"Tunggulah sebentar, biar kita cek apakah pernikahanmu dengan Alan benar-benar dia catatkan!" Owen lalu bergegas masuk ke dalam kantor yang ada di depannya lalu menyapa beberapa pegawainya dengan ramah.
"Tuan! Lama tak nampak, apa kabar?" tanya seorang pemuda yang merupakan pegawainya begitu Owen menginjakkan kakinya di ruangan kecil dengan banyak pegawai itu.
"Aku baik! To the point saja!" Owen langsung mengungkapkan niatannya. "Aku mau kau melacak catatan pernikahan resmi Alan Purple!"
Mendengar perintah dari taunnya, pemuda itu langsung mengangguk dan membuka laptopnya. "Sebentar!" jawabnya begitu yakin.
"Kalau bisa pastikan siapa saja yang pernah menikah dengannya dan jangan sampai ada yang terlewat!"
Perintah Owen itu dijawab pegawainya dengan anggukan yakin dan tak lama kemudian...
"Aha!" seru pemuda itu lalu memutar laptopnya kearah Owen.
"Apa yang kau temukan?" tanya Sisi yang sejak tadi duduk di samping kekasih hatinya itu.
"Pria ini kan yang Tuan maksud?" tanya pria itu memastikan.
"Iya, dia!" Owen bersiap menerima kabar baik untuknya hari ini.
"Nama yang tertera Alan Purple, dia bersatus duda mati!" ujarnya membaca tulisan yang nampak di layar.
"Duda mati?" Owen dan Sisi saling pandang. "Maksudmu dia belum pernah mencatatkan pernikahannya setelah itu?" tanya Owen penasaran.
"Tidak ada!" tegas pegawainya meyakinkan Owen.
"Berarti tak ada pernikahan seminggu atau sebulan yang lalu?" tanya Sisi lagi.
"Tak ada! Jika memang ada harusnya sudah masuk dalam catatan kependudukan!"
"Jadi fix pernikahan itu hanya pernikahan pura-pura, Owen!" seru Sisi dengan begitu bahagia.
"Yes!" seru Owen girang. "Artinya kita bisa segera menikah, Sisi!"
Sisi tersenyum simpul, tak dia sangka jika pernikahannya ini bukan mimpi buruk yang bisa membuatnya terus terbayang hingga masa tuanya.
"Kalian akan menikah?" tanya pegawai Owen lalu mengulurkan tangannya. "Selamat!"
"Iya, bisakah kau membantuku mencatatkan pernikahan kami?" tanya Owen bersemangat.
"Tentu saja bisa! Tuan bisa mengandalkan saya!"
Owen merasa lega dengan bantuan pegawainya itu, meski nampak jauh lebih muda darinya, pemuda itu terlihat sangat cekatan. "Eh, boleh aku tau siapa namamu?" tanya Owen dengan berbisik.
"Brian!" jawab pemuda itu lalu kembali menyalami tangan Owen yang sedang penuh semangat.
"Brian! Senang bisa mempekerjakan dirimu di sini. Sekarang kau aku angkat untuk menjadi asisten pribadiku!"
Tentu perkataan Owen itu bak hadiah terindah yang didapat Brian, pemuda itu lalu berkali-kali mengucap terima kasih pada bosnya yang baru sekali ini dia temui.
"Jadi tugas pertamaku adalah mempersiapkan pernikahan kalian?" tanya Brian yang kini ikut bersemangat.
"Benar! Lakukan yang terbaik untuk kami dan kami akan sangat berterima kasih!"
Brian tersenyum senang, dia lalu mengajak Owen menuju sebuah ruangan untuk dia dan Sisi beristirahat. "Ikutlah denganku, biar aku siapkan makan siang untuk kalian!"
"Terima kasih!" sambut Owen lalu mengikuti langkah cepat penuh semangat pemuda ini.
Mereka kemudian memasuki sebuah ruangan yang terletak di sudut kanan kantor itu, ruangannya tak terlalu luas hanya ada sebuah kursi kasur letter L berbahan oscar berwarna hitam ditambah beberapa bantal berbahan bulu unggas yang sangat lembut.
"Aku tak tau jika kantor ini dilengkapi ruangan senyaman yang kau lihat!" tutur Owen heran.
"Kemarin, Nyonya besar merubah ruang arsip menjadi ruang istirahat ini, dia bilang jika kau pasti datang. Jadi kami bersiap menyambutmu!"
"Ibuku?" tanya Owen terperanjak.
"Benar!" Brian mengangguk yakin. "Dia sudah tau Tuan akan datang!"
"Wah! Jangan-jangan!" Sisi langsung berpikiran buruk akan rencana calon mertuanya itu.
