Selama di perjalanan, baik Reva ataupun Fian masih memilih diam tanpa ada yang membuka suara. Walaupun sama-sama diam, Fian beberspa kali melirik Reva dari kaca spion motornya.
"Re? Kamu mau langsung pulang atau ada tempat lain?"
"Re?"
Entah wanita di belakangnya benar-benar tidak mendengar atau sedang melamun, namun pertanyaan Fian sama sekali tidak digubris. Fian menunduk, dia menatap kedua tangan Reva yang kini melingar sempurna di pinggangnya. Bukan hanya itu, sepertinya Reva sangat nyaman merebahkan kepalanya di punggung membuat Fian tersenyum.
Jalanan jakarta yang masih ramai, sesekali masih menemui kemacetan, tidak membuat Fian emosi seperti biasanya. Udara dingin sudah tidak terasa karena hangatnya pelukan Reva. Fian selalu berandai-andai bisa setiap hari seperti ini bersama Reva pasti hidupnya akan lebih berwarna.
Saat berhenti di lampu merah, Fian mencoba untuk menatap ke arah belakang, namun sialnya sangat susah. Karena tidak bisa, Fian kembali menegakan tubuhnya menatap ke arah depan. Sedang asik menatap ke depan Fian dikagetkan oleh teguran seseorang dari arah samping. Fian menoleh, dia membuka kaca helm untuk bertanya.
"Mas, pacarnya tidur tuh kayaknya nyenyak banget, takutnya jatuh nanti pas jalan."
Mendengar ucapan itu Fian refleks menoleh sebisanya. Dan benar saja wanita di belakangnya tertidur pulas. Selelah itulah?
"Terima kasih, Mbak, kita emang lembur di kantor, kecapean. Terima kasih sekali lagi," ujar Fian dengan sopan.
Sebelum lampu berubah menjadi hijau, Fian mengeratkan pelukan Reva pada perutnya, bahkan Fian memegangi agar tidak tiba-tiba terlepas. Posisi Reva yang tidur membuat Fian sangat awas dan hati-hati. Jika biasanya dia menaikan laju kecepatannya, berbeda dengan sekarang dia justu memperlambat.
Mau selambat apapun perjalanan, kalau semuanya dinikmati akan terasa sangat cepat, begitulah yang Fian rasakan sekarang. Tiga puluh menit dia menghabiskan waktu, tetapi rasanya seperti sepuluh menit. Sesampainya di depan rumah Reva, Fian menatap rumah di sampingnya dengan datar. Sepi, bahkan gelap. Bisa dipastikan kalau orangtua Reva masih berada di rumah sakit.
Tangan Fian kembali menyentuh tangan Reva, dia mengusapnya dengan lembut, sesekali menepuk agar wanita di belakangnya terbangun.
"Re, kita udah sampai."
"Bangun dulu, Re, nanti lo bisa lanjutin tidur di kamar."
"Reva?" Fian menepuk-nepuk tangan Reva beberapa kali.
Tepukan di tangannya membuat Reva tersentak kaget lalu dia membuka matanya dengan sempurna. Sebentar? Di mana ini? Tanpa merubah posisi Reva melirik ke kanan dan kiri lalu pandangannya jatuh kepada sandaran kepalanya.
"Reva?"
"Astaga!" Reva memekik saat mendengar suara itu, buru-buru dia turun lalu menatap ke arah pria yang kini tersenyum lebar ke arahnya.
Berbeda dengan kepanikan Reva, sedangkan Fian terkekeh geli. Sebelum keduanya mengeluarkan suara, Fian ikut turun dari motor lalu melepaskan helm yang berada di kepala Reva. Jarak keduanya sangat dekat, rasanya ingin sekali Fian merengkuh tubuh ramping di depannya.
"S-sorry, Re, aku cuma mau bantu bukain kok," ujar Fian dengan gugup.
Walaupun ikut salah tingkah, tetapi Reva berusaha mengendalikan dirinya lalu tersenyum ke arah Fian. "Fian, maaf banget ya aku ketiduran, kamu kenapa ga bangunin aku sih? Pasti pegel ya punggungnya?"
"Engga sama sekali, Re, santai aja. Kamu capek banget ya? Yaudah sekarang masuk, habis itu istirahat supaya besok bisa fresh lagi."
Reva membalikan tubuhnya menatap rumah yang sangat gelap, lalu dia kembali menatap Fian. "Gelap banget, kamu mau tolongin aku ga, Fi? Temanin aku masuk buat nyalahin lampu aja, hehe."
