Musa Daud, dia adalah Ayah dari Almukaram Musa. Bocah yang menjadi korban penculikan pengasuhnya sendiri.
Semalaman Musa tak dapat tidur dengan lelap. Matanya terus terjaga, hingga pagi hari menjelang.
Dia terus memikirkan putranya yang hilang entah ke mana. Musa menangis dalam diam dengan posisi membelakangi sang istri.
Sebagai seorang pria yang tangguh, pertahankan diri Musa pun runtuh saat mendapat kenyataan pahit mengenai putranya.
Dia tak berdaya, saat tahu orang yang menculik putranya adalah Sumiati. Wanita yang dua belas tahun silam ia selamatkan dari kekejaman preman jalanan.
Saat itu Sumiati sedang mengalami pelecehan seksual oleh para pria tak beradab. Sumiati berteriak kesakitan saat selaput darah yang menutup rongga vaginanya disobek oleh benda tumpul pria bejat.
Sumiati hendak berteriak meminta pertolongan, tetapi mulutnya dibekap oleh pria jahat itu. Alhasil Sumiati tak bisa melakukan apa-apa.
Dia kelelahan, dia kesakitan, dan dia merasa kotor atas apa yang menimpa dirinya.
Dalam kejadian tak senonoh itu, Sumiati menangis tersedu-sedu. Namun, para preman sialan itu hanya menertawakan dirinya yang malang.
Sumiati pun diam. Seolah kehabisan tenaga hanya untuk sekedar meneteskan air mata.
"Angkat tangan!" Beberapa petugas kepolisian pun datang menyelamatkan Sumiati yang malang.
"Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?" tanya Musa, pria yang tak sengaja mendengar teriakan Suamiti saat hendak mencari kamar mandi untuk membuang hajat yang tak dapat dicegah lagi.
Merasa curiga dengan suara erangan seorang pria, Musa pun mengintip kejadian menjijikan itu. Lalu menghubungi polisi untuk menangkap para penjahat tersebut.
Sumiati tak menjawab pertanyaan Musa. Dia hanya diam sembari meneteskan air mata. Lalu kemudian wanita malang itu jatuh pingsan. Di situlah Musa membawa Sumiati ke rumahnya. Menjadikan wanita itu sebagai asisten rumah tangga mereka.
Setelah kelahiran Almukaram, hidup Sumiati pun lebih berwarna. Selama lima tahun berada di rumah Musa menjadi asisten rumah tangga, hidup Sumiati terasa hampa. Dia tak bersemangat untuk menjalani hidup yang sangat kejam.
Pernah suatu ketika Sumiati hendak melakukan percobaan bunuh diri. Namun, Musa berhasil menyelamatkan wanita tersebut. Hingga lahirlah anak kedua Musa yang tak lain adalah Almukaram.
"Pa, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?" Soraya, istri Musa terbangun dari tidurnya yang baru beberapa jam lalu memasuki alam mimpi. Karena kehilangan Al, tidur sepasang suami istri itu pun tak lelap.
Bayang-bayang kematian anaknya seolah memenuhi otak mereka.
"Hatiku hancur, Ma. Bagaimana bisa Sumiati melakukan ini pada kita? Padahal aku mengasihinya selayaknya manusia terhormat. Aku memberinya tempat di rumah ini seperti keluarga. Tapi lihatlah yang dia lakukan kepada kita. Dia menculik Al kita, Ma." Rupanya Musa tak sekuat yang selama ini coba ia tunjukkan ke orang-orang.
Pria dengan kecerdasan luar biasa itu selalu tampil sempurna di depan para karyawan sekaligus rekan bisnisnya. Namun siapa sangka, saat ini pria itu tengah menangis sesegukan dalam pelukan sang istri selayaknya anak kecil yang kehilangan orang tua.
"Tenanglah, Pa. Kita pasti akan menemukan Al apapun yang terjadi. Bukankah semalam kau sangat yakin, bahwa kita akan menemukan Al?" Berbeda dengan Musa, Soraya tampak lebih kuat dari yang diduga. Meski semalam menangis ketakutan dalam pelukan Zoya.
"Bagaimana aku bisa tenang, Ma? Kita tak memiliki akses untuk menemukan Al. Wanita itu pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun." Musa kembali frustasi. Dia hampir kehabisan cara untuk menemukan putranya.
"Ini baru satu malam, Sayang. Besok kita pasti akan menemukan Al." Sebagai seorang wanita sekaligus Ibu, Soraya terlalu kuat untuk menenangkan sang suami yang tampak lemah dan rapuh.