"Tenanglah, kalian aman di sini!" lanjut Brain lalu melangkah menuju pemanas air dan menyalakan teko kecil itu dengan beberapa gelas air. "Aku buatkan kalian teh!"
"Tapi kau tak akan laporkan aku ke keluargaku, kan?"
Pertanyaan Owen itu membuat Brian tertawa terbahak-bahak. "Aku janji tidak akan melakukan itu!" ucapnya lalu menuangkan teh bubuk dan gula ke cangkir putih yang sudah tertata di atas nampan.
"Kami memang sedang dalam pelarian, jadi aku harap kau tak banyak bicara pada keluargaku!" tutur Owen berharap Brian mau menjadi sekutunya.
"Aman! Berapa kali aku harus katakan agar kau percaya padaku!"
Owen mengangguk yakin dengan perkataan Brian, dia lalu meminta pemuda itu meninggalkannya berdua dengan Sisi yang terlihat sangat tegang dengan keadaan hari itu.
"Kenapa, Sayang!" ucap Owen sembari meremas bahu Sisi yang kaku.
"Kenapa aku tak percaya pada pemuda itu!" bisik Sisi mencoba membuat pria tampan di depannya lebih awas pada asistennya.
"Tenang saja, aku sudah tau caranya agar dia tak macam-macam!" jar Owen lalu tersenyum setengah.
"Kau punya rencana?" Sisi nampak tak yakin. "Rencana apa?"
"Kau lihat saja nanti!" ujar Owen sembari terus meremas bahu Sisi.
Sisi tertawa sesaat lalu meraih gelas yang belum sempat diisi air panas oleh Brian, dia lalu menuangkan air sebanyak yang dia mau lalu mengaduk gula di dalamnya. "Minumlah!" tutur Sisi pada Owen.
"Kau sudah pantas jadi istriku, Sayang!" puji Owen lalu meneguk teh di cangkirnya. "Ini nikmat sekali!"
"Brian yang meraciknya, kau jangan lupa itu!" canda Sisi lalu melanjutkan acara minum tehnya dengan Owen hingga akhirnya Brian kembali ke ruangan itu.
"Tuan!" panggilnya dengan senang lalu meminta seorang pegawai wanita lain membukakan pintu dan meletakkan makanan dalam nampan di meja dekat Owen.
"Apa ini?" tanya Owen yang asing dengan piring yang dia lihat.
"Ini?" tunjuk Brian pada piring berisi steak sapi dan beberapa potongan sayuran. "Ini makan siang kalian, Tuan! Saya mempersiapkannya karena menurut beberapa asisten, ini lah makanan yang paling Tuan suka!"
Owen tersenyum tipis lalu mengambil piring di atas nampan. "Aromanya nikmat!" puji Owen yang meletakkan piringnya lebih dekat pada dagu. "Biar aku potongkan untukmu dulu!" tutur Owen kemudian meraih garpu dan sebilah pisau kemudian memotong bagian tengah daging kemudian memotongnya lebih kecil.
"Kau makan dulu!" ujar Owen saat potongan itu mendekati bibir Brian.
"Kau tak percaya kepadaku?" tanya Brian lirih.
"Kalau kau tak berbohong tentu kau tak perlu setakut ini!" ujar Owen dengan penuh penekanan.
"Baiklah!" Brian membuka mulutnya lalu mempersilahkan Owen memasukkan potongan daging itu ke mulutnya.
"Aku suka caramu membuatku yakin!" bisik Owen dengan senyuman tipis penuh makna.
"Lihatlah aku baik-baik saja, kan?" ujar Brian sambil tersenyum tipis menirukan apa yang dilakukan Owen.
"Baiklah, duduklah di sana!" tunjuk Owen pada sofa yang menghadap kearahnya. "Sedangkan kau, pergilah!" pinta Owen pada pegawai wanita yang masuk bersama Brian.
"Tuan ingin saya duduk di sini?" tanya Brian lalu duduk perlahan menghadap ke Owen yang mulai menyuap satu persatu potongan daging yang disediakan Brian.
"Ini enak! Sisi, ayo buka mulutmu juga!"
Sisi tersenyum, dia mulai mengerti apa yang direncanakan pria tampan ini untuk kehidupan mereka selanjutnya. Berhati-hati dan tak percaya orang baru dengan cepat.
"Kau suka?" tanya Owen lalu menatap Sisi dengan dalam.
"Iya, ini enak!"
Brakkk...
Tiba-tiba pintu tempat Owen berada didobrak orang tak dikenal. "Jangan bergerak!" teriak pria berbaju polisi itu sembari mengarahkan sebuah pistol kearah wajah Owen.
"Siapa kau?" geram Sisi mencoba untuk tenang.