Galang mengajak Salsha untuk makan siomay di pinggir jalan. Selain kedai es krim, tempat ini juga sering mereka kunjungi semasa SMP. Setelah memesan siomay, Galang memberikan semangkok siomay tersebut kepada Salsha.
Salsha tentunya senang. Ia tak pernah kesini selain dengan Galang. Ia tak mungkin mengajak Aldi. Lelaki itu sudah pasti tak akan mau.
Salsha menyuapkan sesendok siomay tersebut kedalam mulutnya dan mengunyah perlahan. Rasa siomay ini tak pernah berubah. Masih sama seperti dahulu.
Galang hanya memandang Salsha memakan siomay itu, sedangkan siomaynya ia anggurkan. Ia tak begitu tertarik dengan siomay ini.
"Gimana keadaan, lo?"
Salsha berhenti mengunyah, ia menatap Galang dengan kening berkerut. "Keadaan apa? Gue kan nggak sakit."
"Keadaan hati lo," jelas Galang. "Nggak usah sok-sokan sembunyiin sesuatu dari gue. Gue tahu apa yang lo rasain."
Salsha hanya menghendikkan bahunya, kemudian kembali fokus terhadap makanan di depannya. Ia mengunyah cepat, berusaha menghindari tatapan Galang yang menatapnya intens.
"Lo nggak mau terbuka lagi sama gue?" Galang mencoba memancing Salsha untuk bercerita. Semalaman ia kepikiran tentang apa yang di alami gadis itu. Apakah ia bahagia dengan kehidupannya yang sekarang atau malah sebaliknya.
"Apasih, Gal. Gue kan selalu terbuka sama lo." Salsha menyudahi makannya dan menyeruput es teh. Ia sudah tidak berafsu untuk menghabiskan siomay itu.
"Kenapa lo kemaren? Kenapa lo nangis? Siapa yang buat lo kayak gitu?" Galang bertanya dengan tajam. "Lo anggap gue sahabat lo apa bukan? Gue mati-matian jagain lo, buat lo bahagia. Gue nggak mau kalo lo di sakitin sama cowok lain! Kalo dia nyakitin lo, langkahi dulu mayat gue!" kata Galang dengan tegas.
Salsha terenyuh mendengar semua ucapan Galang. Mata Salsha berkaca-kaca karena tersentuh dengan ucapan Galang itu. Galang benar, lelaki itu selalu menomorsatukan perasannya, menomorsatukan kebahagiannya. Pernah juga, Galang lebih memilih Salsha daripada pacarnya. Ia lebih rela kehilangan pacarnya daripada Salsha.
"Gue tahu, lo nggak bisa nyelesain masalah lo sendiri. Lo perlu gue, Sals," lanjut Galang.
"Gue bakal cerita sama lo, tapi nggak disini. Gue butuh tempat yang tenang," ujar Salsha. Ia akan menceritakan semua keluh kesahnya. Ia juga akan mendengarkan saran Galang. Karena apapun yang Galang katakan dan lakukan itu untuk kebahagiaan Salsha.
Galang mengangguk. Ia segera membayar makanan mereka. Dan keduanya pun pergi meninggalkan tempat itu.
Galang membawa Salsha ke danau. Danau ini juga sering mereka kunjungi. Jika Salsha atau Galang galau dan butuh ketenangan, biasanya mereka akan pergi kesini. Salsha merasa Galang ingin mengulangi masa-masa dulu, terbukti jika Galang membawanya ke tempat biasa yang mereka kunjungi.
Keduanya duduk di rumput yang langsung berhadapan dengan danau indah itu. Airnya masih jernih dan suasananya juga sejuk. Membuat siapa saja yang datang ke danau ini bisa merasakan ketenangan yang nyaman.
Salsha menatap kosong ke depan. Ia masih enggan untuk bercerita. Entahlah, ia tak yakin bisa tenang setelah bercerita kepada Galang. Lelaki itu sangat mudah emosi dan suka melakukan kehendaknya sendiri. Ia akan melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa memerdulikan orang lain.
"Lo udah tenang?" tanya Galang hati-hati. Biarpun ia sangat ingin tahu, tapi ia mencoba menghargai Salsha.
Salsha menatap Galang. Keduanya saling bertatapan. Galang bisa lihat, ada banyak luka yang disiratkan mata Salsha. Ada banyak luka dan kekecewaan yang terpendam.
Salsha menghela nafasnya sebelum bercerita. "Lo pasti tahu Aldi. Walaupun lo nggak pernah ketemu langsung, tapi gue yakin lo bisa tahu kepribadian dia gimana." Salsha kembali menatap ke depan.
