Di ruangan itu, dia meratapi nasib percintaan yang tak pernah berjalan mulus. Ditinggal teman dekat dalam acara kencan buta. Disia-siakan pria yang sejak dulu ia suka, hingga mengagumi lawan jenis dari kejauhan. Semua itu sudah dilewatkan.
Namun, meski begitu nasib masih tak berpihak padanya. Mungkin alam semesta tak mengizinkan dia jatuh cinta atau dicintai seseorang.
Setiap kali ada yang menyukainya, dia tak pernah mau membalas mereka. Justru sebaliknya, jika ada salah satu pria yang ia taksir, orang itu malah memilih untuk pergi.
Sungguh na'as sekali nasib cintanya yang selalu bertepuk sebelah tangan.
Dia adalah Sanjana Malhotra atau biasa disapa Sanjana. Gadis turunan Melayu India. Ayahnya bernama Suraj Malhotra, sedangkan Ibunya bernama Siti Fatima.
Mereka berasal dari keluarga terpandang. Suraj adalah pendiri dari perusahaan Tekstil Group. Dia mengekspor berbagai jenis bahan baku berupa kain yang diambil dari berbagai macam negara. Dua diantaranya adalah Paris dan India.
Diusianya yang telah memasuki paruh baya, Suraj menginginkan Putri satu-satunya, yakni Sanjana Malhotra untuk menggantikan dirinya sebagai CEO perusahaan.
"Berhentilah menangisi kisah asmaramu yang menyedihkan itu, atau kau akan selamanya terjebak dalam keterpurukan." Untuk kesekian kalinya Suraj menasihati Sanjana yang begitu keras kepala.
Sudah berulang kali pria itu memperingatinya, tetapi Sanjana tak pernah mau menuruti.
"Ayah, tidakkah Ayah merasa, bahwa aku ini adalah gadis yang cantik?" Alih-alih menanggapi pernyataan Suraj, Sanjana justru meminta Ayahnya itu untuk menilai dirinya.
"Apa kau meminta Ayah untuk menilaimu?" tanya Suraj dengan tatapan tak percaya.
"Em," sahut Sanjana antusias. Berharap Ayahnya itu mau menilai dirinya setinggi langit.
"Kau sangat jelek!" Namun, ternyata yang terjadi sungguh diluar ekspektasi. Suraj menolak mengatakan dirinya cantik.
"Hum, jika Ayahku saja mengatakan aku jelek. Lalu bagaimana dengan pria lain?" desis Sanjana putus asa.
Sepertinya wanita itu kehabisan cara untuk menemukan pria yang bisa diajak kencan.
"Hae, anakku." Merasa iba pada Sanjana, Suraj pun duduk di sisi Putri semata wayangnya itu sembari mengelus kepalanya dengan penuh cinta.
"Tidak masalah dunia berkata apa. Kau tetap Putri Ayah yang paling cantik di mata kami. Kau mungkin tak sempurnah seperti kebanyakan wanita di luar sana. Namun, kau harus tahu satu hal, bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, dan hal itu tidak bisa disandingkan dengan apapun yang ada di dunia ini.
Jika kau menilai seseorang dari fisiknya saja, maka yang lebih cantik dan tampan sangat banyak, tapi kecantikan serta ketampanan itu bisa musna dimakan usia. Namun, jika kau menilai seseorang berdasarkan hatinya, maka kau akan menemukan kedamaian untuk selamanya. Karena pada dasarnya, dalam hati itu tempat lahirnya cinta. Apa kau mengerti?"
Begitu banyak Suraj menasihati Sanjana, hingga gadis berusia dua puluh sembilan tahun itu memahami satu hal, bahwa ia harus menilai seseorang dari ketulusan hatinya, bukan dari fisik yang dimiliki.
"Ayah, apakah dulu saat pertama kali Ibu melihat Ayah, Ibu langsung jatuh cinta?" tanya Sanjana setelah meresapi nasihat Suraj yang begitu sarat akan makna.
"Dulu Ayahmu yang mengejar-ngejar Ibu!" seloroh Fatima yang baru saja datang dari dapur dengan membawa tiga cangkir teh di atas nampan.
"Bukan sebaliknya!" imbuh wanita paruh baya yang masih cantik meski tak lagi muda itu.
"Jadi, dulu Ayah yang mengejar Ibu? tapi kenapa kata Ayah kalau Ibu yang mengejarnya?" sangsi Sanjana seraya menatap Suraj penuh selidik.
Selama ini Suraj kerap kali bercerita pada Sanjana, bahwa Fatima lah yang mengejar dirinya dan mengatakan cinta lebih dulu.
