Reva meringis ketika dia merasakan nyeri di bawahnya. Sebetulnya sejak pagi dia merasakan, tetapi mau tidak mau Reva harus pergi ke kantor. Sambil menunggu Nisa, Reva lebih memilih untuk duduk sambil memejamkan kedua bola matanya. Merasakan ada pergerakan di samping membuat Reva menoleh.
"Udah selesai, Ni-" Ucapan Reva terhenti. Tunggu dulu, yang ada di sampingnya bukan Nisa, tetapi Sean!
Baru kali ini Sean terpanah sejauh ini kepada wanita selain Jihan. Jika bersama Jihan, Sean memang menjaga wanita itu, dia tidak berani untuk melakukan hal lebih. Maka dari itu, untuk memuaskan semua gairahnya, dia lebih memilih masuk ke lubang malam. Sudah banyak wanita yang Sean rasakan, tetapi saat bersama Reva semuanya berbeda.
Andai semalam dia tidak buru-buru, sudah bisa dipastikan wanita di sampingnya saat ini tidak bisa berjalan dengan mulus. Tunggu, apa dirinya jatuh cinta? Atau sekedar jauh cinta dengan tubuhnya?
"Maaf ya, Pak, saya ga mau cari masalah. Saya minta tolong, urusan kita udah selesai."
"Jauhin Fian."
"Urusannya sama Pak Sean apa? Saya mau deket ataupun engga sama Fian, bukan urusan Bapak."
Sean mengumpat dalam hati, kenapa bisa ada wanita dengan lancang menolak dirinya? Jika biasanya para wanita datang sendiri, kali ini Sean sangat tertantang untuk mendapatkan Reva.
"Semua sesuai bayaran, tapi kamu belum lakuin secara maksimal. Kalau begitu, saya minta uang itu kembali setengahnya."
Lagi-lagi Reva terdiam. Ini maksudnya apa? Sungguh, Reva sangat tidak paham. Soal uang, andai uang itu masih ada, sudah pasti Reva akan mengembalikannya. Sayang seribu sayang, Reva sudah mentranfer sebagian uang kepada Ibunya, dan tentu saja sudah dipakai untuk membayar rumah sakit.
"Pak Sean mau apa lagi dari saya?"
"Turutin apa yang saya mau, tanpa adanya bantahan. Sekali kamu ngebantah, saya akan buat perhitungan." Setelah mengatakan itu Sean bangkit berdiri. Sambil membenarkan jasnya dia berdeham.
"Nanti pulang sama saya."
"Tap-" Belum sempat Reva menyelesaikan kata-katanya, pria itu sudah lebih dahulu pergi. Kalau sudah seperti ini dirinya harus apa? Sedangkan nanti sore Reva sudah ada janji dengan Fian.
"Kenapa, Re?"
Lagi-lagi Reva dibuat kaget saat Nisa menepuk pundaknya. Apa dia melihat Sean? Kalau iya, habis sudah riwayatnya.
"Re?"
"Engga ada apa-apa, Nis. Lo udah selesai? Hayuk cari makan siang."
Nisa mengangguk dengan antusias, sejak tadi cacing-caing di perutnya memang sudah memberontak meminta makanan. Nisa meraih pergelangan tangan Reva lalu menariknya untuk segera ke luar dari kantor. Saat melewati lift dirinya tidak sengaja menatap Sean yang juga sedang menatapnya.
Tidak ingin terpengaruh, Reva lebih memilih diam sambil mendekatkan tubuhnya kepada Nisa. Selama bekerja di sini Reva sangat jarang bertemu bosnya. Tapi lihatlah sekarang, setiap detik Tuhan selalu mempertemukan. Kalau sudah seperti ini, rasannya Reva ingin resign dari kantor. Tunggu dulu, kalau dirinya resign, bagaimana dengan biaya rumah sakit? Tidak ada lagi orang yang bisa di andalkan selain dirinya.
***
"Apa semuanya sudah selesai?" Sean menatap Fian yang berada di sampingnya.
"Sudah, Pak, kalau gitu saya pamit dul-"
"Tunggu, Fian."
Fian menoleh, dia mengangguk samar sembari menunggu apa yang akan bosnya katakan. Sean bersedam, dia menatap Fian secara menyeluruh.
"Ada hubungan apa kamu sama Reva?"
