Pagi hari yang cerah, Sumiati mendandani Al segagah mungkin. Memakaikan topi serta selempang sebagai penunjang penampilan bocah itu.
Sudah sebulan mereka hidup bersama. Namun, Al masih tetap sama. Tak mau menyebut Sumiati sebagai Ibunya.
Bagi Al Ibunya hanyalah Soraya seorang. Hal itu tak akan tergantikan meski Sumiati mencucinya dengan air garam sekalipun.
"Anak Ibu semakin tampan saja," sanjung Sumiati begitu usai mendadani Al.
"Tersenyum dong, Sayang," imbuh wanita itu. Memaksa Al untuk tersenyum.
"Nah, gitu dong." Dan Al hanya bisa pasrah menuruti apa kata pengasuhnya.
Dalam hati Al berdoa, agar dipertemukan dengan seorang penyelamat.
"Ayo, kita pergi! Udaranya semakin segar hari ini," seru Sumiati. Mengajak Al jalan-jalan. Mengelilingi desa yang dulu ia tempati bersama Sang Nenek.
Sumiati menggenggam tangan Al. Seolah takut anak itu akan terlepas dari pegangannya.
Di sawah itu, Al memikirkan rencana untuk lari. Agar ia bisa terlepas dari kegilaan Sumiati.
"Ibu, Al mau pipis," kata Al. Berpura-pura hendak membuang hajat.
Sementara Sumiati yang mendegar ia dipanggil Ibu oleh Al, matanya pun berbinar haru.
"Kau menyebutku apa tadi?" tanya Sumiati antusias. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca saking terharunya dia.
Sumiati duduk di depan Al, guna mensejajarkan diri bersama bocah tersebut.
"Ibu, Al ingin pipis," ucap Al sekali lagi. Sebagai bentuk ketegasan, bahwa ia mulai menerima Sumiati sebagai Ibunya. Padahal itu hanyalah kebohongan belaka. Agar bocah itu dapat lari dari kungkungan Sumiati.
"Anakku sayang. Terimakasih sudah mau memanggilku Ibu." Sumiati pun memeluk Al dengan penuh kasih sayang.
Kebahagiaan itu akhirnya datang saat Al dengan suka rela mau menyebutnya Ibu. Maka sempurnah lah hidup Sumiati saat status seorang Ibu seolah ia dapatkan. Tanpa Sumiati sadari, itu hanyalah bagian dari trik Al untuk mengalihkan perhatiannya.
Al telah berencana untuk kabur begitu ia menemukan tempat untuk membuang hajat.
"Baiklah, ayo kita pulang!" seru Sumiati. Mengajak Al untuk pulang dan membuang hajat di rumah saja.
"Tidak, Bu. Al sudah tidak tahan lagi. Sebaiknya kita cari saja tempat di sini utuk pipis." Namun, Al menolak ajakan Sumiati dengan dalih, bahwa ia sudah tak tahan lagi untuk pipis.
"Baiklah, kita akan ke ujung sawah. Di sana ada toilet umum." Sumiati pun menyetujui ucapan Al yang sebenarnya berniat mengerjai dirinya.
Kemudian mereka pun pergi ke ujung sawah yang letaknya tak jauh dari jalan utama. Di sana banyak kendaraan yang berlalu-lalang.
"Ibu, tunggulah di luar. Al, malu." Bocah itu berakting seolah merasa malu dilihat oleh Sumiati saat hendak membuang hajat kecil itu.
"Anak ini benar-benar menggemaskan." Sumiati pun hanya menganggap itu sebagian dari sifat alami seorang anak kecil yang sangat polos.
"Baiklah, Ibu akan tunggu di luar, ya. Kau sudah tahu cara untuk membersihkan diri, bukan?" imbuh Sumiati tanpa curiga sama sekali.
"Tentu saja," sahut Al penuh percaya diri.
