Sungguh sangat menyebalkan sekali, mengapa dia harus mengenalkan pria itu kepadaku? Rasanya ingin kucubit Nella dan ingin cekal pergelangan tangannya, itulah yang ada di dalam pikiranku saat ini. Jengkel? Ya, tentu saja aku merasa jengkel bahkan aku mau pulang dari tempat itu. Tapi tak mungkin aku harus naik apa? Jalan kaki? Dengan sangat terpaksa aku berusaha untuk menuruti keinginan Nella untuk berkenalan dengan pria yang bernama Rian.
"Lifya Fitriani."
Aku menyambut tangan Rian yang terangkat oleh tangan Nella. Saat itu tangan kamu saling terangkat, agar kami tak bisa menolak keinginannya untuk saling berkenalan. Aku menyuguhkan senyuman masa kepada pria tampan itu. Dengan sangat terpaksa aku berjabat tangan dengannya karena keinginan Nella. Entah apa yang ada di pikiran Nella saat itu? Mengapa bisa dia memintaku untuk berkenalan dengan pria seperti Rian? Apa jangan-jangan? Ah tidak mungkin, sedangkan yang aku tahu dia mengagumi sosok Rian. Bagaimana bisa dia sengaja membuatku dekat dengan pria yang di kaguminya? Entahlah.
"Rian Firmansyah." sahutnya malas.
"Heh, yang sopan dong kalau ngomong!"
"Tatap orangnya bisa gak? Emangnya aku niat mau kenalan sama kamu? Sebenarnya ogah! Semua ini karena permintaan dari temanku." rutukku kepada pria yang berdiri di depanku, sungguh sangat menyebalkan sekali ketika berhadapan dengannya.
"Oke, yang waras ngalah." Rian berbisik dan mendekatkan bibirnya di telingaku, aku bergidik dan mendorong tubuhnya hingga jarak kami terlempar jauh. Aku melangkah meninggalkan mereka berdua. Dengan penuh amarah aku menuju jalan raya, tidak ku hiraukan lagi dengan siapa aku akan pulang? Jalan kaki pun tak apa, itulah yang terlintas di pikiranku saat ini.
Aku melangkah cepat tanpa menghiraukan Nella yang berusaha mengejarku dan memanggil namaku berkali-kali, aku tetap dengan keputusank yang melanjutkan perjalanan menuju pulang. Rasa lelah pun menjadi hilang dikarenakan amarah yang telah membuncah di dalam dada, mungkin tidak sebanding dengan sakitnya menabrak sebuah tembok.
"Lifya!" teriak Nella berkali-kali.
Aku terus melajukan langkahku hingga akhirnya aku menabrak seorang gadis, yang tak lain adalah sahabatku juga. Ya, dia adalah Alda, seorang gadis berperilaku tomboy. Aldha bertanya apa yang telah terjadi kepadaku, aku hanya bergeming dan terus menoleh kebelakang. Saat menoleh kebelakang, kulihat langkah Nella semakin dekat untuk menghampiriku, aku menyambar tangan Alda dan menariknya untuk mencari tempat persembunyian. Akhirnya aku menemukan tempat persembunyian yang sangat nyaman, dibalik gubuk kosong yang bersedikit memasuki gang kecil setelah berlari dari jalan raya tadi.
Aku mengatur napas dan bersandar di balik gubuk, kebetulan ada kursi panjang di sana. Aku begitu lelah setelah berlari begitu juga dengan Alda, saat sudah mendekati satu bulan, kondisi tubuhku mulai memburuk dan mudah lelah sehingga membuat Alda sedikit cemas dengan keadaanku saat itu, karena Alda dan Nella sangat tahu jika aku tidak boleh terlalu capek dan stres. Tapi mengapa di saat seperti ini Nella malah membuatku tambah stres?
"Kamu kenapa? Wajahmu terlihat pucat, Lif." tanya Alda.
Aku hanya menggeleng seolah belum sanggup menjawab apapun, karena masih merasa sangat lelah. Alda mengelus punggungku dengan lembut, detik demi detik akhirnya aku mulai tenang dan menceritakan apa yang membuatku mengajaknya bersembunyi.
"Kamu tahu? Aku merasa sangat jengkel sama Nella?" ketusku.
"Why? Nella bikin kesalahan?" tanya Alda penasaran.
"Iya, tadi aku bertemu dengan seorang pria yang sangat menjengkelkan sekali. Tapi yang bikin jengkel nya Nella malah mengenal pria itu dan menyuruhku untuk berkenalan dekat dengannya. Huuuhhh! Seballl!" teriakku dengan penuh emosi.
"Sudahlah, Lifya. Jangan marah-marah terus, nanti kamu bisa mimisan lagi, kamu kan tahu kamu tidak boleh memiliki beban berat." gumam Alda yang berusaha menenangkan aku, tapi aku tetap saja bergelut dengan emosiku tak tahu entah kapan bisa mereda.
