Chereads / Diary Si Putih Abu-Abu / Chapter 2 - Amira dan Nanda, bagai pinang dibelah kapak.

Chapter 2 - Amira dan Nanda, bagai pinang dibelah kapak.

Nanda segera menggandeng lengan Amira. Amira sudah menggengam satu plastik berisi gorengan di tangan kiri dan es milo di tangan kanan. Nanda memang ingin berbagi cerita dengan sahabatnya itu.

"Ngapain buru-buru sih, Nda?" tanya Amira sembari menahan cengkraman tangannya agar plastik gorengannya tidak jatuh.

"Lu kelamaan sih tadi kuisnya sih. Bentar lagi mau bel masuk 'kan. Jamnya Bu Yeti soalnya di kelas gue." Amira tersenyum melihat wajah temannya itu. Terlihat garis-garis kekhawatiran terhadap pelajaran Bu Yeti, ya, matematika.

"Sini sini, gue jelasin yang tadi." Mereka segera duduk di satu sisi kursi kantin. Amira meletakkan gorengan di atas meja di depannya. Nanda pun mendekatkan badannya pada Amira. Amira pun segera menjelaskan tabel hubungan sin cos tan pada Nanda. Terkadang Nanda mengangguk, tetapi tak jarang ia hanya mengernyitkan dahi dan menggeleng sambil berkata, "Angka itu dapat darimana?" Amira menghela napas panjang kemudian mengulangi kembali penjelasannya. Sejurus kemudian, Nanda pun tersenyum sambil menganggukkan kepalanya keras. Menandakan ia sudah paham dengan penjelasan Amira

Mereka berdua terus berbincang tanpa menghiraukan para siswa lain di sekelilingnya. Tanpa mereka sadari, rupanya Gusti dan dua temannya, Hafizh dan Soni, menempati kursi di seberang kursi mereka sedari tadi. Gusti, Soni dan Hafizh pun menyimak perbincangan antara Nanda dan Amira.

"Ooh gitu, Ra." Sahut Gusti tiba-tiba menimpali. Amira dan Nanda menoleh bersamaan ke arah suara Gusti. Mereka pun tertawa serempak. Hafizh, Soni dan Gusti pun nimbrung dengan Amira dan Nanda. Membicarakan tentang Bu Yeti dan hobinya melempar spidol atau tutup spidolnya saja. Lalu Pak Agus yang sering memberi tugas dadakan. Walaupun ia adalah orang yang baik, tapi tetap saja, namanya kuis ya pasti membuat jantung berdegup cepat dan peluh menutupi dahi dan punggung. Di tengah perbincangan mereka, tak sengaja, pandangan Nanda dan Gusti bertemu. Nanda pun segera melempar pandangannya ke arah lain. Begitu pula Gusti.

Menit terus berjalan dan bel masuk pun terdengar seantero sekolah. Para siswa segera berlarian menuju ke kelasnya masing-masing. Soni dan Hafizh menuju ke kelas mereka, 12 Ips 2. Sementara Nanda berjalan beriringan dengan Amira dan Gusti karena menuju arah yang sama. Entah angin apa yang membuat Soni kembali menolehkan kepalanya kearah Amira yang terlihat sedang berbincang sambil berjalan dengan Gusti dan Nanda.

"Son, ayo!" Hafizh menepuk bahu Soni yang terpaku. Soni pun mengangguk pelan.

**

Amira sedang berdiri di depan kelasnya. Bel pulang sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Teman-teman sekelasnya banyak yang sudah pulang duluan. Hanya tersisa beberapa siswa di dalam kelas dan di luar kelas, termasuk dirinya. Ia mengetik message kepada Nanda untuk mengajaknya pulang bersama. Sejurus kemudian, Nanda membalas pesan Amira.

"Amira, gue ada kumpul padus dulu. Persiapan buat lomba bulan. Maaf lupa kabarin." Pesan singkat itu membuat Amira menghela napas panjang.

"Gini nih kalau punya teman artis." Bisik Amira pada diri sendiri. Ia pun berjalan sendiri menuju ke parkiran motor. Kesibukkan Amira dan Nanda memang sangat berbeda. Amira memilih ekstrakurikuler pecinta alam sedangkan Nanda memilih paduan suara. Mereka berdua juga memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Amira lebih cuek dan tomboy. Walaupun ia dan Nanda mengenakan jilbab, namun sifat mereka sangat jelas terlihat berbeda. Mulai dari cara jalan hingga cara mereka berpakaian. Amira selalu menggunakan sepatu tali dan tas berwarna gelap dengan model untuk lelaki. Sedangkan, Nanda, selalu memakai sepatu bermodel seperti sepatu balet atau pantofel dan tas berwarna cerah.

Sesampainya di parkiran motor, Amira segera mengambil helmnya yang diletakkan di rak kayu di dalam pos satpam, tempat Babe biasa menata beberapa helm milik para siswa yang ia kenal. Amira salah satunya. Babe, satpam sekolah yang sudah bekerja selama lima belas tahun, selalu hafal dengan anak-anak yang senantiasa baik dan menyapanya. Walau ia tak pernah mengharap uang parkir, tetapi seringkali Amira serta para siswa yang baik padanya, memberikannya uang parkir.

