Salsha meraih ponselnya di atas nakas saat mendengar ponsel itu berdering. Salsha menerima panggilan dari Aldi dan meletakkan ponselnya di telinga.
"Halo." Suaranya serak sehabis bangun tidur. Kepalanya pening dan badannya terasa sedikit panas.
"Masakin nasi goreng trus antar kerumah. S e k a r a n g!" Suara di seberang sana seperti mengancam.
"Tapi Ald, kepalaku sakit banget," keluh Salsha. Bukan bermaksud menolak. Tetapi kepalanya sangat sakit.
"Nggak terima penolakan! Sekarang!"
Sambungan telepon di matikan sepihak. Salsha menghela nafas lelah. Perlahan, ia mulai duduk, memijat kepalanya yang sakit. Dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar menuju dapur.
Dengan pelan-pelan, Salsha memasak nasi goreng sesuai perintah Aldi. Butuh waktu hampir satu jam untuk menyiapkan itu. Selanjutnya Salsha memasukkan nasi goreng itu ke dalam wadah dan menutupnya. Salsha mengambil ponsel dan juga tas di kamar, kemudian mengantar bekal itu kerumah Aldi.
Salsha mengetuk pintu rumah Aldi dengan pelan. Sambil sesekali menyeka teringat yang menetes di dahi. Salsha pergi kerumah Aldi dengan menaiki bus. Salsha juga harus berjalan jauh untuk mendapatkan bus itu.
Pintu rumah Aldi terbuka, lelaki itu keluar tanpa mengenakan baju, hanya celana jeans pendek yang lelaki itu kenakan. Salsha tersenyum menyambut Aldi. Ia ingin masuk namun Aldi menghalanginya.
"Mau ngapain?" tanya Aldi datar.
Salsha mendongak menatap Aldi. Ia menjawab dengan polos sembari menyodorkan bekal yang ia bawa. "Mau masuk. Kita mau makan bareng 'kan?"
Aldi terkekeh jahat. Ia merampas bekal itu dari tangan Salsha. "Pulang!"
Salsha menatap Aldi heran, masih belum mengetahui maksud dari lelaki itu. "Pulang? Aku mau makan itu sama kamu, Ald."
Aldi menggeleng, ia tersenyum jahat. "Ogah! Pulang sana. Aku mau makan sendiri."
Salsha memasang puppy eyesnya. "Tapi aku mau makan bareng, Ald. Aku udah capek masakin itu, loh."
"Nggak ikhlas?" Aldi menyodorkan kembali bekal itu. "Ambil, gue nggak butuh."
Salsha mundur kembali menggeleng. "Oke, kamu makan sendiri. Tapi aku masuk, ya? Aku kangen."
Aldi kembali menggeleng. Ia melangkah ke depan dan menutup pintu rumahnya. Ia bersidekap dada. "Pulang sekarang! Ada Mama di dalam."
Salsha menggeleng lesu, ia tak mau pulang sendiri. "Antar aku pulang, ya?" Salsha memegang lengan Aldi namun langsung di tepis oleh lelaki itu dengan kasar.
"Punya mata punya kaki, nggak bisa pulang sendiri? Nggak usah nyusahin." Aldi meraih sesuatu di kantongnya dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribu di depan Salsha. "Nggak punya ongkos, nih."
Salsha menatap Aldi dengan kecewa. Baru saja tadi di sekolah lelaki itu berlaku kasar kepadanya, sekarang lelaki itu kembali mengulanginya lagi. "Kamu berubah, Ald."
"Kalo nggak suka tinggal putusin, susah amat," respon Aldi. Ia memutar tubuh Salsha dan mendorongnya menjauh. "Sekarang pulang!"
Salsha menggeleng, ia kembali memutar tubuhnya. "Nggak mau. Aku maunya di antar."
"Nggak sudi," cetus Aldi. "Pulang sendiri atau kita putus."
"Nggak mau," respon Salsha cepat. "Aku nggak mau putus."
"Makanya pulang, susah amat."
Salsha menunduk, setetes airmata lolos lagi dari kedua matanya. Ia langsung menepis airmata itu dan menatap Aldi lagi. "Aku udah capek di giniin mulu. Kamu sering banget ngomong putus sama aku seakan-akan nggak ada beban. Aku heran, disini aku yang jahat apa aku yang terlalu bodoh."
"Berisik!" bentak Aldi. Tanpa mengucapkan apapun, Aldi memasuki rumahnya. Tak lupa ia menutup pintu itu dengan keras.
Salsha tersentak, ia menatap pintu itu dengan perasaan sakit. Ia meremas dadanya. Airmatanya lolos lagi. "Yang sabar hati. Semua akan indah pada waktunya."
Salsha kemudian berbalik, melangkahkan kakinya menjauh dari rumah Aldi. Sama sekali tak berniat menyetop taxi ataupun bus yang lewat. Ia lebih memilih berjalan kaki sejauh mungkin. Ia tak ingin pulang kerumah dalam keadaan seperti ini.
Kepala Salsha tambah sakit. Airmatanya juga tak berhenti keluar. Rasanya ia sudah tak kuat menahan sakit hatinya ini. Semakin lama, Aldi semakin kurang ajar kepadanya. Tak ada lagi Aldi yang dulu. Aldinya telah berubah.
Seseorang menyentak lengan Salsha membalikkan tubuh rapuh itu, Salsha terperanjat. Ia mendongak.
"Galang," lirihnya.
