Setelah makan siang, Reva, Nisa dan Fian kembali ke kantor. Suasana yang awalnya tegang, kini perlahan memudar. Itu semua bisa terlihat ketiga ketiganya tertawa dengan lepas. Kebahagiaan Nisa semakin menjadi saat dia melihat Fian terus saja menggenggam tangan Reva.
Tanpa ketiganya sadari, sejak tadi Sean berdiri sambil menatapnya dengan tajam. Entah kenapa, rasanya semakin hari Sean sangat tidak suka melihat Reva berinteraksi dengan pria lain, termasuk Fian. Ingin rasanya Sean menghampiri, tapi rasanya itu tidak mungkin. Kalau Sean nekat melakukan itu, sama saja dia mencari perkara.
"Qia, kemari!"
Karyawan yang baru saja di panggil langsung buru-buru menghampiri Sean. "Ada apa, Pak?"
"Kamu lihat mereka bertiga?" Sean menunjuk ke arah depan.
"Reva, Nisa sama Fian, Pak?"
Sean mengangguk.
"Kenapa, Pak?"
"Suruh mereka bubar dan lanjutkan pekerjaannya. Kalau masih mengobol, siap-siap ajukan resign atau dipecat." Setelah mengatakan itu Sean bergegas pergi, sesekali dia menoleh saat Qia mulai mendekat ke arah mereka bertiga.
Tegur sapa yang Sean dapatkan tidak membuatnya bergeming. Dia tetap diam, sambil terus melanjutkan jalannya untuk kembali ke dalam ruangan. Ingin memanggil Reva, namun Jihan masih ada. Jadilah Sean hanya misuh-misuh sendiri.
Berbeda dengan Sean, sedangkan Reva dibuat kaget saat Qia tiba-tiba datang lalu menyampaikan pesan dari Sean. Reva menoleh ke kanan dan kiri, dia mencari di mana Sean berada. Sial, rasanya Reva sangat lelah berada di posisi seperti ini. Apapun yang akan dia lakukan, pasti akan terlihat salah. Tapi mau bagaimana, Reva pun tidak mempunyai kuasa lagi untuk menjauhi Fian.
"Gila ya, Pak Sean kenapa jadi sensi sama kita sih?" bisik Nisa dengan pelan.
"Yaudahlah, Nis, yuk balik kerja. Kamu juga, Fi, semangat ya kerjanya," ujar Reva dengan tulus dan lembut.
Setelah mengatakan itu, Reva bergegas menarik tangan Nisa untuk segera pergi. Mana tau Sean masih memantau, habislah sudah.
"Re, lo ngerasa aneh sama Pak Sean ga sih?"
"Apa yang aneh dengan saya, Nisa?"
Suad Berat dan dingin dari arah belakang membuat kedua wanita yang sedang berbisik langsung bungkam. Mereka berdua mengutuk diri masing-masing, kenapa juga harus membicarakan bosnya di sembarang tempat.
"Kenapa pada diam? Bukannya lagi asik bicarakan saya?"
"M-maaf, Pak, saya ga ada maksud seperti itu. Kalau gitu saya permisi, mau melanjutkan pekerjaan." Saking paniknya Nisa, dia sampai meninggalkan Reva yang kini masih berhadapan dengan Sean.
Pandangan keduanya beradu dengan jarak yang super dekat. Belum sempat Sean mengeluarkan suara, akan tetapi panggilan Jihan sudah lebih dulu terdengar di telingnya. Sean mengumpat, hari ini emosinya sedang naik ke atas permukaan. Semakin dekat derap langkah di belakang, Sean langsung mendur mengikis jaraknya dengan Reva.
"Kalian berdua ngapain di sini? Lagi ngobrolin apa?" tanya Jihan, sambil merangkul lengan Sean.
"Engga ada apa-apa, tadi aku cuma kasih peringatan untuk Reva agar tidak banyak ngobrol di jam kerja," jawab Sean dengan santai. Karena tidak ingin Jihan semakin curiga, Sean berbisi lalu keduanya langsung pergi dari hadapan Reva.
Pandangan mata Reva terus tertuju pada punggung tegap milik Sean. Kemesraan itu terlihat nyata, bahkan keduanya sangat bahagia. Tunggu dulu! Perasaan apa yang kini hinggap di dalam hatinya? Kenapa seperti terusik melihat Sean merengkuh lembut tubuh Jihan?
