Hari-hari telah berlalu, situasi tegang sudah mulai berangsur mereda. Walaupun kondisi ayahnya belum sadar, setidaknya Reva bisa menguatkan diri. Bukan hanya soal orangtuanya, hubungan Reva dan Sean pun kembali seperti biasa. Selama di kantor, Sean tidak lagi menganggu, bahkan dia terkesan acuh. Sebetulnya hal itu membuat Reva lega, dan semoga saja bosnya segera melupakan tawaran yang pernah dia ajukan.
Melihat teman di sampingnya melamun membuat Nisa menyenggol pelan. "Re?"
"Kenapa, Nis?" tanya Reva, sambil menatap Nisa yang duduk di sampingnya.
Nisa berdecak sambil membenarkan jepitan di rambutnya yang mulai berantakan. "Harusnya pertanyaan itu buat lo sih, Re. Akhir-akhir ini lo beda, beda banget. Apa ya? Ga ada lagi Reva yang rusuh, banyak tingkah dan bacotan. Lo jadi pendiem, sumpah ga cocok."
"Satu lagi, Re!" Nisa menggoyang-goyangkan lengan Reva, "Fian habis curhat sama gue, apa iya lo nolak dia? Kalau iya, lo gila, Re. Kurang apa si Fian? Ngejar lo bertahun-tahun, rela di gantung. Andai aja dia tipikal cowok ga benar, udah pasti dia kabur. Coba lo liat sekarang? Apa ada dia beranjak?" sambungnya.
Perkataan Nisa benar-benar membuat Reva terpojokan. Tidak salah, semua benar dan fakta. Sebetulnya Reva tidak menolak, dia hanya memberi jalan kepada Fian agar mencari wanita lain, karena pria sebaik Fian sangat tidak cocok untuk dirinya, fikir Reva.
"Dia itu tulus sayang sama lo, Re. Apa sih yang bikin lo ragu sama dia? Coba kasih tau gue deh."
Reva menggelengkan kepalanya. "Engga ada, Nis, sama sekali ga ada. Dia emang baik, bahkan terlalu baik. Dia juga selalu ada kalau gue kesusahan, pokoknya garda terdepan banget."
"Lalu? Apa yang bikin kalian stuck di zona friendzone?"
'Karna gue ga sebaik yang dia fikir, Nis,' batin Reva.
"Gue kenal lo udah lama, gue tau lo wanita baik-baik, begitupun Fian. Gue juga tau kalau kalian saling suka, bahkan gue tau kalau lo juga punya rasa sama dia, tapi kehalang rasa ragu."
Reva tertawa kecil, apa katanya? Wanita baik-baik? Demi apapun Reva tidak bisa membayangkan jika seandainya Nisa tahu apa yang sudah terjadi dengan dirinya di belakang, apa wanita di sampingnya masih tetap berfikir seperti itu? Atau dia akan menariknya? Berbeda dengan Reva yang tertawa, sedangkan Nisa menatapnya dengan bingung. Apa ada yang melawak? Kenapa temannya tertawa?
"Gue rasa lo lagi ga waras, Re, makanya sini cerita jangan dipendam."
'Kalau gue cerita, apa lo masih mau anggap gue sahabat?' Lagi-lagi Reva hanya bisa melontarkan pertanyaannya di dalam hati, pertanyaan yang tidak akan bisa dijawab sampai kapanpun.
"Sebaik Fian lo tolak, pria brandal macam apa yang lo terima?"
***
Pekerjaan menumpuk, belum lagi banyak meeting tertunda walaupun sebagian sudah asistennya handle. Yang membuat kepala semakin pusing, ocehan dari wanita di sebrang sana! Untung saja tunangan, coba bukan? Habis sudah mulut biadab Sean memaki. Sudah satu minggu ini dia harus bekerja ekstra sebelum hari pernikahannya.
Ponsel yang masih menempel di telinga, ocehan yang terus terdengar, membuat Sean memijat-mijat pangkal alisnya.
"Bisa aku matikan dulu teleponnya? Aku yakin kamu bisa urus semuanya, Jihan, aku percaya sama kamu."
"Kerjaan aku masih banyak, kalau terus dibiarkan akan semakin menumpuk dan kacau. Kamu ga mau 'kan imbasnya ke pernikahan kita?"
'...'
"Oke kalau begitu, kamu hati-hati ya."
