Keadaan ruang tamu benar-benar awkward, bahkan hanya suara Jihan yang sesekali terdengar. Sedangkan Sean? Pria itu masih setia menatap lekat Reva, bahkan dia tidak takut kalau tiba-tiba Jihan memergoki pandangannya. Reva yang tidak tahu mau berbuat apa lebih memilih diam sambil menanggapi pertanyaan Jihan.
Ketegangan antara Sean dan Jihan memang sudah mereda, itu terbukti saat Sean mendekat lalu merengkuh lembut tubuh Jihan. Keduanya terlihat nyaman, terlebih Jihan. Tidak seharusnya Reva gelisah, apa juga yang harus digelisahkan? Toh mereka sudah bertunangan, dan akan menikah.
"Re, nanti satu hari sebelum aku nikah, kamu harus main dan nginap ya? Temanin aku ngobrol gitu, mau ga?" Jihan menatap Reva dengan antusias.
Reva mengangguk dengan cepat, apapun yang Jihan katakan Reva selalu manut. "Gampang, Han, nanti aku nginap di rumah kamu. Jadinya kapan kalian menikah? Apa ada yang bisa aku bantu?"
"Semuanya udah rampung, Re, bahkan udah sembilan puluh lima persen. Kamu tenang aja, baju khusus buat kamu juga aku siapin."
Reva tersenyum simpul mendengar penuturan Jihan. Wajahnya terlihat berseri, bahkan sangat tulus saat mengatakan itu semua. Reva melirik Sean, sialnya pria itu langsung tersenyum. Entaj senyum apa yang dia berikan, tetapi bagi Reva seperti memiliki arti.
"Sean, kita pulang yuk? Tapi sebelum pulang, aku boleh ke kamar mandi dulu ga, Re?"
"Boleh, Han, silahkan. Mau aku antar atau gimana?"
Jihan menggeleng sambil melepaskan rangkulan tangan Sean. "Engga usah, Re, aku udah hapal sama rumah kamu, haha."
Setelah mengatakan itu, Jihan bergegas pergi ke arah belakang. Seperginya Jihan, Sean kembali menatap Reva dengan lekat. "Gimana kabar ayah kamu?"
"B-belum membaik, masih dalam pemantauan dokter," jawab Reva tanpa menatap Sean sedikitpun.
"Semua biaya rumah sakit udah saya selesaikan, begitupun uang kerja kamu semalam udah saya transfer silahkan dicek."
Perlahan kepala Reva terangkat, dia menatap wajah Sean dalam-dalam. Apa katanya? Biaya rumah sakit sudah dilunaskan semua? Padahal semalam Reva sudah bilang, soal rumah sakit tidak perlu ikut campur. Alih-alih bahagia, Reva semakin gelisah mendengarnya. Kalau seperti ini, biasa-bisa Sean semakin jadi terhadap dirinya.
"Bukannya aku udah bilang soal rumah sakit ga perlu?" tanya Reva dengan suara pelan, dia mengantisipasi takut-takut Jihan mendengar.
Sudut bibir Sean terangkat membentuk lengkungan senyum. "Yang terpenting saya mendapat imbalan yang pas."
Telak, itu adalah kata-kata yang sangat Reva hindarkan dari mulut Sean. Reva menggeleng, dia sangat tidak setuju dengan pernyataan Sean.
"Nanti akan aku bayar, aku ga mau buat masalah sama Ji-"
"Itu terserah kamu. Kalau kamu ga nurut, jangan salahin saya kalau aib kamu terbongkar."
***
Langkah kaki Reva dengan cepat membawanya ke ruangan ICU, dari lorong Reva bisa melihat wanita paruh baya tengah bersandar di dinding sambil menutup wajahnya dengan rapat. Hati Reva tersentil, semakin kakinya mendekat, matanya melihat jelas kalau kedua bahu Ayu terguncang. Sebetulnya, apa yang sudah terjadi dengan Ayahnya?
"I-ibu?"
Ayu membuka tangannya lalu mendapati sang putru sudah berdiri tegap. Tanpa basa-basi, Ayu menjatuhkan tubuh lemahnya ke dalam dekapan Reva, dia menangis sejadi-jadinya membuat Reva semakin sakit dan bingung.
"Ayah kenapa, Bu? Ayah baik-baik aja, 'kan? Ibu kenapa nangis gini?"
"Tadi Ayah sesak napas, Re, sekarang masih ditangani sama dokter."