"Anak pintar." Sumiati pun semakin gemas pada Al yang terlihat jujur.
Kemudian Sumiati pun menutup pintu kamar mandi. Menunggu Al di luaran sembari menikmati indahnya pemandangan.
Di dalam kamar mandi, Al memikirkan cara untuk bisa lari. Namun, ternyata di kamar mandi itu tak ada lubang yang bisa dijadikan acuan untuk menemukan jalan pintas.
"Astaga, aku harus bagaimana ini," gumam Al mulai frustasi.
Sudah tujuh menit berlalu, dan dia masih belum menemukan cara untuk kabur. Al masih tetap berada di dalam kamar mandi sembari menggigit kukunya yang pendek.
Namun, ternyata nasib baik menyertai bocah itu. Ada seseorang yang datang menghampiri kamar mandi tersebut.
"Nyonya, apakah ada orang di dalam?" tanya orang itu kepada Sumiati yang berjenis kelamim perempuan.
"Iya. Anak saya sedang pipis," jawab Sumiati.
Sementara Al yang mendengar suara orang asing di luar, merasa seperti kedatangan sang penyelamat.
Bagai mendapat angin segar, Al pun tersenyum haru.
"Tuhan, terimakasih," bisik Al pada dirinya sendiri.
Tak dapat dipungkiri, bahwa hatinya bahagia saat orang asing itu tiba-tiba datang. Mungkin Tuhan merasa kasihan padanya. Sehingga mengirim seseorang untuk menyelamatkan Almukaram.
Brak!
"Tante, tolong saya. Dia menculikku!" seru Al. Membuka pintu sekuat tenaga. Lalu memberitahu wanita asing itu, bahwa dia sedang diculik.
Namun, wanita itu masih belum sepenuhnya paham perkataan Almukaram.
"Apa yang kau katakan?" ucap Sumiati mulai panik. Keringat dingin pun mulai bercucuran. Namun, wanita itu terlalu licik untuk dikelabui.
"Ayo, Sayang. Kita pergi dari sini," imbuh Sumiati Kemudian. Menarik paksa tangan Al agar mau mengikutinya.
Dalam hati Sumiati sangat marah, ia hendak menyiksa Al begitu sampai di rumah mereka.
"Tidak Tante! Saya bukan anaknya. Saya adalah korban dari penculikan," kata Al sekali lagi. Mencoba membuat wanita asing itu mengerti, bahwa dia bukanlah Anak Sumiati.
"Maaf, Nona. Anak saya mengalami gangguan jiwa. Itulah sebabnya dia selalu berhalusinasi seperti ini," kilah Sumiati. Membohongi wanita itu dengan mengatakan, bahwa Al Anak yang berkelainan.
"Ayo, Sayang. Kita pergi dari sini!" Kemudian Sumiati membawa paksa Al dari toilet umum itu.
"Tunggu!" Namun, rupanya wanita itu mencegah langkah Sumiati.
"Ada apa, Nona? Apakah anda membutuhkan sesuatu?" Dan Sumiati pun menghentikan langkahnya. Namun, ia mulai waspada. Takut wanita asing itu mengetahui kejahatannya.
"Maafkan saya, Nyonya. Tapi bisakah anda menunjukkan jalan mana yang menuju kota? Pasalnya jalan itu bercabang tiga. Saya masih baru di sini," ucap wanita asing yang masih belum diketahui namanya itu.
"Dan bisakah anda menjelaskan padaku secara detil gambaran jalanan itu? saya takut tersesat," imbuh wanita itu.
Sumiati pun bernafas lega. Sebab, rupanya wanita itu tak menaruh curiga padanya. Padahal yang sebenarnya adalah wanita dengan mata indah itu telah mengetahui siapa sebenarnya Sumiati.
Dia bukanlah orang tua anak yang saat ini ia genggam tanganya dengan erat, hingga menyebabkan memar di sekitar pergelangan tangan bocah malang itu.