"Be, makasih ya. Sering-sering aja, hehe." Ujar Amira sambil memberikan uang pecahan dua ribu kepada Babe. Babe hanya tertawa dan menempelkan telapak tangan kanannya ke atas alisnya. Layaknya seorang pemimpin upacara yang sedang hormat kepada Pembina upacara. Amira pun bergegas menuju motornya. Rupanya, Hafizh, Soni dan tiga anak laki-laki lainnya, sedang berbincang dengan posisi sejajar seperti anggota geng motor yang sedang berdiskusi. Soni dan satu anak lelaki duduk di motor milik Soni. Lalu Hafizh dan satu temannya menyandarkan kakinya di motor biru yang parkir tepat di samping kanan motor Soni. Sementara satu anak lelaki lainnya, duduk di motor oranye, motor milik Amira. Motor itu ada di samping kiri motor Soni.

"Seru nih obrolannya?" ucap Amira tersenyum sambil mengeluarkan kunci motor miliknya dari dalam tas. Soni yang melihat Amira, segera tersenyum dan menggerakkan kepalanya kepada temannya yang duduk di motor Amira. Memberinya sinyal supaya ia beranjak dari motor tersebut.

"Sendirian, Ra?" Amira mengangguk pelan menjawab pertanyaaan Soni.

"Eh iya, lu jadi panitia camping ya, Ra? Dua minggu lagi kan ya?" Tanya Soni memastikn.

"Bukannya, bulan depan ya?" Amira membalikkan pertanyaan kepada Soni sambil mengernyitkan dahi. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja Soni katakan.

"Bulan depan 'kan emang dua minggu lagi, Amira. Haha." Soni terkekeh diikuti dua temannya yang ikut tersenyum karena jawaban Amira. Amira pun menertawakan dirinya sendiri karena jawabannya.

"Iya, gue sama Hafizh jadi panitia." Timpal Amira lagi. Hafizh hanya menyimak percakapan mereka sambil sesekali tersenyum. Jika dibandingkan anak-anak pecinta alam lainnya, Hafizh memang termasuk pendiam dan tak banyak tingkah.

"Duluan ya." Soni pun melambaikan tangan kepada Amira. Diikuti teman-temannya yang mengangguk pelan. Amira segera motornya dan menyalakan mesin motor matic-nya. Ia pun berlalu begitu cepatnya. Mereka pun kembali melanjutkan obrolan mereka. Namun, diam-diam, pandangan Hafizh tak lepas dari arah motor Amira yang menjauh hingga hilang dari pandangannya.

**

Hafizh dan Soni berjalan beriringan dengan membawa motor mereka masing-masing. Hafizh harus singgah sebentar di rumah Soni untuk mengambil beberapa perlengkapan camping seperti tenda, tas punggung dan perlengkapan lainnya. Soni memang anak orang kaya. Ayahnya adalah manajer keuangan di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Jadi wajar, jika ia sangat mudah untuk membeli perlengkapan camping dan naik gunung. Sementara Hafizh, ibunya harus bekerja untuk menyekolahkan ia dan adik perempuannya. Ayahnya menderita stroke selama setahun belakangan. Saat ia menginjak kelas dua SMA semester dua.

"Gue pinjem dulu ya, Son." Soni mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Hafizh.

"Santai, Fizh. Pakai dulu aja. Gue kan punya dua." Hafizh segera memasukkan tas punggung dan sleeping bag ke dalam kantung plastik besar yang sudah Soni berikan kepadanya.

"Fizh…" Soni berhenti berucap. Hafizh yang sudah terlanjur menolehkan kepala kepadanya, kemudian menatap Soni heran.

"Kenapa lu?" hafizh pun bertanya kepada Soni.

"Amira, lucu juga ya." Soni memandang ke arah langit-langit kamarnya. Seolah melihat ada bintang di sana. Mendengar hal itu, Hafizh menghentikkan kegiatannya sesaat. Ia sedikit menghela napas tanpa Soni ketahui.

"Emang dia pelawak? Ada ada aja, lu." Hafizh sedikit terkekeh sembari menyenggol bahu kawannya itu. Soni pun ikut tertawa mendengar kalimat Hafizh.

"Bukan itu maksud gue." Jawab Soni menkonfirmasi.

"Terus?" tanya Hafizh penasaran sambil meneruskan kembali kegiatannya mengemas barang. Walau ia tahu apa maksud perkataan Soni.

"Enggak, enggak apa-apa. Enggak jadi."

"Yeee, gak jelas, lu." Hafizh pun segera pamit pulang. Di kamarnya, Soni tak henti menatap langit-langit kamarnya dengan senyum yang merekah. Terkadang ia menutup matanya dengan telapak tangannya. Lalu, sejurus kemudian, ia tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Kacau nih, gue." Ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Seperti seseorang yang tak percaya kalau ia jadi pemenang lotre.