Suara gemuruh di balik awan mulai terdengar. Pak Gunawan mendongakkan kepalanya ke atas. Pandangan matanya terhenti sesaat dengan bola mata yang perlahan bergerak ke kiri dan ke kanan. Kondisi cuaca mengkhawatirkan.
"Pak, apakah kita mau lanjut atau istirahat dulu disini?" Amira melihat jam tangannya. Pukul 22.30. Pak Gunawan menoleh ke arahnya. Terdiam sebentar dan berpikir sejenak.
"Kita lanjutkan perjalanan dulu. Tapi kita lihat kondisi nanti. Semoga cuaca mendukung." Mereka semua pun meneruskan perjalanan ke puncak untuk mencari Soni dan siswa lainnya yang 'kabur' ke puncak.
Hafizh, Amira dan Pak Gunawan ada posisi depan, sementara Kiki, Gusti, Uci, Dido dan Malik mengikuti mereka di belakang. Sekilas, Hafizh melihat wajah Amira yang sedikit tertutup jaket berhoodie. Bibirnya sedikit pucar dan bergetar. Dingin memang mulai merasuk di sela-sela tubuh mereka.
"Pak Gun, kita istirahat sebentar pak." Pak Gunawan mengangguk mendengar ucapan Hafizh. Mereka membuka matras berukuran 3x2 meter dan segera duduk tak berjauhan. Gusti menepuk bahu Hafizh dan duduk di sampingnya. Hafizh menenggak sedikit air di botolnya dan menyodorkannya pada Gusti. Gusti pun menerimanya dan menenggak beberapa kali. Amira dan Kiki duduk di bagian sudut matras, tak jauh dari mereka. Cukup untuk Hafizh melihat wajah Amira yang sedang menenggak air minumnya. Cahaya dari senter yang mereka bawa, tak cukup membuat wajah khawatir Hafizh itu terlihat.
"Pak, kira-kira apa mereka sudah sampai di puncak?" Gusti membungkukkan bahunya ke arah Pak Gunawan.
"Kemungkinan belum. Belum tentu. Bisa saja mereka masih dalam perjalanan, itu kalau mereka nekad," Pak Gunawan menarik napas sejenak. "Asumsi saya, mereka istirahat dan buka tenda. Semoga tidak terjadi apa-apa." Gusti juga menghela napas dan mengagguk. Diikuti Uci, Dido dan Malik. Amira menunduk dari tadi. Denyut jantungnya seperti berpindah posisi ke kepalanya. Ia lalu memejamkan matanya dan berdoa agar kepalanya tidak mengamuk.
"Ra, lo engga apa-apa?" Kiki menyentuh bahu temannya itu. Amira mengangguk pelan sambil tersenyum memamerkan giginya. Diam-diam Hafizh mendengar percakapan mereka. Ia tahu Amira sedang berbohong. "Orang sepertinya mana mau terlihat lemah di saat-saat seperti ini. Ia tidak mau merepotkan siapa-siapa ." Pikiran Hafizh seperti berbicara sendiri.
"Pak, kita terusakan perjalanan ini sekar..." suara Amira terdengar tipis diselingi rintik air langit yang menyentuh kulitnya.
"Kita buka tenda disini saja pak. Hujan sudah mulai turun." Hafizh segera bersuara untuk memotong Amira berbicara.
"Hafizh betul, Amira. Kita persiapkan untuk bermalam disini." Gusti, Dido, Malik segera membuka tasnya yang berisi tenda. Amira melirik Hafizh yang sedang berdiri dan memasang mimik wajah kemenangan. Ia menyipitkan matanya dan segera bangkit dari posisinya. Melihat Hafizh yang sedang membantu teman-teman laki-laki lainnya mendirikan tenda.
"Ra, kita buat api unggun aja yuk." Uci segera mendekat ke Kiki dan Amira. Kiki mengangguk. Amira pun sama sambil matanya tak henti memperhatikan Hafizh yang daritadi asyik mendirikan tenda dengan anak lelaki lainnya.
Malam itu, mereka tertidur pulas di dalam tenda. Dua tenda terpisah untuk laki-laki dan perempuan, diterpa rintik hujan yang semakin beradu seperti alunan musik alam. Amira melirik kedua temannya yang sudah tertidur pulas di sleeping bag-nya masing-masing. Namun, tiba-tiba, bibirnya tersenyum, khayalannya melayang saat Hafizh memaksa untuk mendirikan tenda dan pos darurat, tepat disaat ia mengalami pusing yang teramat sangat. Sekarang, hatinya yang berdenyut kencang saat mengingat kejadian itu. Entah musik apalagi yang bermain di dalam hatinya. Ia pun memejamkan matanya dengan senyum yang masih merekah di bibir tebalnya itu.
