Aku menatap di sekitar ruangan aku melihat alat-alat kecantikan di salah satu rak yang tertata dengan rapi. Aku hanya melirik dan tak menyentuhnya, karena aku sudah memiliki semua peralatan itu. Hanya saja aku tak pernah tertarik untuk memakainya, aku memutuskan untuk menyudahi barang belanjaan ku dan segera mengantarkannya ke kasir. Sesampainya di sana aku mendapati temanku yang membawa seperangkat alam make up. Aku hanya menelan saliva dan tak mempertanyakan semua alat make up itu untuk apa? Seperti mau buka usaha saja, batinku berkata. Ya, seperti itulah Nella, dia sangat senang mengoleksi peralatan kecantikan dan menggunakannya setiap hari. Aku saja sangat gerah melihat dandanan menor itu, seperti mau pergi ke kondangan saja.
"Semuanya 150. 000, Mbak." gumam kasir itu.
Aku hanya melongo mendengar angka sebesar itu untuk benda-benda berukuran kecil seperti tersebut. Mungkin karena aku tak pernah membeli alat-alat kosmetik seperti itu, makanya aku sangat terkejut ketika mendengar jumlah angka yang di sebutkan oleh kasir. Aku menepis pandanganku dan mulai fokus untuk mengetahui jumlah perbelanjaanku, aku hanya membeli barang-barang yang aku perlukan seperti parfum, bedak bayi, alat tulis dan kebutuhanku yang lainnya. Aku merupakan pribadi yang sangat perhitungan dan hemat, aku tidak mau menghambur-hamburkan uangku untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Aku kurang tertarik untuk berfoya-foya. Namun, aku belajar untuk berubah menjadi yang lebih baik lagi dan mencari teman yang baik, seperti teman yang suka bersedekah dan suka berbagi.
Nella membayar semua belanjaannya, aku melihat dia membuka dompet miliknya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang biru. Aku tertegun karena tak sengaja melihat isi dompetnya. Ya, seperti yang aku tahu, gadis itu memang terlahir dari keluarga kayak. Ayahnya berprofesi sebagai seorang polisi. Sedangkan dia adalah anak tunggal, bagaimana tidak orang tuanya tidak memanjakan putri kesayangannya itu?
Ya, aku sudah tidak heran, batinku berkata. Setelah selesai membayar berbelanja, kami melangkah keluar untuk menghampiri sepeda motor milik Nella. Di sini aku sebagai penumpang, karena untuk membawa sepeda motor sendiri aku tidak bisa, karena aku tidak di izinkan orang tuaku untuk membawa sepeda motor sendiri setelah aku terjatuh pada bulan Febuari yang lalu, pasca ulang tahunku.
"Kamu sudah naik atau belum?" tanya Nella yang menoleh ke arah belakang untuk memastikan apakah aku sudah naik atau belum?
"Sudah, emangnya kamu tidak terasa?"
Aku kembali melontarkan pertanyaan kepadanya dengan raut wajah kesal. Tidak mungkinkah dia tidak tahu, sedangkan dia tengah memastikannya sendiri. Beberapa temanku memang sering menanyakan hal seperti ini, mereka mengatakan postur tubuhku mungil sehingga mereka tidak bisa merasakan apakah aku sudah menduduki sepeda motor mereka atau belum? Aku sangat kesal ketika mendapati pertanyaan seperti ini. Pertanyaan macam apa ini? Batinku kesal. Aku menjawab pertanyaan dari Nella, kemudia gadis itu segera mejalukan sepeda motornya dan menuju jalan ke taman yang tak jauh dari mini market tadi.
Di sepanjang perjalanan aku terus memulai sebuah obralan dengannya, mulai dari awal aku mengenalnya hingga akhirnya kamu berteman baik. Nella merupakan teman yang baik dan memiliki sikap yang sama sepertiku, kecuali berdandan. Obrolan demi obrolan terus saja berlanjut sehingga membuatku tak sadar bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan. Aku turun dari sepeda motor Nella dan menuju kursi kosong yang belum di duduki. Saat aku ingin mendudukinya, tiba-tiba saja ada seorang pria asing yang merebut kursi itu. Tentu saja aku tak tinggal diam, aku menghampiri pria itu dengan penuh amarah. Aku mengatakan bahwa akulah orang pertama yang berhak menduduki kursi itu.
"Heh, menyingkir dari sana! Itu kursiku, aku yang lebih dulu duduk di sini!" tukasku.
"Tapi ini tempat umum, Neng! Mana bisa begitu, silahkan cari lagi kursi yang lain!" titahnya yang menunjukkan beberapa kursi yang sudah terisi oleh beberapa pengunjung taman.
