Jika biasanya menjadi hal menyenangkan ketika pergi bersama Sean, namun kali ini sangat berbeda. Walaupun terlihat cuek atau tidak mempermasalahkan, sebagai seorang wanita Jihan paham betul situasi kurang mengenakan ini. Ingin sekali menegur, namun rasanya sangat malas. Bagaimana tidak malas, pasti jawabannya hanya satu, yaitu tidak apa-apa, semua baik.
Huh! Andai saja mulutnya bisa berteriak, sudah pasti Jihan akan mengeluarkan suara melengking khasnya. Tidak ingin terpancing, Jihan lebih memilih menatap piring yang berisi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi hinggap kini perlahan memudar. Jihan menaruh sendok dan garpunya ke piring, membuat Sean menatap.
"Kamu kenapa sih, Han?" Sebelah alis Sean terangkat menatap Jihan dengan bingung.
Kenapa katanya? Haha, lelucon macam apa yang sedang Sean lontarkan? Jihan tidak menjawab, dia masih diam tanpa menatap Sean. Melihat perubahan Jihan membuat Sean berfikir, apa tindakannya hari ini sudah salah? Karena tidak biasanya Jihan seperti ini.
Sean bangkit, lalu mendekat ke arah Jihan dan memeluknya dari belakang. Untung saka Sean memilih ruangan vvip, jadi dia bebas mau melakukan apa saja tanpa ada penghalang sedikitpun. Kecupan singkat Sean berikan, namun itu tidak membuat Jihan luluh.
"Kamu kenapa, sayang? Aku ada salah? Kalau memang iya, aku minta maaf ya? Jangan diam kayak gini," bisik Sean tepat di telinga Jihan.
"Kamu tuh ngeselin tau ga?! Kamu itu serius ga sih sama pernikahan kita? Kenapa semakin hari kamu semakin acuh? Dua minggu lagi, Sean, dua minggu!"
Habis sudah kesabaran Jihan, dia menepis tangan Sean dari lehernya. Bukan hari ini saja yang membuat Jihan bete, tetapi hari-hari kemarin. Setiap diajak untuk berdiskusi soal pernikahan, pria itu selalu menolak dengan alasan banyak pekerjaan. Dan sekarang? Dia pun acuh lalu membiarkan Jihan mengurus semuanya!
"Aku minta maaf, aku lagi banyak kerjaan di kantor makanya kurang fokus. Aku janji, ga akan ulangin ini lagi. Kamu benar, dua minggu lagi kita mau menikah."
"Terserah apa kata kamu, aku udah capek. Habis dari sini bisa antar aku ke rumah Reva? Aku butuh teman cerita."
Masih dalam posisi di belakang Jihan, Sean menaikan sebelah alisnya. Ke rumah Reva? Maksudnya mereka bertiga akan bertemu dalam satu atap? Sebetulnya Sean senang-senang saja karena itu artinya dia bisa bertemu Reva. Akan tetapi, apa bisa dirinya mengontrol sikap nanti?
Jihan menoleh ke arah belakang karena Sean hanya diam tidak menjawab. "Kamu kalau ga mau anter, dan lebih pilih kerjaan, ya gapapa loh aku bisa ke sana naik taksi aja."
"Aku anter." Sean mengusap pucuk kepala Jihan dengan lembut, setelah itu dia kembali duduk lalu melanjutkan makannya yang tertunda.
Berhubung selera makan Jihan sudah hilang, dia lebih memilih diam sambil memperhatikan sang calon suami makan dengan lahap. Padahal yang sibuk mengurus, tanya sana sini ya dirinya! Tetapi lihatlah sekarang, rasa lelah justru sangat tergambar di wajah Sean.
"Kamu ga mau makan dulu, Han? Udah sore loh ini, nanti kalau sakit gimana?"
"Sakit hati aja udah sering, masa sakit perut doang ngeluh," sahut Jihan dengan cepat, bahkan dia tidak menoleh sedikitpun.
Sean terkekeh, dia tidak tersinggung, toh sejak tadi omongan Jihan tidak ada yang Sean dengarkan. Baru seperti itu saja sakit hati, ckckck!