"Ah, iya. Jalan yang bagian kiri itu adalah jalan menuju kota. Kau bisa menemukan perkampungan kumuh di sana. Setelah itu kau memasuki area kota yang jaraknya sekitar tujuh puluh kilometer dari jembatan putih yang menghubungkan desa pet--"
Sumiati masih terus menjelaskan, tanpa ia sadar, bahwa Al telah di bawah pergi oleh wanita itu.
"Hei, Nona!" Sumiati pun mulai menyadari, bahwa ia telah dikelabui oleh orang itu.
"Ayo cepat kita pergi dari sini, Nak. Atau orang itu akan menculikmu lagi. Gunakan sabuk pengaman ini dengan benar," kata wanita itu.
Lalu kemudian dia menarik pedal gas untuk melajukan mobilnya.
"Berhenti!" Namun, Sumiati menghentikan mereka dengan memberanikan diri menadah dirinya di depan mobil. Tak ayal membuat wanita itu menarik pedal rem mobilnya, hingga Al sedikit terpelanting ke depan.
"Halo, kantor polisi. Di sini telah terjadi penculikan. Kami sedang, aakk--" Wanita itu berinisiatif untuk menghubungi polisi sebelum Sumiati menghampiri mereka. Namun, Sumiati keburu memecahkan kaca mobil wanita tersebut. Sehingga membuat wanita dengan rambut panjang itu menghentikan pembicaraannya dengan salah satu anggota polisi yang berhasil ia hubungi tadi. Sedangkan Al semakin ketakutan.
"Berikan Anakku! Atau kau akan aku bunuh!" seru Sumiati sungguh-sungguh.
"Tidak! Kau wanita gila," balas wanita itu sembari memeluk erat tubuh Al. Tak mau memberikan bocah malang itu kepada Sumiati yang gila.
"Aakk! Dasar wanita brengsek!" Sumiati pun murka. Dia membuka pintu mobil. Lalu menyeret tubuh wanita itu hingga jatuh terpelanting di tengah jalan.
"Cuih! Kau berani mau mengambil anakku! Dasar wanita brengsek!" Sumiati meludahi gadis itu sembari menendang perutnya.
Lama menyiksa gadis penyelamat itu, akhirnya polisi pun datang dan menyelamatkan gadis malang yang menjadi korban kekejakan Sumiati.
"Angkat tangan!" titah salah satu anggota polisi itu.
Sumiati pun tak berdaya, dia mengangkat tangannya begitu polisi menyodorkan senjata padanya.
"Menyingkir dari sini! Atau akan aku bunuh anak ini!" Namun, rupanya Sumiati tak kehilangan akal untuk bisa terlepas dari polisi itu.
Dia mengambil sebilah pisau kecil yang sengaja disimpan ke dalam jaketnya sebagai jaga-jaga jika Al berani melarikan diri darinya. Namun, ternyata yang ia takutkan pun nenar-benar terjadi.
"Tidak! Jangan sakiti anak itu!" seru wanita tadi. Dia sedang mengalami luka pada bagian kepala dan juga bibirnya.
"Aku tidak peduli! Jika dia mati, maka aku juga akan ikut mati!" Sumiati tak mau kalah. Dia terus mengancam mereka yang hendak menyelamatkan Al.
Tak lama wanita penyelamat itu melihat sebuah tali yang terhubung dengan Sumiati. Wanita jahat itu sedang menginjak tali tersebut. Sehingga membuat gadis dengan rambut panjang tebal itu menemukan cara untuk melumpuhkan Sumiati.
Dia pun menarik tali itu, hingga membuat Sumiati terjatuh. Alhasil Al pun terlepas dari kungkungannya.
Bocah itu berlari ke arah wanita itu lalu memeluknya dengan erat. Seolah baru saja terlepas dari maut yang menakutkan.
Sementara itu, Sumiati telah ditahan oleh polisi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.