Memejamkan mata selama beberapa saat, Kirana perlahan membukanya dan mengubah sorot penuh ketakutan itu dengan sorot menantang. "Aku bahkan berharap Mommy mengetahui semuanya sekarang. Setidaknya Mommy tahu betapa bejatnya pria yang akan ia nikahi ini sebelum semuanya tenggelam karena satu kebohongan yang melahirkan banyak kebohongan lainnya."
Angga masih terlihat tidak khawatir sedikitpun. "Kau yakin bisa melakukannya? Kau tak takut kehilangan kebahagiaan yang baru kau rintis ini?"
Walaupun jantungnya berdetak kencang karena gugup, Kirana menganguk mantap, tak ingin membiarkan Angga menggunakan kegugupannya sebagai celah untuk membuat Kirana bertekuk lutut di telapak kaki pria itu.
"Aku tak peduli jika nantinya Mommy akan mengusirku dari sini setelah dia tahu siapa kau dan hubunganmu denganku di masa lalu. Setidaknya ini memang lebih baik daripada aku membiarkan kebohongan ini berkembang semakin lama!"
"Silahkan."
Kirana menatap bingung Angga saat pria itu tiba-tiba mundur 2 langkah untuk memberi jarak di antara mereka. Bahkan yang semakin membuat Kirana bertanya-tanya adalah alasan mengapa Angga tiba-tiba dengan senang hati mau melepaskan cengkeraman di tangannya juga pelukan di pinggangnya itu.
"Kau bilang kau berharap Mommy-mu tahu semuanya kan? Ya sudah, silahkan. Teriaklah sekuat yang kau bisa hingga Amira datang ke sini."
Senyum iblis itu semakin terlihat di wajah yang sialnya begitu terlihat tampan di mata Kirana. "Aku ingin melihat betapa hancurnya Amira saat tahu bahwa dirinya telah dikhianati oleh diriku juga kau Kirana, orang asing yang sudah ia anggap sebagai putrinya ini. Apalagi, kita berdua menusuknya dari belakang."
Suara Kirana yang tadinya hampir siap mengalun indah memenuhi segala penjuru ruangan yang ada di rumah mewah itu lantas tertahan di tenggorokannya. Kirana meneguk salivanya susah payah, mulai ragu untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan tadi.
"Kenapa diam dan hanya menatap mataku Kirana?" pancing Angga lagi.
"Mengaku kalah?" Angga bertanya dengan nada penuh pengejekkan setelah kurang lebih 2 menit berlalu dan Kirana masih tetap diam.
Seperti yang ia duga, Kirana memang tak akan berani melakukan hal itu. Walaupun baru bisa memantau Kirana sejak sebulan yang lalu, Angga sudah bisa mendapatkan begitu banyak informasi lebih mengenai perempuan itu dari berbagai sumber, terlebih Amira.
Kepala Angga mengangguk-angguk beberapa kali. "Baiklah. Aku telah memberiku kesempatan, tapi kau menyia-nyiakannya. Sekarang lihat bagaimana caraku menggunakan kesempatan yang ada dengan begitu baik Kirana."
Langkah Angga yang berjalan mendekatinya membuat Kirana menahan napas selama beberapa detik. Perempuan itu hendak segera kabur dan melarikan diri menemui Mommy-nya. Namun, saat ia hendak melangkahkan kakinya, bahunya telah ditahan lebih dulu oleh Angga yang ternyata telah membaca gerak-geriknya.
"Lihat, aku bahkan bisa menahanmu dengan tepat Kirana."
Hendak menghempaskan tangan Angga, Kirana malah dibuat memejamkan mata dan hampir membiarkan suara teriakannya menggema di mana-mana saat Angga tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang jika saja satu tangan Angga tak dengan sigap membekap mulut Kirana.
"Mmpphhh!!!"
"Sstt, jangan berisik, Kirana. Aku terkadang tak suka kau berisik seperti ini."
"Shh!"
Angga meringis pelan, kemudian mengibas-ngibaskan tangannya saat gigi-gigi Kirana yang kuat itu menggigit kulit telapak tangannya.
Hendak menggunakan kesempatan dengan baik untuk bisa kabur, Angga malah kembali bisa menahan tubuh Kirana. Bahkan pria itu lantas mengangkat tubuh Kirana dan menggendongnya ala bridal style kemudian membanting tubuh Kirana ke atas ranjang.