Jiwa boleh bar-bar, tapi Reva tetaplah wanita penakut kalau sudah berurusan dengan malam apalagi melihat rumahnya gelap tanpa ada satu cahaya pun. Fian mengangguk, dengan senang hati dia membantu Reva. Setelah membuka helm, Fian berjalan lebih dulu membuka gerbang lalu masuk. Boleh jadi Reva takut, ini benar-benar gelap!
"Kalau lampu udah nyalah kamu berani sendiri, Re?"
"Ya jangan gitu ngomongnya!" sahut Reva sambil memukul pelan punggung Fian. Alih-alih meminta maaf, justru pria di depannya sangat puas tertawa.
"Kamu ga bakal minta aku temanin sampai tidur, 'kan?"
"Kalau minta gimana?"
"Kita nikah dulu, Re."
Reva meringis mendengar jawaban Fian. Tidak salah, dan memang seperti itu yang benar. Tapi entah kenapa Reva seperti tersentil walaupun Fian tidak menyindir.
"Jangan dimasukin hati, Re, aku bercanda."
***
Layaknya singa yang ingij menerkam, sudah dua jam lebih kegiatan Sean hanya menatap pintu lalu jam di dinding. Wajah dingin yang terpancar benar-benar menandakan kalau dia sedang dalam emosi yang tinggi. Sean bangkit dari sofa lalu dia berjalan ke arah meja untuk mengambil ponselnya.
Tidak membutuhkan waktu lama, dia langsung mendapatkan kontak yang sedang dicari. Dipencetnya kontak tersebut, lalu dia menempelkan ponselnya ke telinga.
"Dua jam lebih, ke mana kamu? Mau menghindar?"
'...'
"Saya ga terima alasan apapun, Reva!"
'...'
"Hari ini kamu udah buat saya marah, Reva."
'...'
"Kata maaf ga ada di kamus hidup saya!"
Tut!
Sean mematikan sambungan telepon itu secara sepihak, lalu dia melempar benda pipih miliknya ke atas ranjang. Hanya karena Reva, moodnya seharian rusak, bahkan Jihan sempat terkena imbas. Sean mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Pernikahannya tinggal menghitung hari, tetapi banyak sekali masalah yang menghimpit.
Berbeda dengan Sean yang sedang kalut, sedangkan Jihan tengah menangis sambil memejamkan matanya. Baik ayah atau mamahnya sudah mencoba untuk bertanya namun putrinya enggan untuk membuka suara. Windi memeluk tubuh Jihan yang terbalut selimut tebal. Anaknya mau menikah, tetapi banyak sekali cobaan yang membuatnya menangis.
"Kasih tau Mama, kamu kenapa, Han? Mama ga suka liat kamu nangis begini, kamu itu harusnya happy."
"Gimana aku bisa happy, Mah? Yang ada aku capek," jawab Jihan dengan suara seraknya. Sudah satu jam dia menangis, bahkan matanya sudah sangat berat.
"Iya, apa yang bikin kamu capek? Kamu lagi ada masalah apa?"
Semakin ditanya, isakan Jihan semakin menjadi-jadi, tentu saja itu membuat Windi bingung harus berbuat apa. Windi membenarkan posisi tubuhnya saat Jihan ingin duduk. Wajah memerah, mata sembab, air mata terus mengalir, membuat Windi ikut sedih menatap putrinya.
"Aku ragu sama Sean, Mah, ragu banget."
"Sean? Jadi kamu lagi ada masalah sama Sean, Han? Kenapa?"
"Sean sekarang berubah udah ga kayak dulu. Pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi, tapi dia masih santai bahkan terkesan ga perduli, Mah."
Windi tersenyum sambil merengkuh tubuh Jihan ke dalam pelukannya. Sebagai seorang Ibu, Windi bisa merasakan kesakitan anaknya. Akhir-akhir ini Jihan memang sering sedih, murung, bahkan dia tidak ada niat untuk mengecek persiapan pernikahannya. Sangat jauh dengan dulu, kalau dulu dia sangat antusias bahkan setiap hari bertanya.
"Mama tau kamu sedih, Mama tau kamu kecewa. Tapi apa kamu udah liat dari sudut pandang Sean? Mungkin aja Sean lagi sibuk di kantornya? Kesibukan yang urgent dan kamu ga tau."
"Kalau dia sibuk, pasti kasih tau, Mah."
"Man-"
"Apa Sean udah ga cinta sama aku ya? Apa Sean udah punya wanita lain, Mah?"
***