Namun, ternyata usut punya usut Suraj lah yang mengejar-ngejar istrinya itu lebih dulu, hingga akhirnya memutuskan menikah dan memiliki satu orang anak, yakni Sanjana Malhotra.
"Hehe, anu. Itu tidak seperti yang kau bayangkan, Nak." Terlihat seperti Suraj tengah berusaha membela diri dari tatapan intimidasi Putri sekaligus Istrinya itu.
"Kenapa kalian berdua menatapku seperti itu?" Kemudian Suraj semakin waspada pada dua orang kedayangannya tersebut. Sebab, kali ini mereka telah meremehkannya.
"Ah, sudahlah. Pokoknya kau harus berhenti bermain-main dengan para pria tidak jelas itu! kau harus masuk ke perusahaan, titik!" Lalu sedetik kemudian Suraj mengalihkan pembicaraan dengan menekan Sanjana agar tak lagi bermain-main dengan para pria. Dia harus lebih memperhatikan nasib perusahaan yang telah lama di bangun oleh Ayahnya.
"Baiklah-baiklah, aku akan mempertimbangkan itu kalau nanti sudah dapat pacar," sahut Sanjana seraya berlari meninggalkan Suraj dan Fatima.
"Da da Ayah, Ibu. Sampai ketemu nanti malam." Lalu kemudian gadis itu menghilang dari balik pintu rumah mereka.
"He, berhenti! kau mau ke mana?" Suraj berusaha untuk mencegah Sanjana, tetapi gadis keras kepala itu telah pergi dengan mengendarai mobilnya.
"Anak nakal itu. Aku tidak percaya dia adalah putriku," imbuh Suraj sembari duduk di sisi Fatima.
"Putri kita," seloroh Fatima, seakan hendak meluruskan, bahwa Sanjana bukan hanya Putri Suraj, melainkan mereka berdua.
"Iya, Putri kita." Dan Suraj pun hanya bisa pasrah pada dua orang wanita yang ia cintai itu.
"Kau jangan terlalu memaksakan diri untuk membawa Sanjana ke dalam perusahaan. Pelan-pelan saja. Lambat laun dia akan mengerti dengan sendirinya. Bukankah kau sendiri tahu, bahwa segala sesuatunya itu pasti akan ada masanya.
Anggap saja saat ini Sanjana masih bersenang-senang dalam menikmati masa mudanya," papar Fatima panjang lebar.
"Masa muda kau bilang? Anak kita itu sudah berusia dua puluh sembilan tahun. Bukan lagi saatnya untuk bersenang-senang. Sekarang adalah memikirkan masa depan," sahut Suraj, mengemukakan pendapatnya yang bertentangan dengan sang istri.
Untuk masalah yang satu ini mereka beda opini. Fatima yang lebih memilih membiarkan Sanjana menikmati hidupnya sampai ia bosan dengan sendirinya. Sedangkan Suraj lebih mengutamakan masa depan Putrinya itu.
"Sayang, jika aku memaksamu untuk melakukan hal yang tidak disukai, apakah kau akan mau?" tanya Fatima kemudian.
"Apa hubungannya? tentu saja aku akan menolak," tegas Suraj.
"Nah, sama seperti kamu, begitulah Sanjana. Dia tidak mau melakukan hal yang tak disukai sampai dia sendiri yang menginginkannya." Tanpa ia sadari, bahwa Fatima menjebaknya dengan pertanyaan.
Untuk sesaat Suraj terdiam, memikirkan maksud dari ucapan istrinya itu.
"Baiklah, aku mengerti maksudmu sekarang. Aku tidak akan memaksa Sanjana lagi untuk meneruskan perusahaan kita. Biarkan dia melakukan apa saja yang disukai, asal masih dalam batas wajar." Dan akhirnya Suraj pun menyerah dengan paradigmanya.
Impian yang selama bertahun-tahun ini ia pendam, akhirnya Suraj kubur dalam-dalam. Baginya kebahagiaan Sanjana lah yang lebih penting. Persoalan masa depan, sudah ada yang atur.
Tuhan tidak pernah tidur. Selama mau berusaha, maka segalanya akan lebih mudah.
**
Sementara itu di jalanan, Sanjana masih terus mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Namun, sambil memainkan ponsel miliknya, hingga tanpa sadar wanita itu menabrak belakang mobil yang parkir di tepi jalan.
Brak!
Dan terjadilah sedikit kecelakaan.
"Mampus aku. Aku telah menabrak mobil orang." Sehingga Sanjana ketakutan di dalam mobilnya.