pun menggelengkan kepalanya dan membangunkan dirinya sendiri dari lamunannya.
"Beres, Ra." Ucap Hafizh mengusapkan kedua telapak tangannya, menandakan semua sudah terkendali.
"Makasih banyak, Fizh." Amira tersenyum, Hafizh menoleh ke arahnya. Mata mereka sempat bertemu. Ia segera menundukkan kepala dan mengangguk. Hafizh pun segera berbalik dan menuju ke arah teman-temannya yang sudah berkumpul di lapangan tengah sekolah mereka.
"Adik kelas kita pada genit-genit banget deh Ra." Kiki, teman sebangku Amira yang juga satu ekstrakurikuler dengannya, tiba-tiba muncul dari belakang dan menghentakkan tasnya yang berat, ke dalam bagasi bis.
"Kenapa emang?" jawab Amira sambil terkekeh pelan.
"Masa formasi duduk maunya deket sama Hafizh, Ra. Jadi pada mau duduk di kursi deket pintu belakang. Hafizh sama cowok-cowok yang lain kan duduk di kursi paling belakang 'tuh." ucap Kiki sambil menata tasnya di atas tas Amira.
"Hafizh kan orangnya emang, baik, terus cool gitu ya, Ra. Jadi, enggak perlu berulah, doi pasti udah bikin klepek-klepek cewek lah ya." Amira tersenyum lebar mendengar celoteh temannya itu. "Awas aja lu, kalau mabok gara-gara duduk di belakang. Biar tahu rasa!" Amira pun tertawa dan segera menepuk bahu Kiki, lalu mengajaknya menuju ke lapangan tengah, berkumpul dengan para peserta kemah lainnya.
**
Pak Gunawan mengambil posisi di depan para peserta kemah. Berdiri di tengah lapangan dan disimak oleh para peserta yang membentuk formasi melingkar. Sebelah kiri adalah bagian peserta perempuan, sebelah kanan untuk para peserta laki-laki.
"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh." Pak Gunawan melantangkan suaranya agar mengecoh anak-anak yang masing berbicara satu sama lain.
"Wa'alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh." Para peserta menjawabnya serempak. Peserta yang tadinya saling berbincang, kemudian saling mencolek dan segera memperbaiki posisi duduknya. Bersiap menyimak briefing dari Pak Gunawan.
"Hari ini, kita akan berangkat mendaki Gunung Gede. Lalu, pemberhentian terakhir kita adalah di pos perkemahan. Jadi, kita tidak mendaki sampai ke puncak." Para peserta pun menyoraki pernyataan Pak Gunawan. Pak Gunawan segera menempelkan telunjuknya ke mulutnya. Meminta supaya para peserta tenang dan kembali kondusif.
"Bapak tahu, kalian penasaran untuk sampai ke puncak. Tetapi, curah hujan yang sedang tidak stabil, akan sangat beresiko pada keamanan kalian saat pendakian." Beberapa siswa masih berbisik satu sama lain, mereka membicarakan guru muda yang berusia genap 35 tahun itu, namun masih lajang.
"Sekarang, silakan berbaris sesuai kelompok yang sudah kita buat saat technical meeting kemarin ya. Kemudian, dengan rapi menuju ke bis bergantian. Silakan Amira dan Gusti dipandu teman-temannya." Pak Gunawan pun mempersilahkan Amira sebagai koordinator lapangan untuk mengatur barisan dan urutan peserta yang akan memasuki bis terlebih dahulu.
Amira dan Gusti segera mengambil alih komando Pak Gunawan. Keduanya segera membagi urutan peserta yang akan memasuki bis terlebih dahulu. Walaupun hanya satu bis yang digunakan, tetapi tetap saja, semua harus diatur dengan baik. Setelah semua peserta sudah menduduki kursi masing-masing. Panitia pun mengabsen ulang semua yang ikut dalam rombongan, kemudian asisten supir segera menutup pintu bis dan memberi tanda kepada supir untuk menjalankan bisnya. Pak Gunawan pun memimpin doa keberangkatan perjalanan. Para peserta pun menyimak dan mengaminkan.
**
Amira dan Kiki duduk di baris kedua dari depan, tepatnya di baris sebelah kanan. Satu baris dengan kursi supir. Bis dengan posisi kursi 2-2 ini, dapat mengangkut sekitar 47 peserta, termasuk para guru yang ada di kursi paling depan. Sementara, Gusti duduk di deret kursi paling belakang bersama Hafizh, Soni dan anak-anak lelaki lainnya yang 'terkenal'. Beberapa anak perempuan yang terdiri dari adik kelas sepuluh dan sebelas, meminta untuk duduk di baris pertama dan kedua dari deret kursi paling belakang. Ya, mereka ingin berdekatan posisi duduknya dengan Hafizh dan anak lelaki lainnya. Peserta laki-laki lainnya tak mau repot untuk memilih posisi duduk. Mereka menurut seperti posisi yang diberikan oleh panitia.
Hafizh sempat menjelajah pandangannya ke seluruh kursi penumpang. Saat dilihatnya posisi Amira, matanya berhenti menjelajah. Senyumnya sempat tersimpul dari bibirnya. Ia pun segera kembali berbincang dengan kawan-kawannya yang membicarakan tentang jarak pendakian mereka yang terbilang pendek. Sementara Kiki masih terlihat kesal dengan sikap adik-adik kelas perempuannya.
"Tuh liat, Ra, si Ella centil banget sama Soni! Ih geleuh!" Amira menyunggingkan senyumnya dan menyenggol lengan temannya itu.
"Udah biarin aja." tutup Amira sambil menyenderkan kepalanya di bantalan kursi. Diliriknya handphone miliknya, ayah dan mama belum meneleponnya sama sekali. Ia pun segera memasukkannya ke dalam tas dan segera berbincang dengan Kiki dan temannya yang duduk di kursi lainnya.