Keberanian serta kekuatan Musa seolah lenyap ditelan ketakutan atas hilangnya sang putra.
**
Satu minggu masa pencarian, Musa masih belum menemukan jejak Suamiti yang membawa pergi Al. Bahkan musa telah meminta bantuan ke seluruh anggota kepolisian, bahkan tentara sekalipun.
Namun, nihil. Mereka masih belum menemukan Almukaram.
"Bagaimana ini, Pa? Mengapa para tentara dan polisi itu belum menemukan Al?" Kali ini gantian Soraya yang tampak rapuh. Dia benar-benar merindukan putranya itu.
"Entah Al sudah makan atau belum. Apakah dia hidup dengan baik atau tidak. Kita bahkan tidak tahu, apakah wanita itu menjualnya ke makelar organ tubuh manusia." Soraya mulai berhalusinasi yang tidak-tidak.
"Sstt, tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa pada putra kita. Dia adalah anak yang cerdas. Percayalah padaku, em?" Musa membujuk Soraya agar tetap tenang. Tak berpikir jauh akan kematian yang datang menyapa anaknya secepat kilat.
Soraya dan Musa mengingat senyum dan tawa Al secara bersamaan. Betapa manisnya bocah itu kala menyunggingkan senyuman di kedua pipinya.
Sementara itu, dilain tempat. Al tengah menangis tersedu-sedu, karena merasa rindu pada sang Ibu.
Seminggu tak berjumpa Soraya, membuat hatinya nelangsah.
"Tenanglah, Sayang. Ada aku yang akan menjadi Ibumu mulai sekarang." Tampak Sumiati berusaha menenangkan Al yang belakangan sudah mulai paham, bahwa wanita itu telah menipu dirinya dengan mengiming-imingi permainan biang lala. Nyatanya mereka tak pernah menikmati permainan tersebut.
"Panggil aku Ibu, Sayang. Ibu," titah Sumiati. Memerintah Al untuk memanggilnya Ibu.
"Tidak! Bibi bukan Ibuku." Namun, Al menolak. Dia tak mau menyebut Sumiati sebagai Ibunya.
Plak!
Sumiati menampar pipi gembul Al, hingga bocah itu terluka pada bagian sudut bibirnya.
"Oh, maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak sengaja menamparmu. Apakah itu sakit?" Sumiati seperti wanita psikopat. Semula dia marah-marah saat Al menolak permintaannya. Namun, sedetik kemudian pikirannya kembali normal. Seolah kembali pada mode sisi lembut yang selama ini coba ia tunjukkan di depan keluarga Musa.
Sebenarnya Sumiati merupakan wanita baik. Dia tak bermaksud menyakiti Al. Hanya saja obsesinya untuk menjadi seorang Ibu, membuatnya seperti manusia laknat yang tak punya hati nurani.
Sumiati menginginkan seorang anak seperti Al. Bahkan saat dulu ia diperkosa, dalam hati kecilnya Sumiati berharap bisa hamil. Namun, ternyata Tuhan tak memberinya kepercayaan itu. Kodrat Sumiati berbeda dari wanita yang ain. Dia tak ditakdirkan untuk menjadi seorang Istri, ataupun seorang Ibu sekalipun. Bahkan saat kehormatannya sengaja direnggut, Sumiati masih tetap hidup sendirian.
Sementara Al semakin ketakutan. Dia menolak untuk disentuh oleh Sumiati, wanita yang telah menculiknya tanpa welas asih.
"Makanlah ini, setelah itu kita akan jalan-jalan, em?" Merasa tak ingin Al semakin membencinya, Sumiati pun menurunkan intonasi suaranya menjadi lebih rendah.
"Kita akan berkeliling sawah di ujung desa. Kau pasti akan suka," imbuh Sumiati tanpa dosa.
Kemudian wanita itu meninggalkan Al yang masih ketakutan di dalam kamar sembari memeluk lututnya.
"Mama," lirih Al.
Bersamaan dengan itu, Soraya pun terbangun dari tidurnya.
"Al." Dia memanggil anaknya.
Sebagai seorang Ibu, tentu saja Soraya dapat merasakan penderitaan sang putra.
"Ada apa, Sayang? Apa yang terjadi? Mengapa kau berteriak?" tanya Musa panik saat melihat kondisi istrinya yang ketakutan.
"Aku mimpi buruk, Pa," ungkap Soraya seraya meneteskan air mata.
"Tenanglah, Ma. Semua akan baik-baik saja." Musa memeluk hangat tubuh istrinya. Menenangkan wanita itu agar tak merasa sedih lagi. Walau sejujurnya dia sendiri masih waspada sekaligus gelisah.