Namaku Lifya Fitriani, aku merupakan gadis keturunan Melayu. Sejak kecil aku di besarkan di provinsi Riau. Aku mencintai tanah kelahiranku, meskipun teman-temanku punya impian yang bertolak belakang denganku. Mereka mengatakan ingin segera pindah di tempat lain dan meninggalkan tanah kelahiran mereka. Di mana tempat mereka telah dibesarkan. Sebelum aku menceritakan kisah-kisahku. Izinkan aku untuk mengenalkan siapa diriku dan bagaimana kepribadianku sehari-hari.
Aku akrab di sapa Fitri oleh teman-teman dan juga guru-guruku. Ya, sikapku seperti bunglon. Mengapa demikian? Karena aku memperlakukan seseorang layaknya seperti mereka memperlakukan aku. Aku dikenal sebagai gadis misterius di kelas, di mana aku hanya diam saja saat mereka sedang sibuk membahas apa yang tak harus di bahas.
Aku hanya berbicara kepada ketiga sahabatku, mereka merupakan teman yang baik. Meskipun tidak memiliki popularitas. Akan tetapi, aku bahagia bila berada di dekat mereka. Rasanya sangat damai bila berada di samping mereka. Aku yakin, bahwa mereka berteman denganku karena ketulusan, bukan karena kasihan. Ya, sejak awal aku jujur dengan mereka.
Aku mengatakan bahwa aku menderita penyakit serius sejak kecil. Yaitu; thalasemia, penyakit genetik yang merupakan penyakit kerusakan kerusakan pabrik sel darah merah.
Hidupku, ibaratkan ponsel dan kendaraan bermesin. Jika pada ponsel selalu membutuhkan charger saat beterai sudah mulai berkurang. Namun, jika pada kendaraan bermotor selalu membutuhkan bahan bakar bila kecepatan kendaraan mulai berkurang. Tuhan, aku mulai lelah dengan hidupku.
Tapi apalah daya, dengan tegar aku harus menjalani kehidupanku, agar aku mampu menata masa depanku dengan baik. Aku harus kuat untuk menjalani kehidupanku untuk kedepannya. Bimbing aku untuk selalu berada di jalan–Mu. Terkadang aku frustasi dengan keadaanku.
Izinkan aku untuk melangkah menuju masa depan yang cerah. Hari ini waktunya aku menghadiri acara wisuda, setelah satu tahun aku mengabdikan diriku di lembaga Widya Informatika. Tempat aku menggali ilmu untuk masa depanku kelak.
Aku mempersiapkan masa depanku dengan segenap jiwa ragaku. Selebihnya, hanya kepada–Mu aku berserah. Hidup matiku di tanganmu, Tuhan.
Aku percaya, jodoh, maut, dan rezeki. Itu semua, Engkau yang menentukan. Yang aku tahu aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk orang-orang sekitarku. Terutama untuk sahabatku, Elisya Handayani. Dialah yang selalu hadir di saat aku mulai terpuruk dengan keadaanku, yang menemaniku selama dua bulan penuh.
Saat aku sedang depresi usai putus dari mantan kekasihku. Aku tak tahu mengapa aku sulit mengendalikan diriku di saat aku tak bersamanya lagi. Rasanya ingin saja aku mengakhiri hidupku. Namun, aku selalu ingat pesan Elisya terhadapku. Apapun yang terjadi, tetaplah berada di jalan yang di ridai Tuhan.
Suatu hari aku berjalan bersama Elisya sahabatku, kami menyusuri jalan menuju bank darah. Saat sedang memperhatikan keadaan sekitar, seorang dokter yang usianya sama dengan pamanku menyapaku dengan senyumannya yang tipis.
Aku membalasnya dengan penuh senyuman.
Hingga tiba-tiba air mata mengalir di sudut
mataku, aku tak mampu membendung kesedihanku.
Aku menangis sejadi-jadinya dan menjatuhkan
diriku ke lantai tanpa peduli jika ada seseorang
yang memperhatikan aku. Hatiku begitu hancur ketika melihat seragam yang di kenakan dokter tadi, aku merasa hidup ini tak adil.
Mengapa harus mereka? Bukan aku yang berada di posisi itu? Sejak kecil aku ingin berada di posisinya. Seharusnya aku yang harus memakai jas putih itu dan aku yang harus berada di posisinya.