Mendengar Sean tertawa geli membuat Jihan menatapnya dengan datar. "Ada yang lucu ya? Padahal omongan aku itu benar loh, udah beberapa hari ini kerjaan kamu bikin aku narik darah."
"Iya, aku minta maaf. Ga lagi-lagi, dan ga akan mengulangi."
"Bullshit," guman Jihan dengan suara pelan, bahkan suara itu seketika hilang terbawa angin yang merpa entah dari mana.
***
Suara bel yang berbunyi membuat Reva menghentakan kakinya ke lantai. Apa tidak bisa sehari saja dirinya istirahat tanpa gangguan dari siapapun? Padahal dulu, me time menjadi hal mudah yang Reva dapatkan. Masih dengan perasaan kesal, dia bergegas untuk membukakan pintu.
Saat pintu terbuka pupil mata Reva membulat dengan sempurna. Jihan? Sean? Apa apa mereka berdua datang ke rumahnya? Berbeda dengan Jihan yang langsung memeluk, sedangkan pria di belakangnya hanya diam sambil menatap dengan lekat. Rasanya baru beberapa jam menghilang dari Sean, kenapa semesta kembali mempertemukan?
"Re, maaf ya kalau aku ga ngabarin? Untung aja kamu ada di rumah. Aku bete sama Sean, Re, dia tuh ngeselin!" Jihan mengadu layaknya anal SD yang menjadi bahan bullyan. Mendengar aduan Jihan membuat Reva kalang kabut sendiri.
Sudut bibir Sean terangkat saat menatap wajah panik Reva. Walaupun keduanya diam tanpa bertegur sapa, Sean sangat tahu apa isi otak Reva saat ini.
"Kamu sibuk, Re?"
"Hah? E-engga kok! Ayo masuk, Han, Pak S-sean," ajak Reva dengan suara terbata-bata ketika menyebut nama Sean.
"Ayolah, Re, ini bukan kantor kalian. Bisa jangan formal gitu ga? Anggap aja kita bertiga tuh saudara, kalian kebiasaan formal sih!" Jihan mendengus kesal, lalu masuk ke dalam tanpa memperdulikan kedua orang di belakangnya.
Jihan memang sudah biasa ke sini, maka dari itu dia tidak sungkan dan malu lagi. Sean berjinjit, dia memastikan kalau Jihan sudah menghilang dari pandangannya. Setelah aman, Sean maju dua langkah, dia mengikis jaraknya dengan Reva. Karena tidak ingin membuat masalah, Reva mundur selangkah.
Reva mengumpat dalam hati saat Sean menahan pinggangnya agar tidak bergeser semakin jauh. Perlahan jarak keduanya mulai menghilang, Sean mengecup singkat bibir Reva lalu dia memamerkan senyuman khasnya.
"Jangan tegang seperti itu," bisik Sean tepat di telinga Reva, "karna itu buat saya semakin ing-"
"Tolong jangan buat masalah, di sini ada Jihan," potong Reva dengan cepat.
Tanpa menunggu jawaban Sean, Reva kembali membalikan tubuhnya lalu masuk ke dalam untuk menghampiri Jihan yang tengah rebahan di sofa ruang tamu. Reva mendekat, lalu dia duduk di samping Jihan.
"Kamu kenapa, Han? Kok nangis?" tanya Reva dengan hati-hati. Tunggu dulu! Apa Jihan melihat semua perlakuan Sean tadi? Kalau sampai iya, habis sudah hidupnya.
Jihan menggelengkan kepalanya. "Aku lagi bingung aja, Re. Dua minggu lagi aku mau nikah, tapi hari-hari menuju itu diisi sama keributan doang. Aku jadi ragu, apa Sean udah ga cinta sama aku ya?"
Tersindir, itulah yang Reva rasakan sekarang. Apa Sean berubah karena dirinya? Demi apapun, Reva sangat tidak tega melihat Jihan yang biasanya ceria menjadi murung seperti ini.
"Apa yang bisa aku bantu, Han?"
"Engga ada, Re, bisa curhat sama kamu aja aku udah senang."
Saat Sean masuk, pandangan mereka beradu. Tidak ada raut takut, bersalah, atau apapun di wajahnya. Yang ada hanya wajah tenang yang Sean tampilkan.
***