Detik demi detik telah kulalui, hingga membawaku tiba di kampung halamanku. Aku tiba di dermaga dan tak menunggu jemputan datang seperti yang penumpang lain lakukan. Aku menatap tajam kepada sekitar pelabuhan, biasanya teman-temanku sangat suka mencari objek gambar yang bagus di pelabuhan ini. Mereka adalah anak-anak fotografer, saat masuk ke kampus aku selalu menemui mereka yang sangat senang mengabadikan setiap momen.
Dengan kamera ponselnya, bahkan mereka pernah memotretku. Aku sangat merindukan suasana kampus, di mana aku bisa menemui teman-temanku dan bercerita banyak kepada mereka. Bersama mereka aku percaya untuk menceritakan semua rahasiaku. Aku termasuk gadis introvert yang sangat sukar mendekatkan diri kepada sembarang orang.
Saat pertama memasuki kelas, aku bingung harus melakukan apa. Berada di dalam satu ruangan bersama teman-teman seusiaku. Saat hari pertama kami saling mengenalkan diri kepada teman masing-masing. Berbagai pertanyaan seketika muncul begitu saja dalam otakku, rasanya aku ingin diam saja dan tak mau memperkenalkan diriku di sana. Aku masih mengingat momen itu.
Seketika lamunanku buyar karena ada seseorang yang sedang menepuk pundakku dengan keras. Dia bermaksud menyapaku, sebut saja dia Nara. Temanku saat aku masih menginjak usia remaja, saat itu Nara selalu membantuku saat aku sedang izin dikarenakan sakit. Dia selalu meminjamkan buku catatannya kepadaku. Dia tak pernah marah saat aku lupa mengembalikan buku catatannya. Dia merupakan teman yang pengertian.
"Eh, kenapa melamun?" tanya Nara yang tersenyum menggodaku.
"Tidak apa apa-apa, Nara. Bagaimana kabarmu? Kamu masih bekerja di tempat temanmu itu? Sudah lama kita tidak bertemu, bagaimana kabar ibumu?" tanyaku dengan penuh rasa penasaran akam kehidupannya, karena kamu sudah lama sekali tak bertemu.
"Alhamdulillah, aku dan ibuku baik-baik saja. Ya, aku masih bekerja di tempat temanku itu. Meskipun ada rencana mau keluar dari sana?" sahutnya singkat dan padat.
"Why? Apa karena kamu ..." belum sempat aku melanjutkan pertanyaanku, tiba-tiba Nara memotongnya lebih dulu.
"Yes, mau cari pengalaman baru di luar sana? Oh iya, kamu cek up lagi ya? Kemarin tranfusi nya berapa kantong?" Nara kembali melontarkan pertanyaan kepadaku.
"Seperti biasa, kebutuhan darahku adalah 600 cc. Artinya, aku membutuhkan dua kantong darah. Alhamdulillah, kali ini darah di sana ada stoknya." gumamku dengan penuh rasa syukur. Aku tersenyum saat mendengarkan dia masih penasaran akan rutinitas yang kulakukan setiap bulannya. Itu artinya dia masih peduli dengan kesabaranku.
"Alhamdulillah, semoga keajaiban itu selalu ada ya, Fitri. Agar kamu sembuh dari sakitmu. Aku gak bisa membayangkan jika aku berada di posisi kamu, apakah aku akan kuat? Aku rasa, aku tidak sekuat dirimu." ucapnya seraya mengelus pundakku.
"Terima kasih ya, Nara. Kamu selalu peduli padaku." sahutku yang masih saja menyunggingkan senyuman kepadanya.
"Iya, sama-sama. Kalau begitu aku pulang dulu ya, soalnya mau jemput adikku juga di rumah bibi. Kamu hati-hati di jalan ya, Fitri." Nara melangkah menuju parkiran roda dua, tak lupa dia melambaikan tangannya pertanda memberikan ucapan selamat tinggal.
"Ah, dasar Nara." aku menghela napas dan menatap kagum kepadanya. "Dari dulu tak pernah berubah, selalu saja fleksibel begini. Jadi kangen masa-masa itu, di mana kita selalu berjalan bersama menikmati alam bebas." lirihku.
Aku berjalan mengitari koridor pelabuhan, rasanya aku tak ingin beranjak dari sini. Belum lagi jika aku dapatkan semilir angin yang meniup seluruh anak rambutku, karena aku sangat menyukai udara sejuk seperti ini. Ya, rasanya sungguh untuk di dapatkan di dalam rumah.
