Langkah kaki Reva membawa dirinya ke luar dari mobil. Kali ini dia tidak sendirian, tetapi ada Fian di sampingnya. Pria itu terus merangkul tubuhnya seolah-olah tidak mau kehilangan sedikitpun. Sedangkan Reva, fikiranya benar-benar kacau sekarang, sejak tadi dia menatap kesekitat sambil sesekali melihat jam.
Merasa ada yang berbeda dari Reva membuat Fian berhenti lalu menatap Reva dekan lekat. Parkiran yang sepi, hanya hembusan angin yang menerpa kulit keduanya. Pandangan mata keduanya beradu, tanpa aba-aba Fian langsung memeluk tubuh Reva dengan erat.
"Aku tau kamu capek, Re, aku juga tau kamu bosen sama alur hidup. Tapi Re, aku ada di sini, aku akan terus dampingin kamu," bisik Fian tepat di telinga Reva.
Kata-kata sederhana yang Fian lontarkan membuat pertahanan Reva runtuh, dia langsung memeluk balik tubuh Fian dengan erat. Selama ini memang Fian terus membantunya untuk melalui segala rintangan hidup.
"Jangan pernah ngerasa sendiri, Re, jangan. Kalau emang butuh teman berbagi, jangan sungkan." Usapan lembut di punggungnya membuat tangisan Reva semakin jadi.
Mendengar isakan dari Reva membuat Fian tertegun, dia menarik pundak wanita di depannya. Wajah yang memerah membuat Fian tidak tega, perlahan tangannya terulur, dia mengusap lembut pipi Reva.
"Udah ya? Udah jangan nangis lagi, kasihan Ibu kalau liat kamu begini, Re."
Reva mengangguk, dia kembali menundukan wajahnya sambil menyeka air mata yang terus ke luar dari pelupuk matanya. Fian tersenyum simpul, dia menarik dagu Reva menggunakan jari telunjuknya.
'Cup'
Kecupan hangat di bibirnya membuat Reva tertegun. Tidak tahu apa yang harus diperbuat, Reva lebih memilih diam. Menyadari dirinya sudah kelewat batas, Fian langsung menarik wajahnya jauh-jauh. Dia berdeham, menatap kesegala penjuru untuk menetralkan hatinya.
"Re, m-maaf aku ga ada maksud b-"
Reva menyentuh lengan Fian, dia mengangguk paham. "Kita langsung aja ya ke dalam? Kayaknya Ibu lagi di kantin tadi ngabarin."
Lorong rumah sakit yang sepi membuat suasana semakin mencekam. Perdebatan antara otak dan hatinya juga masih terjadi sangat sengit. Tadi saat dia membaca pesan dari Ibunya, Reva juga tidak sengaja membaca pesan dari Sean. Pria itu benar-benar mengingatkan perihal jam.
Sesampainya di depan ruang ICU, Reva sempat meminta izin untuk masuk sebentar. Setelah mendapat izin, dia dan juga Fian langsung masuk. Suara alat yang sangat khas membuat Reva bergidik, dia sangat berharap Ayahnya segera sembuh. Serangan jantung membuat Erwin harus berada di ruang ICU, itu semua karena perusahannya tengah bermasalah.
Tangan Fian terulur, mengusap lembut punggung Reva yang kembali menangis. Walaupun ditahan, tetap saja isakan itu terdengar. "Jangan nangis, nanti Ayah kebangun," bisik Fian tepat di telinga Reva.
"Lekas sehat, Yah, biar bisa pulang." Reva mengusap lembut lengan Erwin.
Setelah puas menatap sang Ayah, Fian mengajak Reva untuk ke luar karena ini bukan jam besuk. Walaupun berat, tetapi Reva tetap mengikuti langkah kaki Fian untuk ke depan. Kaki yang tiba-tiba lemas membuat Reva memilih untuk duduk di bangku.
"Muka kamu pucat banget, Re. Aku ke kantin sebentar ya beli minum sama roti? Pokoknya kamu diam aja di sini." Tanpa menunggu jawaban Reva, Fian berlari kecil untuk segera sampai ke kantin. Dari jalur berlawanan, Ayu muncul sambil menatap Reva.
"Bu? Katanya dari kantin?"
"Iya tadi udah, terus ke kamar mandi. Kamu sama siapa ke sini?"
