Chereads / Diary Si Putih Abu-Abu / Chapter 8 - Langkah baru dimulai, kencangkan sabuk dan ambil ranselmu!

Chapter 8 - Langkah baru dimulai, kencangkan sabuk dan ambil ranselmu!

Matahari sudah menyapa di ujung timur. Panorama hutan dan embun di dedaunan, menjadi hiburan bagi semua siswa SMAN 3 Depok yang melakukan pendakian di Gunung Gede Pangrango. Amira tak henti hentinya membuat bola matanya bergerak. Langit yang biru cerah membuat siapapun dapat tenang saat melihatnya. Rombongan itu mulai melakukan pendakian tepat pukul 05.00 WIB. Selepas sholat shubuh berjamaah di pos bayangan, mereka memakan sedikit perbekalan masing-masing yang mereka bawa dari rumah, kemudian segera merapikan barisan dan mengabsen anggota dalam kelompoknya masing-masing.

"Tim Charlie, hadir?" suara teriakan Pak Deden dari barisan paling depan, terdengar menggema hingga ke barisan paling belakang.

"Hadir, kapten!" lalu terdengar suara balasan dari barisan paling belakang.

"Tim Beta, aman?" Pak Deden berteriak kembali.

"Siap, Tim Alpha!" terdengar suara Bu Ina, Bu Yuni dan beberapa murid yang ikut menjawab.

"Perkiraan kita akan sampai di pos satu pada pukul setengah delapan. PECINTA ALAM SEMESTA!"

"OPTIMIS DAN PANTANG MENYERAH!" gemuruh suara teriakan semua peserta, membuat burung-burung ikut bersorak dan terbang dari dahan pijakannya. Suasana hutan yang sepi, berubah menjadi ramai sekejap. Hafizh sempat mengabadikan momen itu. Ia dan Gusti bertukar tempat untuk sementara karena Hafizh lebih hafal jalan menuju pos satu.

"Lu sering naik gunung ya, Fizh?" tanya Amira sambil menolehkan kepalanya ke arah Hafizh sambil terus melangkahkan kakinya.

"Enggak sering kok. Paling sama Gusti dan Soni. Gue kan harus minjem tas ransel Soni, hehe." Hafizh menanggapinya dengan santai sambil menundukkan kepalanya. Amira melihatnya dan ia merasa Hafizh memiliki banyak rahasia dan cerita yang ia simpan sendiri.

"Lu kenapa gabung ekskul pecinta alam, Fizh?" suara Amira membuat Hafizh mengangkat kepalanya. Sejenak Hafizh terdiam. Matanya bertemu dengan mata Amira. Ia berpikir dan kemudian melihat langit yang biru dan pepohonan yang membentang hijau.

"Kadang, memang enak ya kalau kita enggak perlu mikirin realita kehidupan kita." suara Hafizh sayup terdengar di telinga Amira. Kepala Amira menoleh lagi. Ia mengernyitkan dahinya. Mereka berdua memang beberapa langkah agak jauh di depan Pak Deden dan para rombongan. Jadi suara mereka pun tidak terdengar. Ditambah lagi suara burung dan hembusan angin yang membuat suara gemerisik pepohonan.

"Maksudnya?" Amira kembali memastikan ketidakpahamannya. Hafizh tersenyum melihat teman satu sekolahnya itu.

"Iya.." Ia melanjutkan berbicara, "Saat pendakian, rasa lelah yang kita rasain, itu jadi semacam pengalih perhatian dari kehidupan nyata yang kita punya." Amira masih terheran-heran. Ia belum paham dengan inti jawaban Hafizh. Hafizh kembali tersenyum.

"Simple-nya gini, Ra. Naik gunung bisa jadi obat bagi orang-orang yang lelah dengan kehidupan duniawi yang sangat melelahkan ini." Hafizh tersenyum puas. Seperti telah memenangkan lotre karena memberikan penjelasan sederhana kepada Amira.

"Berarti lari dari tanggung jawab dong?" Hafizh terkekeh kecil.

"Rehat, lebih tepatnya." Amira kembali mengarahkan pandangannya kepada Hafizh. Matanya seperti laser yang memindai seluruh wajah Hafizh yang mulai berkeringat itu. Ia kemudian tersenyum. Hafizh yang tadinya tersenyum sambil memandang jalan setapak, sontak kaget saat melihat ke arah Amira dan pandangan mereka bertemu lagi.