Galang mengernyitkan keningnya. "Gue rasa dia emosian sama kayak gue. Dia susah di tebak?"
Salsha mengangguk mengiyakan. "Awalnya dia baik banget sama gue. Dia perhatian banget. Sampai akhirnya dia mulai kasar sama gue. Dia sering bentak gue. Dia sering ngomong kasar sama gue. Dia bilang gue jalang, dia bilang gue murahan." Salsha akhirnya meneteskan airmatanya. Salsha menangis tanpa suara. Hanya airmata yang terus saja menguap keluar. Salsha sudah tak sanggup lagi.
Galang mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. Ia begitu marah saat mengetahui Salsha di perlakukan seperti itu, "Sialan!" makinya.
Salsha menatap Galang dan tersenyum di sela tangisnya itu. "Gue tahu lo bakal kayak gini. Makanya gue nggak pernah mau cerita sama lo."
Galang tahu arti senyum itu. Senyum palsu untuk menutupi kesedihan. Perlahan, tangan Galang bergerak untuk mengusap airmata Salsha dan mambawa gadis itu ke pelukannya.
Ternyata banyak hal yang tak Galang ketahui dari Salsha semenjak mereka berbeda sekolah. Ia terlalu fokus terhadap sekolah dan Keisya pacarnya, sampai ia lupa bahwa Salsha sedang tertekan. Jika tahu akan seperti ini, Galang lebih memilih ikut bersama Salsha di sekolah pilihannya.
Di pelukan Galang, Salsha menangis sesengukan. Ia sudah tak sanggup menopang semua ini. Ia sudah tak sanggup menghadapi sifat Aldi. Tapi, memutuskan lelaki itu pun Salsha tak bisa.
"Gue udah nggak kuat, Gal. Puncaknya saat dia main kasar sama gue. Dia juga nggak ngerhargain gue. Kemaren, dia nyuruh gue masak nasi goreng. Gue anterin makanan itu ke rumah dia. Tapi, buat ngantar gue pulang aja dia nggak mau. Sakit, Gal."
Salsha menepuk-nepuk dadanya dengan kuat. Berharap rasa sesak di dadanya berkurang. Galang langsung saja mencegahnya. Ia tak mau Salsha menyakiti dirinya sendiri karena lelaki bajingan seperti Aldi.
Tangan Galang masih mengepal. Rahangnya mengeras kuat. Dalam hati ia bersumpah akan membalas perbuatan kejam Aldi kepada Salsha. Ia akan memberikan pelajaran kepada lelaki itu.
Galang membiarkan Salsha menangis di pelukannya. Tak peduli jika bajunya basah karena tangisan itu. Sesekali, Galang mengusap punggung Salsha. Memberikan ketenangan.
Hampir setengah jam menangis dan berada di pelukan Galang. Salsha menyudahi tangisannya itu. Ia melepaskan pelukan Galang dan menyeka airmatanya. Kemudian ia tersenyum tipis. "Baju lo jadi basah karena gue. Maaf, ya."
Galang tak merespon. Ia malah menatap lekat Salsha, "Lo sayang banget sama Aldi?"
Salsha mengangguk. "Iya."
"Lo nggak kepikiran buat mutusin dia?" tanya Galang lagi. Ia mengusap lembut bahu Salsha. "Kalo gue jadi lo, gue bakal ninggalin dia. Dia udah keterlaluan."
Salsha menunduk lesu. "Tapi gue sayang sama dia."
"Cinta bukan alasan untuk bertindak bodoh," tegas Galang. "Dia udah jahat sama lo! Dia udah nggak ngehargain lo. Jangan mau cinta sendirian, Sha."
Salsha melepaskan tangan Galang di pundaknya. Ia berdiri dan mengibaskan roknya yang kotor karena duduk di rumput. Kemudian ia menatap lurus kedepan. "Gue nggak tahu, Gal. Gue ngerasa sakit di giniin. Tapi buat ngelepasin dia juga gue nggak bisa."
Galang pun berdiri. Ia berdiri di depan gadis itu sembari memegang kedua pundaknya. "Lo bisa dapatin laki-laki lain yang jauh lebih baik dari dia."
"Coba lo pikirin, mau sampai kapan terus-terusan di sakitin seperti ini? Sampai lo benar-benar ngerasa sakit dan trauma pacaran? Lelaki kayak dia, nggak berhak dapat cinta tulus dari lo." lanjut Galang. "Relain dia, dan lo akan bisa lupain dia."
*****