"Sama Fian, Bu, tapi dia ke kantin beli minum."
Ayu mengangguk-anggukan kepalanya. Reva yang sedang menahan sakit di kepala sampai tidak sadar kalau dirinya di tatap oleh sang Ibu secara lekat. Tangan Ayu terulur menyentuh telapak tangab Reva.
"Kamu capek ya, Re?"
Ingin sekali Reva berteriak iya, namun sayangnya dia tidak bisa melakukan itu. Sambil tersenyum, dia memeluk tubuh Ayu dengan erat. Ingin sekali Reva bercerita tetang lelahnya, akan tetapi Ayu pasti lebih lelah. Reva tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Ayah dan Ibunya mengetahui kelakuan Reva untuk mendapatkan uang.
"Re? Kamu dapat uang sebanyak itu dari mana?"
Telak. Reva terdiam dalam pelukan Ayu. Dari semua pertanyaan, tentu ini lah yang Reva hindarkan.
"Tapi, Re, sebagian uangnya Ibu bayar untuk hutang di kantor Ayah."
"Uangnya habis, Bu?" Reva mendongakan wajahnya menatap Ayu. Tidak ada respon dari sang Ibu membuat Reva menghembuskan napasnya.
"Tenang aja, Bu, pasti ada jalan kok nanti." Reva tersenyum, dia berusaha untuk menguatkan Ayu. Karena saat ini, kesehatan sang Ibu juga sangat penting.
Langkah kaki Fian melambat, dia menatap dari kejauhan Ibu dan anak yang sedang berpelukan. Dua wanita rapuh, tetapi mencoba saling menguatkan. Banyak bantuan yang Fian tawarkan, tetapi perempuan itu tetap kekeh tidak mau. Ketika pelukan keduanya mulai mengendur, Fian mendekat. Ayu yang menyadari kedatangan seseorang langsung menoleh.
"Nak Fian? Duduk sini." Ayu menepuk tempat kosong di sebelah Reva. Senyum Fian mengembang, dia menuruti apa kata Ayu.
"Apa kabar, Bu?"
"Ibu baik, Fian. Makasih ya kamu udah anterin Reva ke sini, maaf jadi merepotkan."
Fian menggelengkan kepalanya. "Sama sekali engga, Bu, dari siang Fian emang ajakin Reva buat ke sini. Oh iya, Re, ini diminum dulu."
Sambil membenarkan posisi duduknya Reva menerima botol pemberian Fian. "Makasih ya, Fi."
Hanya anggukan yang Fian berikan, dia kembali fokus kepada pertanyaan Ayu. Melihat kedekatan Fian sama Ibunya membuat hati Reva menghangat.
***
Sean memukul setir mobilnya dengan kencang. Sudah tiga puluh menit dia menunggu, namun wanita itu sama sekali tidak kelihatan. Beberapa kali Sean menelepon, namun sialnya selalu dimatikan.
'Ting!'
Mendengar suara notifikasi membuat Sean buru-buru membuka ponselnya. Bukan nama Reva yang tertera, tetapi Jihan. Karena tidak mood, Sean lebih memilih untuk mengabaikannya. Suara ketukan jari di atas setir menjadi pemecah keheningan di dalam mobil.
Senyum Sean seketika mengembang saat matanya melihat seorang perempuan berjalan ke arah mobil miliknya. Rambut panjang terurai, membuatnya semakin cantik.
Belum sempat wanita itu mengetuk jendela, Sean sudah lebih dahulu membuka pintu kemudi dari dalam. Terlihat keraguan dari Reva, namun tidak membuat wanita itu diam mematung.
"Maaf saya lama, soalnya masih ada Fian."
Sean berdecih, lagi-lagi nama Fian.
"Ada apa? Bapak mau apa lagi? Mau ngancem saya? Pak, pekerjaan saya sudah selesai, tugas saya sudah selesai, kenapa Bapak masih cari saya?" Reva menatap wajah Sean dengan seksama. Ke luar sudah semua unek-uneknya yang terpendam.
"Sudah saya bilang, kamu belum menjalankan tugas dengan baik."
"Bukannya itu salah Bapak? Pak, kalau tahu semalam tamunya Bapak, jujur saya ga akan mau."
"Saya masih hargai Jihan," guman Reva.
***