"Heh, makanya pakai mata. Apa masih ada kursi kosong yang lainnya? Buka matanya lebar-lebar, Mas! Dasar egois!" rutukku yang menghentakkan kakiku ke lantai.
"Kan masih bisa minta geser di sana!" tukasnya dengan wajah santai. Hal itu semakin membuatku tambah jengkel dengannya, aku menarik lengannya agar pria itu segera menyingkir dari kursi tersebut. Kejadian itu berhasil menyita perhatian para pengunjung yang sedang menikmati waktu mereka untuk memandangi sebuah danau.
"Aduh, Neng. Apa susahnya mengalah sama saya, lagi capek banget nih. Kalau gak keberatan kamu bisa duduk di sebelah saya. Tanpa meminta saya untuk menyingkir." tukas pria itu dengan menggunakan bahasa yang masih terbilang formal. Sepertinya pria itu merupakan salah satu pegawai di bank BNI yang berada di depan taman ini. Meskipun hal tersebut benar adanya, aku tetap tak peduli dengan identitas dia. Apalagi dengan pria model seperti dia yang tak mau mengalah terhadap wanita.
Melihat pertengkaran kami yang semakin memanas membuat Nella bergegas menghampiri kami. Nella mencoba meleraiku dan menenangkan aku yang hampir saja ingin mencubit pria itu, pria itu menunjuk ke arah Nella dan memanggilanya seolah mereka sudah saling kenal.
"Nella!" panggil pria itu.
"Wah, kebetulan kita ketemu di sini. Gimana kabar kamu? Apakah kamu lolos seleksi untuk melamar menjadi pegawai bank?" tanya pria itu dengan senyuman ramahnya. Aku hanya membuang muka dan tak ingin menyaksikan drama antar temanku dan pria itu. Memang aku akui, pria itu memang sangat tampan sehingga tak heran jika Nella terpesona dengannya.
"Pak Rian!" sahut Nella dengan senyum genitnya, "Gimana ya, Pak? Seleksi kemarin aku gagal. Aku sendiri sangat kecewa sekali, secara tak langsung aku membuat bapak kecewa. Maaf ya, Pak jika aku membuat bapak kecewa." sambung Nella.
"Tidak apa-apa, Nella. Yang penting kamu belajar dari kegagalan itu sendiri. Oh iya, kamu di sini sama siapa?" tanya pria yang bernama Rian itu. Hal tersebut semakin membuatku jengkel. Aku memalingkan mukaku ke arah lain, karena aku malas menyaksikan adegan yang penuh drama itu. Aku melihat Nella yang menunjuk ke arahku dengan ragu ragu-ragu, sementara Rian melihat ke arah telunjuk Nella. Dia tertegun saat mengetahui Nella datang bersamaku.
Aku menatap tajam kepadanya, dan melototinya.
"Oh, sama dia?" Rian menunjuk ke arahku.
"Heh, yang sopan dong! Jangan main tunjuk aja!" sergahku.
"Maaf ya, Pak. Teman saya memang orangnya gampang emosi, jadi harap maklum ya, Pak. Kalau bapak mau duduk di sini silahkan, kita cari tempat duduk yang lain saja." tukas Nella seraya menyunggingkan senyuman yang sangat menyebalkan bagiku.
"Apa? Maksud kamu apa, Nella? Enak saja mengalah sama orang seperti dia!" ketusku.
"Please, Fitri. Tolong aku kali ini saja, kamu ngalah ya. Biar aku bisa pendekatan sama Rian. Kamu boleh minta apa saja dariku, tapi tolong kali ini kamu bantuin aku ya." Nella memohon dengan memasang wajah melas terhadapku.
"I don't care!" tegasku.
"Fitri." Nella menggoyangkan lenganku dan masih memasang wajah melas, seolah meminta untuk aku menyetujuinya permintaannya itu. Aku menghela napas dan menurutinya, saat aku mengangguk mulai kulihat pancaran senyum dari bibirnya. Membuat hatiku sedikit tenang apabila melihat senyuman yang terukir indah di wajah cantiknya. Aku segera mengikuti langkah kaki Nella menuju pria yang bernama Rian itu, setelah Nella membawaku menepi.
Gadis itu memintaku untuk berkenalan dengan Rian.
"Maaf ya, Pak. Menunggu lama, kenalin temanku. Namanya Lifya Fitriani." tukas Nella yang menarik tanganku dan tangan Rian. Seolah memaksa kamu untuk saling berjabat tangan.