Kirana baru saja keluar dari gedung pencakar langit yang entah berlantai berapa itu tanpa memedulikan tatapan penuh kebingungan yang dilontarkan oleh resepsionis di lobby tadi. Beruntungnya, walaupun Kirana membawa pergi selimut hotel, resepsionis itu tak mencegahnya.
Bermodalkan mengikuti langkah kaki yang entah akan membawanya ke mana, Kirana menyusuri jalanan Ibukota yang begitu sepi dan sunyi. Kirana tak tahu ia berada di mana, ia juga tak tahu arah jalan pulang.
Yang lebih menyeramkan itu adalah tak ada satupun kendaraan yang lewat. Namun, walaupun ada, Kirana sepertinya juga tak akan bisa pulang dengan itu karena sekarang ia tak punya sepeser uangpun.
Menyesal telah menolak uang yang diberikan oleh Angga tadi? Demi apapun, Kirana tak menyesal sama sekali. Mungkin jika Kirana memilih untuk mengambil uang itulah yang akan membuatnya merasa begitu menyesal karena itu sama halnya saja dengan Kirana mengiyakan hinaan Angga.
Demi apapun, Kirana benci mendengar segala sesuatu yang diingkut oleh Angga mengenai masa lalu mereka walaupun itu sedikit saja.
Ternyata berjalan kaki dengan ditemani tiupan angin malam yang menyejukkan serta pemandangan langit yang nampak begitu indah ditaburi oleh ribuan bintang yang berkelap-kelip di atas sana rupanya tak membuat mood Kirana membaik.
Tetesan air mata itu masih saja turun membasahi pipinya, dadanya pun masih tetap terasa sesak, Kirana masih belum bisa menerima dan melupakan saja kenyataan dan ingatan pahit yang kembali menghantamnya setelah bertemu lagi dengan Angga.
Dipertemukan dengan pria itu tak hanya membuat Kirana harus dibuat berusaha lebih ekstra lagi untuk tidak menoleh ke belakang, tapi juga dibuat harus menolak menerima kembali semua ingatan buruk yang ia alami setelah kepergian pria itu.
Entah itu tentang penghinaan dan cemoohan dari masyarakat sekitar serta teman-teman sekolahnya, mentalnya yang hampir saja gila, juga hilangnya nyawa dari seseorang yang kehadirannya begitu Kirana nantikan ditengah semua penderitaan yang ia rasakan kala itu.
Dengan langkah kaki yang masih terus menapak menyusuri jalanan, Kirana mendongak ke arah langit malam, kemudian memejamkan mata perlahan. Berharap suasana hatinya bisa membaik walaupun sedikit saja.
"Tuhan, bisakah kau menjadikan ini adalah pertemuan terakhirku dengannya? Aku ingin merasakan apa itu kebahagiaan dan kebebasan dalam hidup, aku tak ingin lagi dibuat merasakan ataupun mengingat masa-masa sulit itu lagi."
Dengan keadaan telanjang seperti ini setelah bangun dari tidurnya membuat Kirana yakin bahwa Angga tak mungkin tidak melakukan sesuatu padanya. Jikapun memang iya, Kirana benar-benar berharap bahwa Angga tak mengabadikan momen bejatnya itu dengan beberapa foto ataupun rekaman, Kirana tak ingin membuat kehidupan indah yang baru ia rasakan sejak beberapa bulan yang laku kembali hancur dan berubah menjadi neraka dalam sekejap hanya karena Angga.
TIN! TIN!
Kirana mulai membuka matanya kemudian kembali menatap lurus ke arah depan dengan langkah yang masih terus berjalan maju tanpa arah walaupun ia sudah mendengar suara klakson yang dibunyikan tersebut.
"Ck!"
Suara decakan itu diiringi dengan tarikan pada tubuh Kirana. Kirana yang belum siap pun lantas bisa ditarik dengan mudah hingga sekarang tubuhnya berada tepat di depan tubuh tegap nan jangkung milik seseorang beraroma mint.
Kirana tak tahu siapa orang yang ada di depannya, ia sudah kehilangan arah hingga tak peduli lagi jika saja pria di depannya adalah pria hidung belang yang siap menjadikannya penghangat ranjang ataupun seorang penculik dan sebagainya.