Otaknya mulai tidak waras, buru-buru Reva menyadarkan dirinya sambil menghentakan kaki ke lantai. "Lo apaan sih, Re? Kenapa juga mesti ga senang liat mereka berdua? Mereka berdua mau nikah, lo bukan siapa-siapanya dia!"
***
"Re, lo mau pulang bareng gue ga?"
Reva yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya lebih memilih untuk bersandar sambil memejamkan mata. Hari ini tubuh dan otaknya sangat lelah, ingin rasanya beristirahat dengan damai di atas kasur yang empuk. Hari memang sudah malam, hampir sebagian pekerjaan sudah rampung, akan tetapi masih ada beberapa lagi yang belum tersentuh.
"Reva!" Nisa menggoyak-goyakan lengan sahabatnya dengan gemas. Orang sedang bertanya, tetapi dia dengan entengnya hanya diam sambil memejamkan mata.
"Lo duluan aja, Nis, nanti gue bisa naik taksi. Lagian kerjaan gue belum sepenuhnya selesai, masih ada beberapa yang belum."
"Seriusan gapapa?"
Reva mengangguk-anggukan kepalanya.
"Nanti Reva pulang sama gue, Nis, lo tenang aja."
Kelopak mata Reva refleks terbuka, dia menatap pria yang kini sudah duduk di atas meja miliknya. Iya, itu adalah Fian, memang siapa lagi?
"Ohh, mau jalan ceritanya? Udah baikan nih? Giliran udah baikan gue ditinggal, jalan berdua doang," cibir Nisa sambil membereskan berkas serta menutup laptopnya.
Suara tawa Fian membuat Reva kembali menatapnya. Setelah hampir seminggu pria di depannya menjauh, kini Reva bisa mendengar kembali suara tersebut. Suara tawa yang dulu sempat menjadi candunya. Sudut bibir Reva terangkat membentuk lengkungan senyuman. Seperti bisa, mata sipit Fian kalau sedang tertawa membuat Reva gemas.
"Jangan liatin gue segitunya dong, jadi malu," celetuk Fian.
"Abisnya candu sih buat diliat, gimana dong?" sahut Reva dengan cepat.
Simple, namun terdengar telak di telinga Fian. Sekecil apapun godaan Reva, tetap saja selalu berhasil menggoyahkan hatinya.
"Yehh, ada yang baper! Buaya bisa baper juga, hahaha!"
Fian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Andai saja tidak ada Reva di dekatnya, sudah bisa dipastikan kalau Fian akan menarik rambut Nisa.
Tingkah dan mimik wajah Fian membuat Nisa geli bahkan dia tidak bisa menyembunyikan tawanya. Setelah selesai membereskan meja serta barang di atas meja, Nisa bangkit seraya berpamitan kepada teman-temannya.
"Yaudah selamat jalan-jalan deh ya. Oh iya, Fi!" Nisa menepuk pundak Fian, "jangan lupa anter Reva pulang ke rumahnya ya? Jangan lo bawa ke rumah terus lo ajak maksiat!" sambungnya.
Uhuk..uhuk!
"Yaampun, Reva! Lo minum aja sampai keselek, waktu SD ga lulus ya?" Nisa berdecak melihat baju bagian atas Reva basah karena ulah dia sendiri.
"Berisik lo, Nis, mending pulang gih, betah banget di sini sih?" Fian mendorong pelan pundak Nisa, sampai wanita di depannya bergeser sedikit.
Nisa mencibir kelakuan Fian. Ingin dia menyahut, namun pria itu sudah lebih dulu memberi kode membuat Nisa mendengus kesal. Okelah, sebagai teman pengertian, sepertinya dia harus segera pergi menjauh dari area friendzone ini.
"Re, gue pamit duluan ya? Lo hati-hati, lo juga Fi, gue titip Reva." Nisa menepuk-nepuk pundak Fian sebelum benar-benar pergi ke luar.
Seperginya Nisa kini di dalam ruangan tersisa Reva dengan Fian. Keduanya kembali canggung, tidak tahu mau mengeluarkan kata-kata apa.
"Lo mau pulang kapan, Re? Malam ini boleh ya gue anter lo pulang?"
Reva melirik ke kanan dan kiri, dia berusaha berfikir untuk menjawab pertanyaan Fian. Sebetulnya itu permintaan mudah, bahkan dengan senang hati Reva bisa mengiyakan. Namun yang menjadi masalah, malam ini Reva harus ke apartemen Sean.
"Lo ga mau ya, Re?"
"Mau, Fi, gue mau!"
***