Reva tertegun mendengarnya, tanpa perintah buliran air mata mulai jatuh membasahi pipi. Sungguh, menangis tanpa suara adalah hal menyakitkan sepanjang sejarah hidup. Bisa saja Reva melakukan itu, tetapi dia tidak mau membuat Ibunya semakin panik. Ini situasi genting, situasi menyedihkan, mau tidak mau Reva harus bisa mengambil alih suasana.
Kedua tangan Reva semakin erat memeluk tubuh Ayu, dia mencari kehangatan dari tubuh sang Ibu. Ketika mata Reva memejam, ingatan tentang ayahnya langsung muncul. Bagaimana bahagianya Rev saat semua keinginannya terpenuhi, bahkan ayahnya sangat protektif. Merasakan tubuh Ibunya semakin melemas, Reva membuka mata lalu mendapati tubuh Ibunya terjatuh di dalam dekapan.
"Ibu?!"
"Yaampun, Bu, Ibu kenapa?" Reva mendudukan dirinya di lantai agar Ayu tidak terjatuh. Suasana lorong yang sepi membuat Reva semakin panik.
Kali ini tangisan Reva tidak bisa dihindarkan, dia benar-benar sangat takut.
"Biar saya bantu."
Suara berat dari arah belakang membuat Reva mendongakan wajahnya. Tidak perduli air mata yang mengalir, Reva menatap kaget pria yang kini berjongkok lalu mengambil alih tubuh sang Ibu.
"Apa kamu butuh saya gendong juga? Kalau memang iya, tunggu sebentar di sini, saya antar Ibu kamu ke UGD terlebih dahulu." Setelah mengatakan itu Sean langsung membalikan tubuhnya.
Baru dua langkah kakinya berjalan, Sean kembali berhenti karena panggilan Reva. Sean menoleh, menaikan sebelah alisnya seraya bertanya 'ada apa'
"Aku ikut, tunggu sebentar," ujar Reva dengan suata sumbang.
Tanpa menjawab, Sean hanya mengangguk samar. Sean sangat mengerti arti tatapan Reva, pasti wanita itu kaget kenapa bisa dirinya berada di sini. Setelah memastikan Reva berdiri, Sean menarik tangannya lalu menyuruh untuk memegang pinggangnya.
Situasi yang genting membuat Reva menurut, dia mengikuti langkah kaki Sean menyusuri lorong ICU yang sangat sepi. Fikiran Reva pecah, yang ada di dalam otaknya hanya ayah serta ibunya. Sebelum mendapat kabar ayahnya ngedrop, Reva sudah lebih dulu mendapat kabar soal kantor ayahnya yang semakin berantakan. Kali ini Reva sudah tidak perduli, hanya kesehatan mereka yang Reva perdulikan.
Sesampainya di ruang UDG, Reva menunggu di luar. Sambil menunggu Sean kembali ke luar, Reva lebih memilih melangkahkan kakinya ke arah depan sambil menatap lurus. Pandangan Reva kosong, karena dia sendiri sudah tidak tahu mau berbuat apa. Kantor ayahnya sudah jatuh, otomatis setelah ini Reva harus bantinh tulang memperbaiki perekonimian.
Awalnya Reva sempat berfikir akan resign dari kantor Sean, namun mengingat kondisinya sudah seperti ini Reva tidak bisa mundur. Lamunan Reva buyar saat pundaknya ditepuk oleh seseorang. Reva menoleh, kini pandangannya beradu dengan Sean. Pertanyaan Reva hanya satu, kenapa bisa pria di depannya ada di sini? Bukankah tadi dia pulang bersama Jihan?
"Kenapa? Bingung saya ada di sini? Saya memang ke rumah kamu lagi tadi, tapi kamu keburu pergi naik taksi makanya saya ikutin."
"Ada apa mau temuin aku lagi? Apa kamu ga liat sesedih apa Jihan tadi? Dia bilang kamu berubah, berubah di saat mau menikah. Apa bisa masalah diantara kita selesai? Hubungan kita hanya sebatas bos dan karyawan."
"Tapi saya ga mau."
"Kenapa? Ada apa sama aku?"
Sean tidak langsung menjawab, seketika lidahnya sangat keluh untuk menjawab. Tidak ada yang salah sama pertanyaan Reva, tetapi Sean tidak bisa menjawab. Kenapa? Bahkan dirinya sendiri tidak tahu.
***