Cekalan pada tangannya terlepas, helaan napas panjang dari pria di depannya terdengar, terlihat sedikit kesal dengan apa yang ia lihat saat ini.
"Ikut aku."
Merasa familiar dengan suara berat itu, Kirana mendongak untuk melihat wajah si pemilik suara.
Benar saja, orang yang ada di depannya ternyata sama dengan orang yang ada di bayangannya. Kirana mungkin sedang tak bisa fokus, tapi untuk mengenali seseorang dari suaranya, Karina masih bisa melakukannya.
"Apa lagi yang kau tunggu di sana?!" ujaran sinis itu membuat Kirana tersadar dari lamunannya, kemudian mengusap air matanya kasar sebelum akhirnya ikut menghela napas panjang secara perlahan dan melangkahkan kakinya menuju mobil silver yang ada di depannya.
"Kau hilang dari acara bahkan sebelum acara selesai! Aku sampai mencarimu semalaman, dan kau ternyata malah ada di sini, apa kau tahu betapa kesalnya semua anggota--"
"Semua siswa-siswi SMA Kasta mengenalmu sebagai seorang Arja yang dingin tak tersentuh serta iri bicara, tidak bisakah kau bersikap seperti itu di depanku saat ini?" Kirana menyela ucapan pria yang duduk di kursi kemudi di sampingnya. Kirana hanya tak ingin mendengar celotehan apapun dari Arja untuk saat ini.
Ia baru saja duduk, bahkan mobil pun baru berjalan beberapa detik yang lalu, tidak bisakah Arja untuk diam saja?
"Aku tahu kau kesal denganku--"
"Bukan aku, tapi semua orang yang terlibat dan bertanggung jawab untuk acara Ulang Tahun Kasta!"
Kirana menghela napas pelan setelah ucapannya disela oleh Arja.
"Sekali ini saja, kumohon tahan kekesalanmu itu sampai besok pagi. Aku akan menerima semua konsekuensinya besok."
Kirana lantas membuang muka ke arah jendela mobil, mengamati pemandangan di pinggir jalan yang baru saja mereka lewati.
"Ini bukan perihal konsekuensi, tapi ini pasal—"
"Arja, kumohon, jangan membuatku semakin pusing. Lagipula aku yang akan kena imbasnya, bukan dirimu, jadi diamlah!"
"Mommy-mu datang ke sekolah, dia menanyakan keberadaanmu kemarin malam karena ponselmu tak bisa dihubungi, dia bilang ingin memperkenalkanmu pada seseorang."
"Apa?!" Kini atensi Kirana terfokuskan pada Arja yang tengah menyetir. "M-Mommy menanyakan keberadaanku?"
Tidak! Kirana dalam masalah besar!
Mengetahui Amira mencari keberadaannya, Kirana dibuat tak bisa tenang setelahnya. Air mata memang tak mengalir lagi di pipinya, tapi perasaan tak karuan kini menggantikannya dengan bertubi-tubi tanpa henti.
Pasalnya, Kirana sebenarnya tak diizinkan untuk mengurus event Ulang Tahun Kasta yang dimeriahkan oleh beberapa pensi dari pihak SMA Kasta sendiri di siang hari yang kemudian ditutup dengan kemeriahan dari penampilan beberapa band juga penyanyi solo yang terkenal di Ibukota. Tentunya mengingat konser merupakan suatu acara yang identik dengan malam hari, acara penutupan itu pun diadakan di saat matahari telah digantikan oleh Bulan.
Amira sepertinya tak ingin anak angkat semata wayangnya itu berkeliaran di malam hari. Belum lagi di waktu yang bersamaan Amira ingin mempertemukan Kirana dengan seseorang.
"Apa kau mengatakan yang sebenarnya pada Mommy? Apa kau mengatakan padanya bahwa aku tak ada di sekolah tadi?" Setelah lama terdiam, Kirana mulai membuka suara. Bohong jika ia tak berharap Arja mau meresponnya walaupun tadi ia sendirilah yang menyuruh Arja untuk diam.