Aku memutuskan untuk pulang lebih telah, sebelumnya tentu saja aku harus memberitahukan kepada orang tuaku, agar tak mencemaskan keadaanku. Aku melanjutkan langkahku menyapa tukang ojek. Aku memutuskan untuk pergi ke suatu tempat di mana tempat itu pernah aku singgahi bersama teman-temanku. Aku ingin kembali mengulang semua kenangan itu. Saat terindah ketika menghabiskan waktu bersama mereka. Melewati suka dan duka bersama. Rasanya ingin kembali mengulang masa indah bersama mereka, tapi rasanya tak mungkin lagi, karena semuanya sudah berlalu begitu saja.
Di sepanjang perjalanan, aku mencoba mengenang setiap momen yang telah kami ciptakan bersama saat menaiki kendaraan berdoa dua. Bagaimana tidak? Kami selalu menghabiskan waktu di jalanan tanpa ingat pulang. Aku merupakan tipe gadis yang sedikit nakal jika di bandingkan dengan saudara kandungku. Namun, senakal apapun diriku, aku harus bisa berjalan ke arah yang lebih baik dan masih berada dalam rida-Nya. Apapun yang aku jalani aku selalu memulainya dengan sebuah kejujuran. Meskipun aku sadar jujur itu tidak mudah, karena sejauh ini kejujuranku selalu di balas dengan rasa sakit. Tapi tetap saja, aku tidak boleh larut dalam perasaan sakit itu dan harus berusaha mempertahankan kejujuran.
Kuakui saat ini aku mengalami banyak masalah di luar sana, terutama dengan teman-teman virtualku, seringkali mereka membuatku jengkel dengan ulah mereka yang egois. Tapi aku sadar tidak sepenuhnya diriku benar, separuhnya juga adalah kesalahanku, karena tak bisa untuk mengendalikan emosi. Seringkali aku selalu terjebak dalam emosi, sehingga harus menyiksa ragaku sendiri, setelah emosi aku sering mengalami sakit di bagian lambung. Maka, dari itulah aku memutuskan untuk tak ingin pulang ke rumah, karena suasana di rumah bukanlah hal yang tepat untukku.
Aku berhenti di suatu taman, di mana banyak pengunjung yang sedang mengabadikan momen indah di taman ini. Biasanya aku sangat suka menangkap objek bagus ini di sini. Tapi kali ini tidak. Aku justru merasa semakin bosan dengan kesendirianku di kota ini. Aku merasa momen di rumah sakit jauh lebih berharga di mana aku bisa mengungkapkan semua isi hatiku kepada mereka. Aku lebih nyaman bertemu dengan seseorang yang sependapat denganku.
Mungkin karena mereka juga penderita thalasemia. Makanya aku lebih nyaman ketika berada di dekat mereka.
Aku hanya terdiam dan memandangi mereka yang sibuk berlalu lalang di depanku. Aku duduk di kuris taman seraya memandangi para remaja yang sibuk mengabadikan momen indah bersama keluarga, teman termasuk pasangan mereka. Sedangkan aku? Jangankan seorang pasangan, teman sependapat saja aku tidak punya. Kebahagiaan saat di kampus hanyalah sebentar saja, rasanya baru kemarin aku bertemu dengan mereka. Tapi akhirnya kami kembali di pisahkan lagi, mereka telah memiliki kehidupan masing-masing. Ada yang sudah menikah dan mempunyai anak. Sedangkan aku hanya sendirian karena itulah pilihanku, untuk menghilangkan rasa bosanku seketika, aku milih untuk menghubungi teman virtualku melalu via WhatsApp. Aku yakin mereka mampu membuatku bahagia, karena teman virtual jauh lebih menyenangkan dibandingkan teman di dunia nyata. Saat ingin memulai komunikasi terlebih dahulu tiba-tiba ada seseorang yang lebih dulu mengetik pesan dari mengirimkan kepadaku. Senyuman mulai mengembang di sudut bibirku, seketika aku pun mulai mengetik dan membalas setiap pesan yang dia kirimkan.
_Asyifa_
"Assalamualaikum, Kak. Bagaimana kabarnya sekarang?"
_Lifya Fitriani sedang mengetik ...
"Wa'alaikumasalam. Alhamdulillah, Syifa. Aku baik-baik saja, setelah kemarin aku sakit karena keadaanku sudah drop. Mungkin saja karena aku kecapean."
_Asyifa_
"Benarkah? Pantas saja kemarin tiada kabar darimu, Kak. Syukurlah kalau sekarang kakak sudah baik-baik saja. Semoga sehat selalu ya, Kak."
_Lifya Fitriani sedang mengetik ...
"Amin ya robbal alamin, syukoron ya ukhti."
Aku menutup ponselku dan tersenyum ketika mendapatkan pesan singkat dari teman virtualku, bahagia bisa mengenal mereka. Saat itu ada banyak notifikasi yang masuk ke posnelku. Tapi aku hanya membalas satu saja, yaitu: Pesan dari Asyifa karena dia merupakan teman yang pertama kali aku kenal dan dia begitu peduli kepadaku.