"Kenapa lu senyum-senyum?" tanya Hafizh heran.

"Enggak apa-apa." Amira pun kembali menapakkan kakinya. Bibirnya mengulaskan senyum tipis, matanya memandang ke arah langit dan jalan tanah di depannya. Hatinya seperti garputala yang dimainkan, bergetar dengan alunan yang teratur.

"Hafizh, Amira, tolong sedikit pelankan langkah kalian! Rombongan ada yang tertinggal di belakang." Suara Pak Deden membuat keduanya menoleh bersamaan. Amira pun segera berlari ke belakang dan menyamakan langkahnya dengan langkah Pak Deden. Hafizh yang masih berdiri terdiam di tempat awal, segera merogoh telepon genggamnya yang bergetar. Ada pesan dari ibunya.

"Bang, kamu pulang kapan? Lusa ibu lembur. Tolong jaga ayah sama adik ya." Mata Hafizh yang awalnya lebar dan bersinar, kemudian berubah sayu dan tak bergairah.

"Iya, rehat, Ra." ucap Hafizh pada dirinya sendiri. Ia segera mengantungkan telepon genggamnya kembali dan segera menuju ke Amira dan rombongan yang ada di belakangnya.

**

Mereka semua pun tiba di pos terakhir. Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Pak Gunawan segera memberi mandat agar mereka mendirikan tenda dan menyusun api unggun. Beruntungnya, langit begitu cerah bahkan hingga sore hari.

"Ini dia pos terakhir. Kita sudah sepakat untuk tidak meneruskan pendakian sampai ke puncak, karena dikhawatirkan besok kepulangan akan terlambat." Para siswa serempak menyoraki guru pembimbing mereka itu.

"Tanggung pak! Saya masih kuat kok kalau sampai puncak." Seru salah satu siswa laki-laki yang sedang memaku tenda oranye milik kelompoknya.

"Iya, apa artinya pendakian tapi enggak sampai puncak?" sahut siswi lainnya yang sedang merangkai kayu bakar di bagian tengah itu.

"Silakan bagi yang ingin komplain. Keputusan tetap seperti di awal ya. Ini adalah pos penutup pendakian kita. Semunya boleh kembali melakukan aktivitasnya. Terima kasih wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh." Pak Gunawan segera berkutat dengan Pak Deden untuk mendirikan tenda. Sementara beberap siswa masih saling berbisik tentang pengumuman Pak Gunawan yang membuat mereka kecewa.

"Enggak seru kalau ga sampai puncak ya, cuy?" Ella berbisik kepada teman beda kelompok yang dekat dengannya.

"Iya, gimana sih pak Gun." Tasya, anggota kelompok dua mengiyakan. Tenda kelompok tiga dan empat memang cukup

"Soalnya kita kan bawa rombongan. Jadi ya langkahnya lebih lambat dan pak Gunawan enggak mau ambil resiko." Sahut salah seorang panitia, Nabil, yang kebetulan melewati mereka dan mendengarkan pembicaraannya. Ella dan Tasya pun terdiam dan kembali meneruskan pekerjaannya.

**

Api unggun memang acara yang tidak akan pernah ada yang bisa menggantikannya. Setelah pendakian selama lebih kurang tiga belas jam, semua rombongan berkumpul, saling berhadapan membentuk lingkaran disinari sorot cahaya dari api yang menyala dan menghangatkan mereka. Seolah segala lelah dan penat selama seharian, langsung hilang seketika saat api itu dinyalakan. Obrolan ringan maupun berat, tidak terasa menjadi pendamping cerita sebelum tidur. Kisah asmara hingga horor bisa membuat mereka diam untuk menyimak cerita.

Pukul 19.30, semua peserta dan para guru pendamping beserta panitia, telah berkumpul dan duduk melingkari api unggun. Beberapa panitia dan peserta ada yang daritadi sudah sibuk menyalakan api. Saat api menyala, sebagian peserta berkata sambil berteriak, "Wow, amazing!" lalu disambut suara tawa oleh para guru dan seluruh peserta lainnya.