"Gak tahu ah! Seballl!" teriakku lagi, beberapa detik kemudian aku berusaha menghela napas panjang dan kembali rileks. Aku mencoba untuk melupakan emosiku sejenak, dan berfokus kepada hal-hal lain. Seperti inilah aku, yang sangat mudah tersulut emosi bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Namun, aku adalah tipe seorang pemikir sebelum melakukan tindakan.
"Iya, aku mengerti. Kamu pasti sakit hat, aku sangat mengerti dengan semua karakter kamu, Lifya. Bagaimana tidak? Aku sudah mengenalmu dalam jangka waktu lama." sahut Alda yang menarik tubuhku hingga jatuh di pelukannya. Kami berdua sudah seperti kakak adik sejak dulu. Tapi postur tubuh Alda lebih tinggi dariku, padahal aku lebih tua darinya.
"Terima kasih, Alda. Kamu selalu mengerti posisiku seperti apa? Terima kasih juga karena selalu bisa membuatku lebih tenang." ucapku yang berusaha menyeka air mata yang mulai lolos membasahi pipi. Aku benar-benar merasa emosi kala itu, entah dengan cara apa lagi aku harus mereda emosiku, tapi dengan berada dalam dekapan sahabatku membuat aku sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
Tak lama kemudian, aku merasakan cairan mulai menetes di hidungku. Jantungku mulai berdegup kencang saat mendapati cairan berwarna merah yang menetes di hidungku. Ya, aku sedang mimisan kala itu. Seperti biasa, saat aku emosi dan kelelahan aku sering mimisan. Hal ini telah terjadi pada beberapa bulan yang lalu sejak aku depresi. Aku sering merasa kelelahan usai mimisan, mungkinkah itu dampak buruk untuk penderita depresi? Selama dua bulan penuh aku depresi. Allah Maha Agung, dia masih memberikan aku pertolongan di saat aku depresi, kala itu tiada satupun yang mengetahui jika aku sedang depresi.
Aku berusaha untuk menyembunyikan rasa sedih yang berturut-turut hadir mengelabui hatiku, terkadang tanpa sebab. Aku lelah, tapi aku harus bisa melewati dalam keadaan sadar bahkan di alam bawah sadar. Setiap aku menangis aku mulai mencari tempat sepi dan mengeluarkan semua tangisanku. Tapi Allah telah menitipkan malaikat terbaik–Nya, aku menemukan seorang pria yang berprofesi sebagai seorang perawat, kebetulan juga dia adalah perawat di ruang thalasemia. Saat itu masih tahun 2018 aku bertemu dengannya pada bulan Juli. Kesan pertama bertemu dengannya dia tampak seperti orang kebingungan, dia sangat terlihat lugu. Namun, yakinkah dia lugu dengan teman-temannya juga? Menurutku tidak, aku sudah meneliti dari caranya menatap setiap orang. Di sanalah aku bisa memprediksi sedikit karakter seseorang. Sejak kecil aku memang memiliki kemampuan yang berbeda dari teman-teman seusiaku, aku bisa melihat seseorang yang telah membohongiku, dan masih memiliki beberapa kemampuan lainnya. Namun, aku memilih untuk menyembunyikan semua itu, baik dari kedua orang tuaku dan teman-temanku. Yang mengetahui kemampuan itu hanya satu dua orang saja, selebihnya aku tidak ingin mengatakan tentang apa yang aku rasakan. Alda memang sahabatku, tapi tetap saja aku memilih untuk menyembunyikan semuanya, tentang apa yang aku lihat saat aku sedang duduk bersamanya.
Saat aku berada di pangkuan Alda, aku melihat ada sosok yang mendekati Alda. Sosok yang sangat jelas dan menyeringai membuat aku bergidik ngeri saat menoleh ke arahnya. Sungguh sosok yang sangat menyeramkan, aku memilih bungkam dan tak ingin memberitahukannya kepada Alda, karena dia pasti akan panik dan ketakutan. Apalagi aku tahu bahwa Alda bukan seseorang yang pemberani, aku sudah terbiasa dengan semua ini. Terkadang mereka arwah penasaran. Namun, terkadang mereka juga berniat untuk mengganggu sasarannya. Untung saja kali ini hanya arwah penasaran, jadi aku tetap bisa fokus dengan Alda dan menceritakan semua keluh kesahku. Aku menggerutu kesal dengan berbagai keluhan dan situasi yang aku hadapi kala itu. Sungguh rasanya kepalaku mau pecah, aku pun larut dalam emosiku.
Ya, seperti itulah aku yang menghadapai apapun, tak akan sah jika tidak di dasari emosi. Entah mengapa usai depresi aku lebih mudah emosi. Tuhan, mengapa aku begini? Aku ingin kembali seperti dulu menjadi gadis yang ceria dan selalu suka mengumbar senyuman. Alda selalu sabar dan mengarahkan aku untuk menuju hal-hal yang baik, aku sangat beruntung.