Virtual memang sangat menyenangkan, tapi kata orang kita tak boleh berharap banyak denagn dunia virtual. Ya, seperti yang temanku bilang, virtual itu laksana setan. Yang hadirnya tak tampak nyata, tapi mampu membuat kita nyaman dan tergoda dengan keunikannya. Aku juga berpikir demikian, karena virtual memang sangat menyenangkan meskipun masing-masing dari kita tak dapat bertatap muka. Kita hanya mampu berkomunikasi lewat via telpon dan video call.
Aku berharap bisa memiliki pasangan yang kenalnya lewat dunia virtual. Mengapa demikian? Bukankah memiliki pasangan di dunia nyata itu jauh menyenangkan? Ya, mungkin menurut sebagian orang. Tapi tidak denganku, karena aku menghindari komunikasi terus menerus dan juga belum siap membuat komitmen dalam membangun sebuah hubungan.
Padahal dalam hubungan, komitmen adalah sebuah pondasi penting untuk menguji sebuah bangunan yang akan kita rakit bersama. Apakah bahan-bahan bangunan yang dipakai kuat atau tidaknya, tapi entah mengapa pemikiranku berbeda dari mereka. Aku berpikir kalau komitmen itu tak perlu hadir antara aku dan pasangan. Aku rela menjauhi teman-teman di dunia nyata karena aku terlalu nyaman dengan teman virtual. Aku sadar, aku telah terjebak pada zona nyaman.
Dimana aku takut untuk menjalin hubungan dengan pria manapun, aku lebih nyaman menjalin hubungan dengan mereka yang virtual dibandingkan dengan mereka yang berada di dunia nyata. Apakah mungkin karena aku seorang itrovert? Yang mudah susah berinteraksi dengan sembarangan orang.
Malam ini, aku melakukan pertemuan online dengan mereka yang virtual. Kami sama-sama hadir di via zoom pada jam yang sudah di tentukan.
Aku sangat bahagia ketika melihat pria yang ku kagumi itu hadir mengikuti zoom. Namun, dari semua peserta salah dalam menanggapi bahasa tubuhku. Banyak dari mereka yang menyangka bahwa aku menaruh hati kepada co-foundernya. Padahal aku hanya menaruh hati kepada membernya. Bukanlah co-foundernya, tapi sayangnya dia yang lebih meresponku dari pada pria yang aku tuju. Ya Allah, apakah aku harus menyerah untuk memperjuangkan hatinya.
Aku tak tahu, mengapa aku begitu mencintainya, padahal aku tak mudah mencintai. Belakangan ini aku banyak menolah hati dan kutepis mentah-mentah. Aku hanya ingin dirinya, bukan yang lain. Aku tak mengerti dengan hatiku sendiri, aku memang dekat dengannya. Tapi sudah dua tahun kami berkenalan. Masing-masing dari kami tetap kekeh untuk memilih sendiri dan mempertahankan status jomblo yang sudah melekat bertahun-tahun di hati. Kami saling bercerita tentang pengalaman kami, mencoba mengerti dengan pemahaman masing-masing tentang sebuah hubungan. Kami menceritakan tentang kekurangan masing-masing tanpa mempertanyakan kelebihan, karena kelebihan hanya sebagai pelengkap saja. Supaya ketika memiliki pasangan nanti bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing.
Dia memiliki kepribadian cuek, tapi dia selalu bisa membuatku tenang saat aku bertengkar dengan co-founder di grup tersebut. Bahkan aku pernah memberitahukan padanya tentang akun priabdiku (akun bisnis) Hingga aku mencari cara untuk melupakannya. Sayangnya aku tak pernah bisa, rasa itu akan selalu hadir dan menyakiti jiwaku.
Aku terpana karena pesonanya, aku menekan link yang dikirimkan oleh co-foundernya, dan mulai masuk ke via zoom. Aku malu menampakkan wajahku, karena disaat itu wajahku terlihat sangat pucat sekali. Aku hanya memperlihatkan boneka teddy bear berwarna hijau yang aku dapatkan langsung dari gubernur saat menghadiri ulang tahun RSUD Arifin Achmad saat itu aku menjadi perwakilan pasien dewasa. Aku terperangah saat pria yang aku kagumi itu juga menunjukkan teddy bear miliknya. Ya, aku hanya tersenyum saat melihat boneka itu. Aku mempertanyakan apakah benar itu cahaya mataku? Dan mereka menjawab "Iya, benar. Itu adalah cahaya matamu." Aku tersenyum, dan kulihat lagi ke layar sebelah kiri. Dimana wajah co-foundernya sedang menatap sinis kepada kami berdua.
