Chereads / Waktu Penantian / Chapter 1 - Sangat Mendadak

Waktu Penantian

Ririnby
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 31k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Sangat Mendadak

[Rindu memenuhi ruang dalam hatiku, aku merindukanmu sahabat yang aku cintai. Keenan, ketika kamu sedih, aku hanya bisa diam. Aku ingin sekali memelukmu tetapi statusku hanyalah sebatas sahabat terbaikmu. Huft ... kenapa aku sangat galau hari ini.

Jika memendam perasaan itu jauh lebih baik, maka akan kupendam perasaan ini sampai akhir nanti dan hanya bisa mendoakan untuk kebaikanmu.

Seharusnya perasaan ini tak usah kupendam, percuma. Menyakitkan batin, tapi kenapa aku tetap cinta ... hati ini selalu menunggu. Meskipun sakit tapi inilah aku. Biarkan kupendam dalam-dalam perasaan ini. Hanya bisa mempertahankan perasaan yang kupendam. Entah kuat atau tidak.

Saat hanya bisa memendam perasaan kepada seseorang. Saat itu juga, aku harus siap melihat dia bersama yang lain.]

Tulis gadis cantik berhijab kuning.

***

"Kirana Hania Afiza kana Keenan (ada Keenan) ...." teriak wanita paruh baya yang baru saja selesai menyiram tanaman.

"Na'am Bundaku ... tercinta," jawab gadis sedikit keras lalu keluar dari rumah dengan berlari, dia terkejut setelah melihat pemuda yang berdiri di sebelahnya.

"Hai ... tambah cantik saja setelah lama tidak bertemu, kira-kira setengah tahun ya, tidak bertemu," jelas Keenan merunduk.

"Keen, eh, pasti ada maunya?" keluh Rana kesahabatnya dan juga tetangganya. Gadis itu sangat berdebar-debar namun dia bisa menutupi rasa bahagianya.

"Nganter ini, kalender dari pondok," jelas Keen sambil menyodorkan kalender, mereka memang tetangga dan teman sekelas, lalu mondok di tempat yang sama. Mereka sedang liburan karena romadhan.

"O ... sukron, ada juga yang mau aku tanyakan, soal Alfiah, nadhom ke 450 nanti jelaskan ya, aku gak ngeh," ujar Rana.

"Cantiknya ...." puji Keen.

"Siapa? Aku, dari dulu tau."

"Kalau kamu hue ... Ya jelas Mbak Mawar lah tuh, seksi cantik, mata menjadi bening," jawaban Keen membuat Rana memukul kepalanya dengan kalender yang digulung.

"Hai ... Keen, nikah gih sama Rana, sudah seumur lo kalian," ujar Mawar kakak Rana yang sangat seksi baru selesai olah raga, dan masih lari di tempat.

"Ada-ada saja Mbak ini, tidak mungkinlah ... aku sama Rana, dia ngompolan," ledek Keen.

"Hih ... awas ya kamu kalau minta bantu kerjakan I'rob. Awas saja kalau tanya-tanya ke aku. Lagian aku sudah besar tidak ngompolan lagi," keluh Rana kesal dan membelakangi Keen.

"Tapikan sekarang cantik, pas juga, kan kalian satu pesantren mending sahhin aja," ujar Mawar lalu masuk ke rumah.

"Hih ... natapnya ... dosa tau kalau ada sahwat, tutup tuh matanya, maksiat mata itu namanya," tegur Rana.

Pemuda berparas tampan nan tinggi itu tertawa lalu pulang tanpa pamit tanpa salam.

"Heh ... pergi tanpa pamit, ngek lo, Assalamualaikum," ujar Rana, Keen menghentikan langkah menoleh lalu.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya, Rana memberikan senyum manis.

Mereka sangat biasa karna teman dari kecil, namun juga tau batasan karena memang seorang santri. Beda dengan Mawar dia gadis seksi yang belum menikah.

"Seribu surat cintaku untukmu Keen namun apa mungkin? Kamu selalu melihat Kakakku, kita sahabatan, tetangga, sama-sama mencari ilmu, namun tatapan dan senyummu hanya tertuju padanya. Apa dayaku," gumam gadis berumur dua puluh empat.

***

Setahun serasa sedetik.

Malam itu Kiai memanggil keluarga Kirana yang hendak menjodohkan. Karena merasa sudah pantas untuk menikah keluarga Kirana setuju tanpa meminta persetujuan dari Kirana.

Siang itu Rana di jemput Ayahnya dengan mobil yang sangat keren. Ayahnya adalah pemilik distro ternama, mobil melaju.

"Kok tiba-tiba aku disuruh pulang?" tanya Rana.

"Ya ... bagaimana lagi, hari ini kan pernikahanmu," jawaban singkat dari Ayahnya, Rana menatap Ayahnya dengan sangat terkejut.

"Ayah bohongkan?" tanya Rana sangat panik.

