"Ayah, sejak kapan kau di sini?" tanya Owen pada Tony Grey-ayahnya.
"Hah! Kau bahkan tak dengar saat aku datang?" geram ayahnya sambil menarik handuk yang melilit pinggul putranya. "Kau sungguh-sungguh berhasil diperdaya wanita itu?"
"Ayah, jangan salah paham dulu!"
"Salah paham? Jelas-jelas kau tak berbusana dengan wanita yang merupakan istri Alan!"
"Tapi, Ayah...."
"Cukup! Kembalikan wanita itu pada suaminya, Owen!"
"Aku mencintainya, Ayah!"
Plas...
Tangan pria paruh baya itu segera menghajar wajah putranya yang telah melewati batas itu. "Kau tak punya malu!"
"Bukankah dulu juga ayah seperti itu?"
"Jangan kurang ajar pada ayahmu, Owen. Kau tak boleh berkata seperti itu!"
Owen meraih handuk yang direbut ayahnya lalu membalikkan badannya. "Ini urusanku jadi jangan ikut campur!"
"Sejak kapan kau jadi kurang ajar begini, Owen!" gerutu Tony dengan wajah kesal. "Aku yakin ini karena ulah wanita itu!"
"Tidak, dia tak membuatku begini. Akulah yang memutuskan melakukan semua ini, Ayah!"
Tony terdiam sesaat, dia menatap wajah Owen lekat-lekat. Yang dia tau putranya adalah pria penurut meskipun dia dibesarkan dalam keluarga mafia.
Tapi hari ini Owen sangat berbeda, dia terus saja membangkang apapun yang dikatakan ayahnya.
"Aku akan berpakaian dulu, setelah itu kita akan berbincang lagi!"
Owen memasuki kamarnya lalu meraih pakaiannya. "Sisi, kenakan busanamu. Ayahku ingin kita bicara di luar!"
"Ayahmu?"
"Iya, dia menunggu di luar!" ulang Owen lalu mengancingkan bajunya dengan cepat. "Bergegaslah, ayahku adalah orang yang paling tak bisa menunggu."
Mendengar perintah dari Owen, wanita cantik itu segera mengenakan pakaiannya lalu bergegas keluar dari kamarnya.
"Kalian benar-benar berani!" geram Tony yang duduk di kursi tamu yang menghadap ke pintu masuk ruangan mewah itu. "Aku tak menduga kau bisa seberani ini, anakku!"
"Ayah, jangan seperti itu di depan wanita yang aku cintai!"
"Cuih! Dia ini istri temanku eh istri dari musuhmu, Owen! Apa cinta bisa membuatmu semabuk ini!" geram Tony lalu berdiri dari tempat duduknya dan siap menghajar lagi Owen.
"Jangan, Tuan! Putramu tak bersalah, ini semua salahku!"
"Sisi, jangan!" cegah Owen yang tau ayahnya siap untuk menghajar Sisi yang begitu lugu.
"Kau ingin mati, ya! Kalau kau tau kau membahayakan putraku untuk apa kau tetap di sampingnya?"
"Ayah!"
"Dasar wanita tak tau malu!" Tony mendorong tubuh Sisi hingga terjerembab ke lantai.
"Aduh!" desah Sisi saat lututnya yang kelelahan setelah bercinta mendarat di atas ubin berwarna hitam itu.
"Ayah, jangan seperti itu!"
Plas...
Tangan Tony melayang dan mendarat tepat di pipi putranya yang terus saja memohon agar dia tak melampiaskan amarahnya kepada Sisi. "Dia tak bersalah, Ayah! Ini semua salahku!"
"Cukup!" Tony bertolak pinggang di depan Owen dengan keheranan.
"Sudah, Owen. Biar aku saja yang pergi! Aku tak mau jika sampai kau kena masalah karenaku!"
Sisi membalikkan badannya lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
"Sisi, jangan!"
"Owen, cukup! Biarkan dia pergi!"
"Ayah, aku tak bisa hidup tanpanya. Mengertilah!"
Tony menggelengkan kepalanya tak menyangka jika anaknya kini begitu keras membangkangnya.
"Kau mau kemana, Sisi!" cegah Owen pada Sisi yang berjalan keluar dari kamarnya dengan bergegas.
"Lupakan aku, Owen. Aku tak mungkin bisa membuatmu bahagia!"
Sisi melangkah cepat menuju pintu dan bersiap memutar gagang pintu rumah.