"Cie, ada yang cemburu tuh kekasihnya melirik pria lain. Jangan cemberut terus dong, cepat tua!" gumam salah seorang member yang umurnya lebih kecil dariku.
"Iya nih, jangan takut dong, Kak. Fitri tak akan berpaling dari yang lain." timpa Juspi teman dari rinta member yang mengeluarkan suara emasnya tadi.
"Kalian kenapa sih? Gak mungkin tuan Judes cemburu sama cahaya mata. Ada-ada saja kalian, lagi pula tuan Judes ada kekasihnya di sini." sahutku tersenyum saat memandang wajah pria yang ku kagumi itu.
"Iya, Fitri. Kamu benar banget, kekasihnya ada disini. Dia orangnya manis," sahut Rin.
"Benar kan? Apa aku bilang." sahutku dengan raut wajah yang sedikit menunjukkan kekecewaan, "Tak mungkinkah orang seperti dia gak punya kekasih."
"Iya, kan kekasihnya kan kamu." sahut Rin, lalu tergelak puas saat menatap wajahku, seketika wajahku memerah dan memenas saat mendengarkan ucapan Rin. Dia memang benar, diantara kami memang ada yang tak biasa, artinya kamu saling mengangumi satu sama lain.
Namun, aku sendiri tak tahu itu perasaan apa? Perasaan cinta kah? Atau sekedar mengagumi? Entahlah, yang pasti aku tak ingin berharap banyak kepada manusia.
Aku berharap aku hanya sekedar mengangumi, karena tak mungkin mencintai dia yang berbeda keyakinan denganku. Dia menganut agama Kristen sedangkan aku menganut agama Islam. Aku sadar, aku tak harus menaruh hatiku lebih dalam padanya.
Sementara aku telah berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tak harus menaruh harapan kepada dia yang tak pasti keberadaannya, aku mengalami trauma pada cinta. Dimana aku pernah tersakiti oleh cinta. Aku tak bisa membiarkan diri ini untuk selalu mencintainya. Namun, beberapa kali aku menepis rasa cinta itu semakin muncul dan mengelabui pikiranku. Bayangannya terus saja menggangguku, membuat semua kegiatanku berantakan. Di sepanjang kegiatan zoom, aku hanya terdiam dan tak mampu menyeka dan mencari celah setiap obrolan mereka. Meski begitu aku tetap nyaman ketika berada di samping mereka. Meskipun raga kami terpisahkan oleh jarak. Tapi tak membuat kamu sukar untuk tetap berkomunikasi.
"Fitri, kok melamun trus sih? Jangan melamun nanti kepikiran dia terus loh," sapa kak Ray salah satu admin di komunitas psikologi.
"Hedeh, siapa yang melamun, Kak? Gak ada kok, Fitri baik-baik saja." aku menjawab pertanyaan kak Ray dengan penuh senyuman dan tak ingin membuatnya kahwatir dengan apa yang aku pikirkan.
"Oke, syukurlah kalau kamu baik-baik saja, Fitri. Kakak senang mendengarnya." sahut kak Ray.
"Jangan bohong dong, Fit! Aku bisa lihat dari raut wajahmu bahwa kamu sedang memiliki tekanan, kamu lagi punya masalah kan?" timpa seseorang yang aku panggil dengan nama tuan Judes itu.
"Heh, kakak jangan ngomong di sini dong, gak enak. Nanti saja kita ngomong di via WhatsApp. Ini kan udah menyangkut masalah pribadi, kakak gimana sih?" sanggahku yang menatap heran pada tuan Judes.
"Cie, sabar dulu dong, nanti juga zoom nya selesai. Gak sabaran banget sih jadi orang." ledek kak Ray yang memandang ke arah kami berdua.
"Iya, kalau mau pacaran nanti aja, sekarang zoom dulu ada pembahasan bagus nih." timpa Juspi.
Kami berusaha mengikuti zoom tersebut hingga selesai, agar salah satu dari mereka tidak mencurigai bahwa kami memiliki hubungan dekat. Terutama aku tak ingin jika pria pujaanku itu tahu tentang hubungan kami yang sebenarnya sangat dekat dibelakang layar zoom.
"Oke, kami akan ikut, karena kami memang gak ada hubungan apa-apa kok." sahutku yang mencoba bersikap biasa-biasa saja kepada mereka.