"Are you okay, Re?"
Pertanyaan yang tiba-tiba terlontar untuk dirinya membuat Reva panik sendiri. Dia berdeham sembari membenarkan posisi duduknya menatap Fian. Iya, dia ke kafe memang menemui Fian karena pria itu yang mengajak. Walaupun tubuhnya lelah, dia tetap mengiyakan permintaanya karena tidak enak.
"Reva?"
"Im okay, Fi. Oh iya, ada apa nih? Apa yang mau kamu omongin sama aku?"
Fian tidak langsung menjawab pertanyaan Reva, dia lebih tertarik diam sambil terus menatap wajah wanita yang selama ini memenuhi hati dan otaknya. Bagi Fian, Reva sangat sempurna. Selain paras, hatinya tidak kalah sempurna.
"Fian?" tegur Reva.
"Re, sebetulnya aku mau nagih jawaban kamu. Seandainya kamu mau terima, kita bisa persiapkan semuanya. Reva, kita bukan anak remaja lagi, kita udah dewasa, aku juga ga butuh status pacar, aku mau kita mulai kehidupan yang lebih serius," ujar Fian dengan lugas. Rasanya sudah cukup satu tahun dia menunggu, kali ini hatinya kembali meminta jawaban.
Deg.
Untung saja tangan Reva tidak langsung melepaskan dari gelas. Kalau itu terjadi, pecah sudah. Lagi-lagi soal perasaan, kalau sudah seperti ini Reva tidak tahu harus berbuat apa. Rasa sayang itu ada, rasa nyaman pun ada. Tetapi kini semuanya sudah berbeda, dirinya sudah kotor, bahkan sudah terjebak dengan pria lain.
Seandainya Fian mengetahui ini, Reva bisa membayangkan raut kekecewaan itu. Sekalipun Reva tidak bilang dan nekat menerima Fian, itu sama saja dia bunuh diri menghadapi Sean.
"Aku butuh jawaban kamu, Re, apapun itu akan aku terima. Tapi yang jelas, aku berharap kamu punya rasa yang sama ke aku." Fian meraih tangan Reva yang berada di atas meja.
"Kenapa harus aku, Fi? Banyak wanita lain di luar sana yang lebih baik dari aku, bahkan kamu bisa cari yang bisa hargain, ga kayak aku. Ak-"
"Pak Sean, Re? Apa kamu lagi dekat sama Pak Sean? Reva, Pak Sean mau menikah sama Jihan kalau kamu lupa."
Reva tertawa kecil sambil menarik tangannya dari genggaman Fian. Yang Fian katakan tidak salah, justru itu fakta paling nyata yang harus dihadapi. Tanpa perlu penekanan, Reva sudah sadar. Sebetulnya dia ingin pergi, dia juga tidak ingin terjebak, tetapi sayangnya pilihan itu tidak ada untuk saat ini.
"Aku sama Pak Sean ga ada hubungan apa-apa, Fi, murni karyawan dan bos aja. Lagipula kamu tau sendiri aku sedekat apa sama Jihan, 'kan? Bahkan Jihan bilang, dua minggu lagi mereka akan menikah." Reva tersenyum menatap Fian dengan lekat.
"Tapi, Re, beberapa kali Pak Sean selalu tanya soal kamu ke aku."
Mampus sudah. Kali ini, apa sih yang pria itu mau? Bukankah dia sendiri yang bilang kalau masalah ini harus ditutup rapat-rapat? Tetapi kenapa dia yang main api lebih dulu?
"Entah. Yaudah, Fi, aku pulang duluan boleh? Mumpung libur, aku mau habisin waktu sendiri sama ke rumah sakit nanti."
"Apa jawaban kamu, Re? Kamu masih ga mau jawab?" Fian menahan tangan Reva agar wanita di depannya tidak pergi.
Perlahan namun pasti, Reva menurunkan tangan Fian dari pergelangan tangannya. "Untuk saat ini aku belum bisa jawab apa-apa, Fi. Jujur aja fokus aku lagi ke keluarga. Kalau kamu mau, kamu bisa cari wanita lain. Aku minta maaf, aku duluan."
Setelah mengatakan itu Reva bergegas pergi tanpa menunggu jawaban Fian. Reva sadar, perkataan dan sikapnya tadi akan membuat Fian sakit hati dan berfikir yang tidak-tidak. Tetapi mau bagaimana lagi? Otaknya lelah, begitupun tubuhnya. Tidak membutuhkan waktu lama, Reva memberhentikan taksi yang melintas.