**
Waktu subuh sudah tiba. Uci membangunkan kedua temannya untuk sholat. Sementara, Pak Gunawan juga membangunkan para lelaki di tendanya. Hafizh menepuk-nepuk pipi Dido yang mulutnya terbuka lebar dengan hiasan pulau liur di pipinya. Malik menepuk kaki Gusti yang melintang ke tubuh Dido. Amira dan Uci keluar dari tenda dan menyalakan api dari sisa kayu bakar semalam untuk memasak air panas. Bersamaan dengan mereka, Hafizh membuka retseleting tenda dan melihat mereka berdua. Matanya dan mata Amira bertemu, sesaat terhenti, lalu kemudian mereka berdua membuyarkan pandangannya ke arah lain.
"Fizh, tolong cariin kayu bakar lagi ya." Hafizh mengangguk mendengar ucapan Uci. Amira menoleh sebentar ke arahnya, kemudian kembali memfokuskan perhatiannya pada teko yang ia dudukkan di kayu-kayu yang sudah dirangkai menjadi perapian sederhana. Hafizh pun segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam hutan. Sinar matahari pagi sudah mulai menyapa dari balik gerombolan awan, tepat pukul 05.30 WIB. Diam-diam, mata Amira tertuju pada punggung teman yang sudah ia kenal selama dua tahun ini. Punggung yang menolongnya untuk memanjat pagar belakang sekolah. Punggung dari seseorang yang humoris namun sebenarnya memiliki sisi misterius. Senyum Amira merekah perlahan mengingat kejadian itu. Pikirannya seolah membisikkan kepada jantungnya untuk berdegup tiap kali melihat Hafizh.
"Kenapa, Ra? Kok senyum-senyum sendiri? Hati-hati, kita lagi di hutan, loh, jangan macam-macam." Amira melebarkan senyumnya hingga terlihat gigi-giginya kepada Uci. Tanpa sepengetahuan mereka, Gusti yang sedang berdiri di belakang tenda, memperhatikan tiap teman-temannya itu. Ia pun menghela napas.
"Oh, gitu." Gusti bergumam kepada dirinya sendiri. Ia pun segera menyusul ke arah Hafizh pergi. Mereka masih punya waktu untuk bersiap kembali melakukan pencarian teman-temannya yang lain.
**
Gusti menepuk bahu sahabat karibnya itu dari belakang.
"Gus." Hafizh kembali melihat jalan yang ia telusuri, sambil mengambil kayu-kayu yang dia temui. Sekilas, Gusti melihat wajah Hafizh dari samping. Ia lalu membantu Hafizh mencari kayu bakar.
"Lu kan banyak punya 'fans' adik kelas ya, Fizh? Enggak ada yang lu suka, gitu? Hehe." Kekeh Gusti sambil menyenggol lengan Hafizh. Sejenak Hafizh terhenti. Dilihatnya teman karibnya itu.
"Atau udah punya pacar kali lu? Tapi engga ngasih tahu gue." Gusti kembali menggoda Hafizh.
Hafizh tersenyum tipis dengan kepala tertunduk,"Belum kepikiran kesitu gue."
"Pacaran mah enggak harus serius, Fizh." Gusti tersenyum sambil menepuk bahu Hafizh.
"Kalau engga serius, ya engga 'usah pacaran, Gus." Hafizh pun membalas menepuk bahu Gusti. Gusti terdiam.
"Suatu hubungan itu, kuncinya ya komitmen," Hafizh menghentikkan langkahnya, lalu duduk di atas akar pepohonan yang muncul di atas tanah. Gusti melakukan hal yang sama. Ia duduk di samping Hafizh.
"Bahkan komitmen itu kunci suatu hubungan, menurut gue. Lebih dari rasa cinta." Hafizh menarik napas sambil merapikan kayu-kayu yang ia letakkan di sampingnya.
"Melebihi cinta?" suara Gusti terdengar kaget. Hafizh mengangguk.
"Kalau bukan karena komitmen, nyokap gue mungkin udah ninggalin bokap dari dulu." Gusti menyimak Hafizh. Ia melayangkan pandangannya ke pepohonan.
"Iya sih. Tapi belum 'sampe analoginya ke gue, Fizh." Hafizh tersenyum.
"Komitmen itu, jadi landasan dalam hubungan, Gus. Mau pasangan lu sejelek atau sebagus apapun, kalo udah komitmen, semuanya beres. Enggak ada tuh trust issue atau semacamnya." Gusti menatap Hafizh dalam-dalam.
"Dewasa juga lu, Fizh, haha. Engga nyangka gue." Mereka pun kembali melanjutkan langkah sambil mengambil beberapa bongkah kayu yang merek lewati.