"Sisi, aku mohon! Jangan tinggalkan aku!" Owen berlutut di depan Sisi dan menatap wajah wanita itu lekat-lekat. "Aku mohon!"
Sisi tak mendengarkan perkataan pria tampan itu, dia lalu melangkah menuruni anak tangga di depan rumah Owen dan berjalan cepat menuju ujung jalan menuju halte.
"Sisi!" panggil Owen yang masih tak menyangka wanita yang berhasil merebut hatinya itu dengan tega meninggalkannya.
"Sudahlah, untuk apa aku bertahan di rumah itu jika aku hanya memberikanmu masalah, Owen!" bisik Sisi sembari melangkahkan kakinya menaiki bus yang siap membawanya pergi.
Mata Sisi terus menatap rumah Owen, dia sebenarnya tak benar-benar tega untuk pergi.
**
Rumah Sisi
Sisi melangkah turun dari bus yang membawanya kemudian melangkah menuju pintu rumahnya. Matanya menatap kesekeliling mengumpulkan kenangan yang dia lalui sejak dia kecil hingga hari terakhir dia tinggal.
Ting... tong...
Bel pintu berbunyi dan Laura Blue segera membukakan pintu untuk putrinya. "Sisi!" sapa Laura dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan aku jika hari ini aku harus pulang!"
"Sisi, tentu saja kau boleh pulang kapan saja!" sambut Laura-Mama Sisi dengan lembut.
"Ma, ternyata hidupku tak semudah yang selama ini aku bayangkan!" keluh Sisi lalu melangkahkan kakinya ke dalam rumah masa kecilnya.
"Iya, aku tau itu. Kami minta maaf jika kami membuatmu jadi serba salah begini."
"Mama!" Tangis Sisi pecah lalu memeluk mamanya dengan erat.
"Minumlah dulu, setelah kau tenang kita bicara lagi, Sisi!" ujar Laura lalu menyodorkan secangkir teh hangat untuk membuat putrinya lebih tenang. "Kau duduklah dulu. Nanti aku kembali!"
Laura melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Sisi yang masih bersedih akan apa yang terjadi kepadanya. Matanya terus menangis sembari sesekali meminum teh hangat buatan ibunya.
Saat Sisi sedang menenangkan diri, Laura dengan kejam melaporkan keberadaan putrinya di dapur rumahnya. "Alan, cepatlah kemari! Istrimu ada di sini!" ucap Laura dalam sambungan telepon kepada Alan, menantunya.
["Bagus! Aku akan segera kesana!"] Alan segera bergegas menuju rumah Laura, tentu ini adalah saat yang tepat untuknya menyusul istrinya yang berani keluar dari rumahnya tanpa ijin darinya.
"Mama!" panggil Sisi saat teh di dalam cangkirnya telah habis dia minum. "Kenapa kau diam saja di dalam kamar? Kau sehat-sehat saja, kan?"
"Iya, tentu saja!" Laura bergegas keluar dari kamarnya karena dia ingin menahan putrinya hingga Alan tiba.
"Kau duduklah dulu, aku ingin menyajikan makanan untukmu!"
Sisi tersenyum, dia tak menyangka jika ibunya bisa tetap ramah kepadanya setelah semua masalah yang dia perbuat.
"Terima kasih, Mama! Kau baik sekali!" puji Sisi lalu duduk di sofa ruang tengah untuk berbicang lebih intim dengan mamanya.
Laura lalu berjalan menuju dapur dan menunggu menantunya datang. "Mama!" bisik Alan saat memasuki rumah melalui pintu belakang.
"Syukurlah kau datang cepat. Aku takut dia tak bisa aku tahan!" jelas Laura membuat Alan mengangguk.
"Iya, Ma! Mana dia sekarang!" Alan segera masuk dan melangkah menuju ruang tengah tempat Sisi menunggu.
"Halo, Sayang!" bisik Alan membuat Sisi terperanjak. "Kau merindukanku?"
"Alan!" Sisi membolakan matanya lalu berdiri bersiap untuk lari dari suaminya.
"Hey, kau mau kemana?" cegah Alan lalu menarik tangan istrinya dengan kasar.
"Alan, jangan. Aku mohon, biarkan aku pergi!" Sisi ketakutan lalu berusaha melepas genggaman tangan Alan yang begitu erat.
"Kau ini istriku, jadi jangan melawanku!"
"Alan, aku mohon. Jangan sakiti aku!"
"Kau ini istriku! Kau lupa?"