Berbeda dengan Reva, sedangkan Fian hanya diam tanpa mengeluarkan tindakan apapun. Jawaban Reva sungguh di luar ekspektasi, bahkan Fian tidak menyangka kalau Reva akan seperti tadi. Seperti ada yang berbeda, Fian merasa kalau Reva sedikit menjauh.
Apakah ini artinya sudah tertolak? Tidak ada harapan? Haruskah Fian merayakan patah hati sebelum memulai? Sial!
***
Kamar bernuansa putih, kasur yang nyaman, benar-benar membuat Reva tersenyum lega. Beberapa hari berurusan dengan Sean membuatnya sangat jarang pulang ke rumah. Kali ini Reva masih aman, tetapi tidak tahu kalau orangtuanya sudah kembali dari rumah sakit.
Kelopak mata Reva perlahan terbuka, dia menatap atap langit-langit kamarnya dengan gamang. Tanpa ada angin atau hujan, tiba-tiba wajah Sean terlintas di dalam otak Reva. Reva memang sudah lama kenal dengan bosnya itu, bahkan Reva tidak mempunyai perasaan lebih.
Jika difikir-fikir, Sean memang mempunyai wajah yang sempurna untuk kalangan kaum hawa. Wajah ganteng, kulit putih, tubuh tegap dan tinggi benar-benar membuat semuanya ingin berada di posisi Jihan, calon istrinya.
Ting!
Lamunan Reva buyar ketika ponselnya berbunyi. Masih dengan rasa malasnya, Reva menyisir sisi kanan dan kiri tubuhnya. Setelah mendapatkan benda pipih tersebut, Reva langsung membaca notifikasi pesan tersebut.
"Sean?" guman Reva saat dia membaca nama yang tertera.
Chat from : Sean Dewanda Navvyzi
"Kamu di mana, Re?"
Kening Reva mengerut, sejak kapan pria dingin itu perduli pada dirinya? Bukankah tadi pagi dia bilang pergi bersama Jihan? Kenapa dia sangat berani menghubungi dirinya? Belum sempat jari-jari Reva mengetik balasan, satu chat baru kembali muncul.
Sean Dewanda send a picture.
Seperti ada yang menarik paksa sudut bibirnya, Reva tersenyum menatap foto yang baru saja Sean kirimkan. Bukan foto aneh-aneh, tetapi itu foto Sean dengan wajah suntuk.
Sean calling.
'Pria aneh,' guman Reva ketika melihat Sean meneleponnya. Tanpa menunggu lama dia langsung mengangkatnya.
'Kenapa ga balas pesan saya? Memangnya pesan saya koran? Majalah?'
"Gimana saya mau balas kalau Bapak udah lebih dulu kirim pesan dan telepon?"
'Reva, ingat perjanjian kita.'
Reva meringis merutuki kobodohan yang baru saja dia perbuat.
"Iya, maaf. Ada apa telepon? Bukannya lagi sama Jihan?"
'Iya, tapi saya di toilet. Kamu belum jawab pertanyaan saya, Reva, kamu di mana?'
"Aku di rumah."
'Hem, begitu? Saya kangen sama kamu, Reva. Bahkan kalau bisa memilih, saya lebih pilih di apartemen sepanjang hari sama kamu.'
Reva menggigit bibir bagian bawahnya, dia benar-benar tidak menyangka kalau Sean akan mengatakan hal seperti itu.
"Aku matikan teleponnya ya? Selesaikan urusan kamu sama Jihan, jangan sampai dia curiga."
'Setelah ini baru urusan kita, bukan begitu? Baik, saya tidak butuh jawaban kamu, nanti saya kabari lagi.'
Tut!
Sambungan telepon terputus, Reva menatap layar ponselnya yang mulai meredup. Apa katanya tadi? Kangen? Sungguh lucu. Yang lebih lucu, kenapa juga sekarang jantungnya berdetak sangat kencang? Sadar, Reva!
Tidak jauh berbeda dengan Reva, senyum Sean pun mengembang saat layar ponselnya kembali padam. Entah perasaan apa yang sedang hinggap, tetapi Sean tidak bisa menyembunyikan itu semua.
"Sayang? Kamu dari mana sih?"
"Oh, hai, maaf aku dari toilet. Bagaimana, sudah selesai semua?" Sean mengusap lembut pipi Jihan.
Jihan tidak langsung menjawab, dia menatap lekat pria di depannya. Sejak tadi mereka pergi, raut wajah Sean sangat datar bahkan terkesan acuh. Ada apa sebenarnya?
***