"Tidak, kamu akan menikah," jawaban santai.

"Ya Allah ... kok aku tidak tau, kalian mengatur hidup aku!" kata Rana sangat kesal air matanya berlinang.

"Lho ... Ayah kira kamu sudah tau, lagian kamu pasti cocok kok. Kemarin keluarga Keen datang melamar."

"Pasti melamar kak Mawar."

"Wong Keluarga Keen yang melamarmu dan akan menjadi suamimu," jelas Ayahnya membuat Kirana semakin terkejut dan masih belum percaya.

"Ha ...? Hiks, hiks, bagaimana bisa," keluh Rana menangis tanpa henti, dia bahagia tapi dia tahu persis jika Keen cintanya ke Mawar.

"Jangan nangis malu sama Bik Nana kan calon mertuamu, lagian setelah menikah kalian akan hidup di Bogor, Ayah membangun pesantren kecil kamu dan Keen yang akan menjadi gurunya," jelas Ayahnya, "Sudah ... jangan cengeng ah, wong biasanya kamu guyonan sama Keen ya begitu kok, apa salahnya, teman tapi menikah?" imbuhnya memarkirkan mobil. Ayahnya lalu menghapus air mata Rana.

"Ayo turun, jangan nangis lagi, malu tau dilihat Bu Nyai sama Kiai," pinta Ayahnya,Rana turun dari mobil merunduk sedih.

'Aku memang cinta tapi bukan begini caranya, cara ini seperti memasukkan aku ke penjara, huhf ... kenapa Keen mau? Pasti dia terpaksa karna orang tua dan semua,' batin Rana.

Dengan perasaan yang sangat sesak dan terpaksa karena tidak bisa menolak, terlebih ada Kiai dan Bu Nyai, Rana pun dirias di kamarnya tidak lama dia keluar, dia sangat cantik dengan gaun putih itu.

Rana diampit Bu Nyai dan Bundanya, dan diantarkan ke pelaminan. Keen mengucapkan ijab dan para saksi serempak sah? Sah ....

Dalam benak Rana sangat ingin mengeluarkan segala uneg-uneg dalam hati. Namun, Allah belum memberinya kesempatan. Dia berusaha memasang wajah bahagia untuk para tamu.

Setelah acara selesai kini tiba waktunya menginterogasi sahabatnya itu.

Jek!

Rana menginjak kaki Keen.

"Au ... kamu itu wanita atau apa sih, kasar banget, sakit tau, jangan macam-macam letak surga istri jalanya dari suami," ancam Keen setelah kakinya diinjak oleh istrinya.

"Ngapain mau ..." bisik Rana, Keen juga berbisik.

"Aku juga tidak tau ... kayaknya memang rencana Kiai, paman dan ayahku deh, aku juga terkejut, aku mau menolak kamu tau sendiri dengan Ibuku bisa ngek-ngek nanti," jelas Keen sambil meletakkan tangan ke depan lehernya, Rana merasa malas.

Malam pun tiba setelah mengaji Keen berbaring.

"Heh ... di sofa," titah Rana.

"Ya Allah gusti ... menolak suami dosa lo ..." ancamannya terus dikeluarkan.

"Astagfirullah ... kalau dengan begitu aku tidak bisa apa-apa pasrah," gumamnya lalu berbaring dengan hijab lalu meletakkan bantal pembatas, mereka terlelap.

Pagi yang indah mentari sangat terang dari Tanggerang mereka menuju Bogor.

Mereka saling diam, canggung setelah ada ikatan resmi pernikahan.

"Kak Mawar di mana?" tanya Keen.

"Meneketehong," jawaban yang tidak ada bahasanya.

"Ketusnya ... cemburu ya? Ah ... pasti iya? Iya kan? Ngaku saja," Keen terus meledek.

"Ya iyalah, akukan sekarang sudah sah menjadi istrimu, lagian dosanya besar tau memandang yang lain lebih cantik dari istrinya. Kamu bisa mengancam aku pun bisa," ujar Rana lalu melihat warung soto.

"Aku laper," ujar Keen, mobil sedan itu minggir terparkir. Keen turun Rana mengikutinya.

"Hai ... kalian pasangan kan? Ada lomba siapa yang makan paling banyak untuk pasangannya kami menghadiahkan uang dua juta dan cincin berlian," jelas pelayan yang menyambut.

"Aku ikut," ujar Keen sangat semangat.

"Hih ... lebai deh," Rana terlihat malas tidak peduli, Keen mengikuti lomba itu. Rana sibuk mendengarkan solawat dari ponselnya.

"Nih ... kalau ini hasil keringatku, yang saat ijab itu dari Ibu," jelas Keen memberikan hadiah, Rana acuh, Keen memakaikannya.

"Ayo ... berangkat," ajak Keen duluan ke mobil dan Rana mengikuti. Mobil pun melaju.