"Reva?" Anggukan dari Sean membuat Fian terdiam, kenapa tiba-tiba membahas soal Reva?
Sudut bibir Sean terangkat, sebetulnya tanpa penjelasan apapun dia sudah tahu jawabannya. Dari kabar yang dia terima, Fian memang menyukai Reva, begitupun sebalinya. Akan tetapi, entah karena alasan apa, keduanya masih terjebak zona friendzone.
"Silahkan ke luar, Fian. Tolong semuanya dicek lagi nanti," kata Sean sambil bangkit dari tempat duduknya.
Berhubung meeting telah selesai, Sean memilih untuk kembali ke dalam ruangannya meninggalkan Fian dengan segala asumsinya.
Ting!
Ting!
Sean berhenti, dia mengambil ponselnya yang berada di dalam saku. Senyumnya mengembang setelah dia membaca pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya. Tanpa membalas, Sean kembali melanjutkan jalannya.
Berbeda dengan Sean, sedangkan Fian masih terduduk dengan perasaan bingungnya. Selama bekerja dengan Sean, Fian tidak pernah mendengae sedikitpun bosnya menyebut nama Reva. Tetapi kali ini?
Pekerjaannya telah selesai, maka dari itu Sean lebih memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya. Dalam kondisi mata memejam, Sean kembali teringat dengan Reva. Sial, kenapa wajah wanita itu semakin menjadi-jadi di dalam otaknya?
***
"Re, hari ini jadi, 'kan?"
Reva yang sedang membereskan barang-barangnya langsung menoleh menatap Fian. Habis sudah riwayat Reva, apa yang harus dia lakukan sekarang? Tidak mungkin menolak Fian, tetapi tidak mungkin juga membatalkan janji Sean.
"Fi? Aku ke kamar mandi sebentar ya? Kamu tunggu dulu di sini, jangan ke mana-mana tapi?"
Fian terkekeh, dia menganggukan kepalanya sambil tersenyum. "Yaudah kalau gitu, aku tunggu di sini aja."
Tanpa menjawab lagi, Reva bergegas pergi untuk mencari Sean. Semoga saja pria itu mau memberinya keringangan, setidaknya satu jam untuk dirinya ke rumah sakit bersama Fian.
"Apa sudah siap? Kalau sudah, mari kita pergi."
Reva tersentak kaget saat mendapati Sean bersandar di dekat toilet. Susah payah Reva menelan salivanya sambil terus menatap wajah Sean.
Sean mengulurkan tangannya, tetapi Reva masih tetap diam.
"Saya bilang tidak terima penolakan."
"Saya udah ada janji sama Fian, saya ga bisa batalin gitu aja. Apa bisa saya pergi sama Fian duly sebentar? Cuma ke rumah sakit ga akan lama," ujar Reva dengan hati-hati.
Sean tidak langsung menjawab, dia diam sambil terus menatap lurus ke depan. Sejak kapan dirinya menerima penolakan?
"Saya tau Bapak ga mau penolakan, tapi kali ini saya benar-benar ga bisa ingar janji sama Fian, Pak."
Anggukan kepala dari Sean membuat Reva bernapas lega, setidaknya Reva tidak harus membatalkan janjinya dengan Fian, karena dia benar-benar tidak enak.
"Kasih tau saya, di mana alamat rumah sakit orangtua kamu. Kalau Fian sudah pulang, kabarin saya nanti kamu saya jemput."
"Eh, kok? Engga usah, Pak, nan-"
"Cukup sekali bantahan, engga ada yang ke dua kalinya. Waktu kamu sama Fian cuma satu jam, terhitung dari sekarang." Setelah mengatakan itu Sean bergegas pergi dengan wajah santainya.
Semakin ke sini Reva semakin bingung, sebetulnya Sean itu kenapa? Perjanjian malam itu telah selesai, kenapa sampai sekarang dia mencecar terus-menerus? Bahkan Sean sampai mau menjemputnya di rumah sakit.
Lamunan Reva buyar ketika seseorang menyentuh pundaknya. "Fian? Kok ke sini? Kan aku bilang tunggu di ruangan aja."
Fian terkekeh. "Nungguin kamu lama, ternyata benar lagi ngelamun. Ngelamunin apa sih, Re?"
'Ngelamunin nasib hidup,' batin Reva.
***