Tut!
Tanpa menunggu respon lawan bicaranya, Sean langsung mematikan sepihak lalu melempar ponselnya ke atas meja. Baru saja tangan dan matanya ingin fokus kembali, namun suara ketukan pintu membuat Sean mengumpat dalam hati.
"Masuk!"
"Permisi, Pak."
Sean menatap pria yang menggunakan jas berwarna abu-abu mulai mendekat. Itu adalah Fian, asisten pribadinya yang akhir-akhir ini mempunyai banyak tugas. Untung saja kinerja Fian sangat bagus, setidaknya Sean merasa lebih tenang.
"Ada apa lagi?"
"Hari ini meeting saya yang handle atau bagaimana, Pak? Kita ada meeting bersama Darstar Crop jam sepuluh."
Sean mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja, pandangannya masih terus tertuju kepada Fian. "Urus semuanya hari ini, untuk meeting yang batal tolong besok dibuat kembali."
Fian mengangguk patuh. "Kalau begitu saya permisi, Pak."
"Fian tunggu!"
Baru beberapa langkah Fian berjalan, dia kembali membalikan tubuhnya menatap Sean. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?"
"Panggilkan Reva, suruh dia ke sini temuin saya."
"Reva? Reva bag-"
"Admin."
Fian terdiam sesaat. Lagi-lagi Reva, sebetulnya ada hubungan apa antara Sean dan Reva? Ingin Fian bertanya, namun keinginan itu dia urungkan mengingat orang di depan adalah bosnya.
"Silahkan ke luar."
Fian mengangguk, lalu dia melangkahkan kakinya ke luar ruangan Sean untuk menemui Reva. Seminggu full ini Sean tidak ada komunikasi khusus dengan Reva, tetapi kali ini dia butuh obat agar suasana hatinya membaik.
Berbeda dengan Sean yang tersenyum, sedangkan Fian berjalan dengan gamang. Dia ragu, haruskah masuk lalu memanggil Reva untuk ke ruangan Sean? Tetapi kalau tidak dilakukan, dirinya akan terkena masalah.
"Yaampun, Fian!"
Fian menerjapkan matanya beberapa kali saat suara nyaring itu terdengar di telinganya.
"Lo ngapain berdiri di sini anjir?"
Fian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Reva ada di dalam, Nis?"
Kening mulus Nisa mengerut, dia kembali mundur lalu melihat ke arah dalam ruangannya. "Agak ga lucu kalau lo ga liat Reva lagi duduk di bangku, Fi."
"Basa-basi lo ya? Mau gue panggilin? Rev-" Belum sempat Nisa memanggil, tangan kekar Fian sudah lebih dulu menutup mulutnya membuat Nisa memekik sambil memukul lengan Fian.
"Lo bisa santai aja ga? Gue liat dia di dalam, gue ga buta."
"Terus kenapa ga masuk aja?"
Fian menggeleng. "Tolong kasih tau dia, kalau dia di tunggu Pak Sean di ruangannya."
"Pak Sean?" Nisa menatap Fian sambil meraih lengannya. Ini bukan kali pertama Nisa mendengar kalau Sean selalu mencari Reva.
Seperti ada yang aneh, tetapi Nisa tidak berani mengungkapkan takut salah. Nisa menatap lekat wajah Fian, terlihat wajah tidak enak di saja. Wajar, karena Fian menyukai Reva.
"Mereka lagi dekat atau gimana sih? Tapi bukannya Pak Sean beberapa hari lagi mau nikah?" tanya Nisa dengan berbisik.
Satu sentilan berhasil mendarat di kening Nisa. "Tugas lo panggil Reva, lalu kasih tau soal tadi. Gue ada meeting di luar, takut telat."
Fian melepaskan tangan Nisa dari lengannya, setelah itu dia bergegas pergi. Baru saja Nisa ingin masuk, dia tidak sengaja papasan dengan Reva yang ingin ke luar.
"Yaampun, Re, kaget gue! Oh iya, tadi Fian bilang, lo ditunggu Pak Sean di ruangannya."
"Fian? Pak Sean? Sekarang Fian mana, Nis?"
"Tadi baru aja pergi, dia bilang mau meeting."
Reva tertawa gamang mendengarnya. "Dia jadi pendiam sekarang, terus ngejauh juga dari gue."
***