Tanpa aba-aba Salsha langsung memeluk Galang. Menenggelamkan wajahnya di dada bilang lelaki itu. Ia memeluk Galang sangat erat sembari terisak. Galang membalas pelukan itu, ia mengusap punggung Salsha naik turun. Sesekali ia juga mengusap kepala Salsha.
*****
Galang mengusap lengan Salsha, berusaha menenangkan gadis itu. Semenjak menemukan Salsha sedang menangis di pinggir jalan dan bahkan sampai sekarang setelah Galang membawanya ke taman, gadis itu masih saja menangis.
Galang sudah tak tahu harus melakukan apa. Ia juga tak tahu apa yang menyebabkan gadis itu seperti ini. Maka, hal yang Galang lakukan adalah mengusap lengan Salsha dan menunggu sampai gadis itu mengatakannya sendiri.
Galang tentu saja emosi melihat keadaan buruk Salsha. Seumur-umur saat mereka bersahabat, baru kali ini Galang melihat Salsha menangis tersedu-sedu. Galang mengepalkan tangannya. Sudah sejak lama, Galang menjaga dan melindungi gadis itu. Dan ia tak akan biarkan Salsha di perlakukan seperti itu.
Salsha menepis airmatanya. Ia sudah lelah menangis. Salsha mencoba tersenyum menatap Galang Walaupun perasaannya masih sangat sakit. Salsha memegang lengan Galang "Anterin gue pulang."
Bola mata Galang hampir keluar dari matanya. Ia tak menyangka, hampir satu jam ia menemani Salsha disini, gadis itu malah meminta di antar pulang.
"Nggak mau!" tolak Galang tegas. "Kasih tahu dulu lo habis ngapain. Baru gue antar pulang."
Salsha tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Galang. Salsha tahu Galang dan Aldi mempunya sifat yang sama, mudah emosi. Ia tak ingin nantinya Galang memberi perhitungan kepada Aldi.
Salsha bangkit dari duduknya. "Gue nggak papa. Dan kalo lo nggak mau nganter, gue bisa pulang sendiri."
Galang menghela nafas saat Salsha malah menjauhinya. Galang mengejak Salsha dan menahan lengan gadis itu. "Lo kenapa?" tanya Galang lagi, kali ini lebih tegas. "Aldi?"
Airmata Salsha kembali jatuh. Ntah mengapa, mendengar nama Aldi membuat Salsha sakit. Melihat Salsha yang kembali mengeluarkan airmatanya membuat Galang meringis. Ia belum pernah melihat Salsha jadi selemah ini.
Galang mengusap lembut rambut Salsha dan membawa gadis itu ke pelukannya, mencoba menenangkan. "Sttt, jangan nangis lagi."
Salsha mengangguk, tak mau membuat Galang cemas. Salsha melepaskan pelukan Galang. "Gue udah nggak papa, kok."
"Yaudah gue anterin lo pulang." Galang mengalah. Ia tak ingin membuat Salsha kembali bersedih. Jika gadis itu tak mau terbuka, tak masalah. Biar Galang sendiri yang mencari tahu.
Salsha memeluk pinggang Galang dengan sangat erat. Salsha tahu, tak seharusnya ia melakukan ini dengan Galang disaat dia masih memiliki Aldi. Apa yang ia lakukan dengan Galang, menangis di hadapan lelaki itu, bahkan memeluk pinggang lelaki itu sangat salah. Tapi, Salsha butuh sandaran sekarang. Ia merasa hubungannya dengan Aldi terlalu pelik.
Entah ia tak terlalu bodoh, atau Aldi yang keterlaluan.
Motor Galang berhenti tepat di depan rumah Salsha. Salsha turun dan menyerahkan helm kepada Galang. Galang menerimanya, ia tersenyum manis kepada Salsha. Sekedar memberi sedikit semangat.
"Gue nggak pernah maksa lo buat cerita apa masalah lo. Gue hargain privasi lo, Sals. Tapi kalo lo udah nggak tahan dan butuh teman curhat, gue akan selalu ada buat lo."
Salsha tersentuh mendengar ucapan Galang yang terdengar tulus. Selain Ayahnya, Galang lah laki-laki yang tidak pernah menyakitinya. Lelaki itu selalu berusaha membuatnya bahagia.
"Kalo lo merasa tertekan, karena Aldi atau siapapun itu, lo bisa cerita ke gue. Gue ini sahabat lo," imbuh Galang
Salsha membalas ucapan Galang dengan senyuman. "Lo selalu ada saat gue butuh. Kadang gue mikir, kenapa kita nggak satu sekolah biar lo bisa jagain gue mulu."
Galang mengacak rambut Salsha. "Apa perlu sekarang gue pindah sekolah?"
Salsha terkekeh. "Gue cuma bercanda."
"Tapi gue serius." Galang kembali berbicara dengan tegas. "Kalo Aldi biang dari semua ini, gue nggak bakal lepasin dia."
Ini yang Salsha takutkan, selain mudah emosi, Galang juga sangat teguh terhadap perkataannya. Jika ia bilang A, maka ia akan melakukan A.
"Iyaa. Gue tahu sifat lo gimana."
"Sekarang lo masuk, gue juga mau balik." Galang menyalakan mesin motornya.
Salsha mengangguk sembari tersenyum. Galang menancapkan motornya ikut bergabung di jalanan raya. Sedangkan Salsha menghembuskan nafas lelahnya dan memasuki rumahnya.