Elisya kembali menoleh ke arahku dan kembali mengejarku yang sedang duduk pasrah di lantai. Elisya membantuku untuk kembali berdiri menemaninya hingga sampai ke bank darah yang beberapa langkah lagi kita akan tiba di sana. Elisya memberikan beberapa helai tisu agar aku menghapus air mataku.
Dia juga mampu menenangkan aku dalam keadaan terpuruk seperti sekarang. Melihat perlakuannya padaku, aku mencoba untuk tegar dan mengumbar senyuman kepadanya. Tak lupa aku mengucapkan rasa terima kasihku padanya.
"Terima kasih, Elisya. Kamu selalu hadir di saat aku butuh." ucapku seraya menghapus air mata yang tak hentinya mengalir hingga ke sudut dagu.
"Sama-sama, Fitri." sahutnya yang menepuk pelan pundakku. "Ya sudah, kalau begitu kita kembali lanjutin langkah kita ke bank darah. Beberapa langkah lagi kita segera sampai." lanjutnya.
Dengan senyuman Elisya merangkul pundakku, kita melangkah sejajar menuju bank darah. Elisya menyuruhku duduk dan menuju di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dia berdiri.
Aku mengangguk pelan, pertanda menuruti permintaan Elisya yang sedang menyodorkan surat pengambilan darah dari PMI. Beberapa menit aku menunggunya, akhirnya nama kami di panggil seraya bersamaan. Kita diagnosa penyakit yang sama, yaitu: THALASEMIA CENTER.
Ruangan khusus pasien thalasemia, tempat aku dan teman-teman menjalani transfusi darah. Meskipun harus menjalani pengobatan setiap bulan tak membuat kami terpuruk ataupun merasa terasingkan, karena di ruang inilah kamu mendapatkan cinta kasih dari perawat yang selalu sabar merawat kami.
Meskipun kadang sebagian dari kami (thaller) bandel dan suka membantah perkataan mereka. Namun, cinta kami terhadap mereka tak akan pernah sirna hingga maut kan menjemput. Hingga mati, kasih sayang mereka akan selalu kami kenang untuk selamanya.
Bagi kami rumah sakit merupakan rumah kedua. Dimana tempat kami berteduh dan mengadu setelah rumah yang sebenarnya. Para perawat merupakan orang tua kedua kami setelah orang tua kandung kami. Teman seperjuangan sudah kami anggap seperti saudara sendiri setelah saudara kandung di rumah. Kami saling terhubung satu sama lain. Selamanya ruang ini akan menjadi rumah terindah bagi kami. Senyuman mereka akan selalu hadir di dalam benakku dan bermain di mataku.
"Bagaimana? Kalian sudah dapat darahnya?" tanya Rissa salah satu teman menderita penyakit yang sama denganku.
"Iya Ris, gimana? Sudah adakah yang selesai pasang infus?" tanyaku pada Rissa.
"Semuamya sudah, tinggal kalian berdua saja yang belum. Ya sudah, sebaiknya kalian begegas kedepan, perawat magang sudah menunggu kehadiran kalian dari tadi. Kalau begitu aku kebelakang dulu. Nanti jangan lupa mampir ya." titah Rissa kepada kami.
Aku menatap langkah Rissa yang memasuki pintu di ruangan belakang, di mana orang dewasa senang berkumpul di sana dan berbagi pengalaman sesama mereka. Sedangkan di ruangan depan adalah tempat para remaja dan anak-anak.
"Eh, Fitri. Kamu nungguin apa?" tanya Elisya seraya menepuk pundakku dengan lembut. Sehingga membuat lamunanku buyar seketika.
"Eh, maaf ya Elisya. Aku lagi gak fokus." sahutku.
"Kamu masih kepikiran sama yang tadi? Sabar ya, Fitri. Semua kegelapan pasti ada titik terangnya. Yang penting kamu sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik."
Elisya mengumbar senyum manisnya kepadaku. Aku mengikuti langkah Elisya yang berjalan mendahuluiku. Hingga membawaku sampai keruangan depan, di mana tempat para remaja dan anak-anak berkumpul dengan orang tuanya di sana.