"Ayo anak-anakku, semua, segera berkumpul di api unggun. Membentuk lingkaran." Suara Pak Gunawan nyaring seperti toa. Beberapa peserta yang tertinggal, segera berlari dan duduk sekitar api unggun. Ada yang berlari menuju teman dekatnya, walau beda kelompok. Adapula yang berkumpul sesuai kelompoknya. Berbagi cerita tidak penting namun dianggap penting. Walau ada juga cerita yang memang benar-benar penting.

Amira tengah sibuk membereskan barang-barangnya di dalam tenda. Ia segera keluar dari tenda saat mendengar suara nyaring Pak Gunawan. Wajahnya yang bulat dan parasnya yang manis, masih terlihat walau di kegelapan malam.

"DUK!"

"Aduh, Gus, gimana dah?" ucap Amira sedikit menghentak. Bahunya bertabrakan dengan lengan Gusti tepat saat ia keluar dari tenda. Cukup keras.

"Sorry, Ra, hah hah hah." Suara Gusti terengah-engah.

"Kenapa Gus?" Gusti yang tadinya membungkuk, menarik napas dan mengangkat kepalanya ke arah Amira.

"Lu liat Soni, Wira, Pandu, Ella sama Tasya enggak?" Amira menggeleng. Gusti masih terengah dan berusaha mengatur napasnya.

"Perasaan gue, mereka jalan ke puncak, tanpa izin pembimbing sama kita." Gusti menegakkan badannya. Napasnya sudah teratur sekarang. Amira masih terheran dan berpikir tentang apa yang barusan Gusti katakan.

"Serius lu? Tadi sore mereka ada pas gue absen." Ucap Amira sambil mengangkat alisnya. Berusaha memastikan kalau ia benar.

"Ini Hafizh sama gue lagi nyari mereka. Karena tadi Hafizh nguping rencana mereka di balik pohon. Mereka mau naik ke puncak."

"Wah, gawat. Udah jam delapan lagi." Amira menunduk sebentar. Berusaha memikirkan jalan keluar yang tidak membuat para pembimbing dan peserta lainnya khawatir. Sesaat, Gusti dan Amira sama-sama diam. Hafizh yang daritadi juga melakukan pencarian teman-temannya, segera mendatangi tenda Amira. Ia melihat kedua temannya itu memasang raut wajah serius dan tanpa bersuara.

"Ketemu, Fizh?" suara Amira memecahkan keheningan di antara mereka. Hafizh menggeleng.

"Ra, gimana kalau kita cari langsung malam ini? Gue khawatir, mereka semua enggak ada yang hafal jalannya." Hafizh segera bersuara. Amira dan Gusti saling menatap satu sama lain.

"Sama pembimbing juga?" Amira menunjuk ke arah api unggun. Tempat Pak Gunawan, Pak Deden, Bu Yuni dan Bu Ina berdiri. Hafizh mengangguk.

"Tetapi bagaimana kalau mereka panik atau malah juga ingin menuju ke arah puncak?" Amira menambahkan.

"Harus ada panitia dan pembimbing yang menegaskan mereka untuk tetap di pos ini. Hanya boleh ada tim pencari yang berangkat ke puncak." Sahut Gusti sambil menunjuk ke arah Hafizh. Hafizh pun kembali menunjuk ke arah Gusti dan mengangguk. Mengiyakan pendapat Gusti. Amira sejenak terdiam. Matanya kemudian bergantian menatap Hafizh dan Gusti.

"Oke berarti kita koordinasi ya. Gue bakal ngomong ke tim panitia buat bikin tim pencari. Kalian koordinasi ke guru pembimbing untuk masalah ini." Mereka bertiga pun segera berpencar dan menjalankan tugas masing-masing.

**

Tepat pukul 21.30, tim pencari yang terdiri dari sebagian panitia, Amira, Hafizh, Gusti, Kiki, Uci, Dido dan Malik, sudah bersiap dengan membawa peralatan berupa tali, senter, pisau dan peralatan lainnya yang dirasa dibutuhkan. Sementara, Pak Gunawan mendampingi mereka sebagai perwakilan dari guru pembimbing. Sisanya, Pak Deden, Bu Yuni dan Bu Ina, tetap berjaga di pos. Mengawasi peserta lainnya dan menjaga agar peserta yang lain tidak kabur dari pos.

"Sudah lengkap semua?" Pak Gunawan mengencangkan tali tas pinggangnya. Mereka semua mengangguk.

"Bismillah, kita berangkat ke puncak."