Handuk yang dikenakan oleh Kirana dibuat sedikit berantakan dan sedikit tersibak. Kirana panik melihat tatapan dingin yang untuk pertama kalinya bisa membuat Kirana hingga merasa ketakutan setengah mati seperti ini.
Sekarang, saat Angga perlahan mulai merangkak ke atas ranjangnya, Kirana hanya bisa meringsut menjauh dari Angga. Perempuan itu ketakutan, takut jika Angga malah melakukan hal yang tidak-tidak padanya.
"MOMMY!! TOLONG AKU! SELAMATKAN AKU DARI PRIA BRENGSEK INI!!!"
Kirana dengan sengaja berteriak kencang meminta bantuan berharap jika Amira cepat datang membantunya.
Namun, setelah mendengar suara kekehan kecil itu lagi, Kirana sadar bahwa sepertinya semua usahanya sia-sia saja untuk bisa lepas daru pria itu.
"Silahkan teriak lebih kencang lagi Kirana. Silahkan. Aku tak akan melarangmu karena jika kau memang mengerti keadaan, kau pasti tahu alasan mengapa aku begitu berani masuk ke kamarmu seperti ini."
Kirana mengeratkan handuknya saat perlahan perempuan itu mulai menerka-nerka maksud ucapan Angga.
"Mommy-mu telah berangkat sejak setengah jam yang lalu dan sekarang di Rumah ini hanya ada kau dan aku," lanjut Angga sambil tersenyum miring.
"Tidak! Menjauh dariku sekarang juga!"
Angga lantas menopang satu tangannya di sandaran ranjang kemudian mendekatkan wajahnya pada perempuan yang kini hanya bisa mencengkeram erat handuknya sembari memejamkan mata tak kalah erat mengingat dirinya tak bisa kabur kemana-mana lagi.
Senyum miring pria itu perlahan luntur berubah menjadi ekspresi datar nan dingin tak tersentuh tanpa alasan yang jelas hanya karena sesuatu yang dilihat oleh matanya.
Sesuatu yang mengingatkan Angga pada sesuatu hal yang tak ingin ia ingat walaupun pada akhirnya pria itu mengungkit hal tersebut.
"Kenapa kau harus semurahan ini, Kirana? Jujur saja, aku tak pernah menyangka kalau kau akan berubah menjadi seperti jalang kecil."
Tangan Angga naik ke leher Kirana kemudian mengelus bekas ruam merah keunguan yang ada di sana dengan perlahan.
"Kenapa kau setega ini, Kak?" Kali ini, giliran Kirana yang bertanya parau.
Ditengah rasa takut juga panik yang menyerangnya, Kirana berusaha membuat Angga sadar bahwa apa yang ia lakukan saat ini adalah salah.
Baik karena posisinya yang sebentar lagi akan menjadi suami Amira, ataupun karena janji pria itu di masa lalu.
"2 tahun yang lalu kau mengatakan bahwa tak akan ada lagi orang yang bisa merendahkanku hanya karena aku anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan, tapi sekarang kenapa kau menelan ludahmu sendiri?"
Manik hazel Kirana memancarkan sorot terluka yang begitu dalam, mata indah itu pun sekarang berkaca-kaca, siap untuk membiarkan tetes demi tetes air mata yang berusaha ia tahan sejak tadi meluncur dengan bebasnya membasahi pipinya.
"Kenapa, Kak? Kenapa sekarang kau sendirilah yang merendahkanku? Kau tahu? Bahkan apa yang kau lakukan saat ini bagiku rasanya lebih menyakitkan daripada hinaan teman-teman di Sekolahku yang dulu!"
Kirana berdecih pelan. "Aku masih memiliki harga diri, Kak! Walaupun tidak seberapa, tapi tidak bisakah kau menghargaiku sedikit saja?!"
Angga sepertinya tak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Kirana. "Kau ingin aku menghargaimu berapa? Dua kali lipat dari uang yang kulemparkan padamu beberapa jam lalu?"
PLAK!!
Tamparan keras itu terdengar memenuhi ke segala penjuru ruangan kamar tersebut. Sesaat hanya suara AC serta napas tak beraturan dari Kiranalah yang terdengar selama beberapa waktu.
"Awh!"